webnovel

Efek Kupu-kupu

Lagipula tadi aku lihat sendiri orang berbondong-bondong masuk ke dalam kereta. Kenapa jadi kosong begini? Kemana perginya semua orang? Aku menggaruk kepala. Kereta masih berjalan. Entah sudah berapa simpangan. Aku tidak tahu kemana tujuan. Seharusnya aku merasa gelisah. Tapi mengapa aku tak ingin keluar dari kereta ini? Wajah teduhnya, tatapan anehnya, pelukan hangatnya. Aku ingin selalu berada di sisinya. Pipiku memerah. Aku memalingkan muka darinya.

"Kau bosan?" tanyanya.

"Tidak."

"Ya, aku tahu. Kau sedang bosan."

"Aku bilang tidak."

"Ya."

"Kau ini kenapa sih?" aku mendecakkan lidah. Pria bodoh itu, masih saja bodoh.

"Sebenarnya aku...."

"Apa!" aku memotong ucapannya kasar. "....tidak tahu dimana kereta ini akan berhenti."

"Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Dasar bodoh!"

Pria satu ini sangatlah tolol menurutku. Lalu untuk apa sedari tadi dia diam saja? Aku menghela napas panjang. Apakah halusinasiku bisa sangat sebodoh ini? Alfa tersenyum menanggapi kemarahanku. Ia tertawa senang. Aku menggeleng pasrah melihat kelakuannya.

"Tapi aku punya sesuatu untuk mengusir kebosanan," ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya.

Sebuah ponsel.

"Untuk apa?" tanyaku. Ia tak menggubrisnya. Diambilnya headset dari saku sebelahnya lagi. Lalu memasangkannya di ponsel miliknya.

"Katanya, mendengarkan lagu bisa membuat perasaan lebih baik," ujarnya.

Alfa menaruh satu sisi headset di telingaku. Satunya lagi di telinganya. Ia mulai mengutak-atik ponselnya. Dan terdengarlah sebuah melodi merdu yang sama di telinga kami. Aku lumayan terkejut. Itu bukan musik lokal, melainkan musik...

"Jadi kau....penggemar Bangtan Boys?" aku tersenyum simpul.

"Eh? Kau tahu mereka juga?"

"Tentu saja. Mereka tampan-tampan."

"Ya ampun. Dasar Wanita," ia menggeleng miris.

"Tapi aku benar-benar suka mereka. Hanya saja aku tidak paham isi lagunya. Aku merasa pesannya pasti sangat dalam."

"Itu benar."

"Memang kau tahu apa artinya?" aku menantang.

"Maukah kau tetap bersamaku? Maukah kau berjanji padaku? Jika aku melepaskan tanganmu, kau akan terbang menjauh. Rapuh. Aku takut."

Aku bahkan tak bisa membedakan mana lirik lagu itu dan mana yang ia ucapkan sesungguhnya. Sangat mirip. Air mukanya serius. Ia memandangiku, bola matanya tak bergerak sedikitpun. Baru sadar, liriknya sangat menyentuh. Hingga aku tak bisa melepaskan tatapannya. Bisakah aku tetap bersamanya seperti ini? Sekalipun detak jantungku berserakan.

"Sangat indah." aku tersenyum.

"Kau seperti kupu-kupu. Mencoba mencuri dari jauh. Jika kau menyentuh tanganku. Seolah aku akan kehilanganmu. Dalam gelap gulita ini. Kau bersinar seperti kupu-kupu. Like a Buttetfly"

"Ternyata kau pandai menerjemahkan bahasa Korea rupanya," candaku ditengah keseriusan yang membuat degup jantungku tak beraturan.

Sebenarnya aku tak ingin menatapnya lebih jauh. Namun mataku tak bisa bekerja sama dengan pikiranku. Gemuruh di dadaku semakin meningkat per second. Senyumnya yang indah. Hampir membuatku lupa. Begitu juga jarak diantara kami yang semakin menyempit. Seperti tak bisa terelakkan lagi. Seakan akulah yang akan jadi sangat bodoh jika tidak berada di dekatnya. Aku tak mau lari lagi. Tapi ini membuat tubuhku kehabisan pasokan darah. Menahan oksigen di sekitar. Sedang dia tak segera memalingkan wajah. Suara degup jantungku mungkin sudah terlanjur terdengar sangat keras di telinganya. Ia semakin dekat. Aku menahan napas, memejamkan mata.

"Jangan membenci kakakmu," bisiknya pelan di telingaku.

Segera aku tersadar, membuka mata.

