webnovel

Cafe Punch is Punch

PRANG!

Oska dan Gita menoleh, Tian dan anak-anak divisi lain menoleh, begitu juga Nando dan Nico. Seluruh pelanggan juga menoleh ke arah meja 2.

Sebuah piring kaca jatuh ke lantai hingga pecahannya tersebar kemana-mana.

"Pungut itu." Jeffry menunjuk ke bawah dengan dagunya.

Maya membeku, karena terlalu kaget. Ia memilih berjongkok dan memunguti pecahan kaca tersebut daripada membuat keadaan tambah runyam. Ia bahkan tidak menyadari beberapa potongan kaca menggores di kakinya.

Nico, Nando dan Tian berhenti dari kegiatan mereka lalu menghampiri Maya tergesa.

"Eh Tian mau ke sana juga?" Olla panik melihat Maya, namun Tian malah ikut merunyamkannya karena ikut campur.

"Apa yang terjadi?" Nando bertanya seramah mungkin pada pelanggan.

"Maya!" Nico melihat beberapa luka gores di kakinya.

Jeffry berdiri dan memulai aktingnya.

"Aishhh dasar pelayan tidak becus!" bentaknya pada Maya yang masih memunguti kaca. Ia menudingnya dengan jari telunjuk. "Apa karena kaki dan tanganmu pendek makanya kau tidak bisa membawa nampannya dengan benar?"

Jeffry menahan tawanya.

Tian menarik lengan Maya dan membuatnya berdiri, "Apa kau bodoh?! kenapa memungutinya?"

"Woi! Kenapa kau bawa-bawa fisik orang pada masalah kecil begini?" Tian meninggikan suaranya.

"Kenapa? Memang kenyataan kan kalau dia pendek," ejek Jeffry.

Tian hendak meraih kerahnya namun dicegah oleh Maya.

"Kami mohon maaf karena membuat anda tidak nyaman, tapi mohon jangan marah-marah pada pegawai kami. Kami akan membersih…"

"Tunggu," Oska menyela Nando yang menunduk minta maaf. "Ini bukan salah pegawai kami."

"A…apa?" Jeffry gelagapan.

Tian, Nando dan Nico menoleh pada Oska yang masih mengenakan celemek barista, tiba-tiba bicara dan melangkah mendekati meja, berdiri di hadapan Nico.

"Apa? Kau lihat apa huh?" Jeffry marah.

"Apa kau yakin pegawai kami yang menjatuhkan piring dessert anda?" tanya Oska dengan tenang.

Jeffry gelagapan namun ia masih menantang dengan percaya diri.

"Siapa pemilik kafe ini? Panggil bosmu!"

"Saya adalah pemilik kafe," kata Nando.

"Ada apa dengan pegawaimu? Kau tidak mengajari bagaimana menghormati pelanggan, huh?!" Jeffry berkacak pinggang.

"Siapa yang tidak menghormati siapa? Anda yang berbohong tapi menyalahkan pegawai, bukankah begitu… Nona?" Oska menoleh ke arah Ella.

Semua orang mendadak fokus ke Ella. Ia berusaha tenang dan mengendalikan ekspresinya. Namun Oska menyudutkannya. Dilihatnya Tian yang menatapnya dengan tatapan tidak suka.

"Mati aku! Reputasiku di kampus bakal hancur kalau begini." gumam Ella dalam hati.

"Apakah pegawai kami yang menjatuhkan piringnya…. ataukah pria yang bersama anda, Nona?" tanya Oska lagi dengan penuh penekanan.

"I…itu…." Ella ragu.

"Aku yang menjatuhkannya. Memang aku yang menjatuhkannya," Maya angkat suara. Ia menunduk dan meminta maaf. "Aku minta maaf sudah mengacau, aku sungguh menyesal. Maafkan aku, Bos." kata Maya pada Nando.

"Sudahlah. Ayo pergi dari sini, Sayang." Jeffry menggandeng Ella keluar. "Tidak perlu ke kafe dengan pelayanan buruk seperti ini."

Mereka akhirnya keluar dari kafe. Beberapa pelanggan bahkan merekam keduanya.

"Aku cuma menyerang si pendek sialan itu, tapi pria-pria sok ikut campur itu malah membelanya. Cih!" gumam Jeffry.

"Kenapa kau tadi ragu membelaku?!" bentak Jeffry pada Ella.

"Ada seniorku di sana! Kalau kau tidak buat ulah, aku pasti….ah sudahlah. Sudah terlanjur. Kenapa juga sih tadi kau menjatuhkan piringnya?" Ella melipatkan lengannya di depan dada lalu masuk ke mobil, diikuti Jeffry.

Sementara di dalam kafe keadaan agak ricuh namun bisa di handle Nando dengan baik. Ia meminta Oska untuk mengambil sapu dan membersihkan lantai, dan meminta Gita membersihkan mejanya.

"Maafkan aku, Bos. Aku…" Maya tidak berani menatap Nando.

"Sudahlah, May. Ini bukan salahmu. Sekarang kau ke belakang lah dulu, biar aku yang mengurus ini." Nando tahu Maya masih terkejut dengan situasinya.

Maya melangkah ke belakang sembari menunduk. Tian hendak mengikutinya namun lengannya dicekal Nico.

"