"Dia menyayangimu seperti adik yang sesungguhnya. Kau segalanya baginya. Dia bahkan tidak mengambil tugas untuk pasien lain. Dia hanya ingin merawatmu seorang. Memberimu lebih banyak kasih sayang. Dia menyelamatkanmu dari wanita itu. Sekarang, hanya kau keluarga satu-satunya yang dia miliki. Aku mohon padamu. Jangan membuatnya khawatir lagi. Dia....sangat mencintaimu, Viola."

"....?"

"Aku tidak bohong. Pulanglah dan temui kakakmu."

Aku menyeka air mata yang hampir terjatuh. Sebenarnya aku agak keberatan jika ada yang menyinggung hubunganku dengan dokter. Tapi Alfa benar. Akulah yang egois. Tak sepantasnya aku bersikap kasar. Kakak merawatku, membuatkanku sarapan setiap pagi, dan juga.... melindungiku. Dan apa yang kulakukan? Aku hanya membuatnya susah. Membuat masalah untuknya. Sebab akulah ia tak bisa berkencan. Tapi aku tidak bisa menahan emosiku. Sangat sulit. Aku ingin marah tiap ingat wanita itu. Dan aku tak punya siapapun untuk kumarahi. Aku menyesal. Aku ingin pulang. Dan memeluknya sekarang juga. Maafkan aku....kakak.

Viola POV end

Beberapa saat sebelumnya.

Di stasiun.

Roy menelusuri aula luas, yang dipenuhi kursi berderet di sepanjang sisinya. Sesak dipenuhi hilir mudik manusia. Menunggu keberangkatan kereta selanjutnya. Matanya tak sekalipun berhenti menoleh kanan kiri. Ia yakin bisa menemukan keberadaannya sebentar lagi. Tak peduli apapun. Tak peduli siapapun. Ia tetap mencari, meski hatinya dipenuhi banyak hal yang menyesakkan. Meski sesekali kakinya tersandung batu dan berdarah. Hingga tubuhnya lemas tak bertenaga. Ia akan tetap mencari. Gemuruh di dadanya semakin keras. Ia akan bertahan selama ia mampu melakukannya.

Napasnya tersengal. Ia jatuh terduduk dengan lutut mendarat di tanah lebih dulu. Roy meneriaki nama Viola. Namun suara putus asanya tidak bisa menembus ilusi gadis itu yang semakin menjadi. Adik semata wayangnya dalam kondisi kritis. Ia harus segera menemukannya. Ya, harus.

Roy bersimpuh. Menangis pedih, di tengah keramaian. Seolah dari sekian banyak manusia, hanya ia yang harus merasa kehilangan. Lagi dan lagi. Keluarga, orang yang ia cintai, dan Viola. Ia tidak akan kuat, jika harus membawa Viola ke tempat dimana semestinya ia dirawat. Rumah sakit jiwa. Ia adalah kakaknya. Ia seorang psikiater. Pasti akan lebih mudah jika dilalui bersama dirinya. Tapi tidak begitu bagi Viola. Aku yang membuatnya semakin hari semakin parah. Aku bukan dokter yang bertanggung jawab. Aku tidak bisa melindunginya. Karena aku terlalu naif memahaminya.

"Akulah yang tidak becus. Aku tidak bisa melindungi orang-orang yang kusayangi. Kembalilah Viola....kumohon," teriaknya dalam diam. Kepedihan menggerayangi tubuhnya.

Kenapa rasanya berubah drastis? Sakit sekali. Amat sangat hingga ingin mati. Luka di telapak tangannya yang ditinggalkan ibu kandung Viola. Tidak ada bandingannya dengan rasa kehilangan orang yang ia sayangi. Kosong, kosong, kosong. Waktu menjadi kosong. Kegilaan dan kegilaan. Semuanya menjadi tak berguna. Ialah yang memahami perasaan Viola. Hanya dia, hanya Roy seorang. Posisi yang pernah ia alami. Ia tak akan membiarkan gadis kecilnya mengalami kekalutan yang sama dengannya. Sebab dirinya adalah korban sebelum Viola.

Roy menangis tertahan. Wajahnya memucat. Air mata bercucuran deras. Sejengkal harapan kecilnya adalah melindungi adiknya dengan segala yang ia punya. Apapun yang terjadi.

"Tegakkan kepalamu....Dokter," suara seorang pria menggema. Sepasang kaki berdiri tegap di hadapannya. Roy mendongak.

"Jika kau lemah bagaimana kau melindungi orang yang kau sayangi? Ini bukan gayamu. Jadi, berdirilah sekarang. Jangan biarkan jubah putihmu terjangkit debu dan kerikil yang kau ciptakan sendiri. Aku yang akan membawa Viola kembali. Aku yang akan membawanya pulang."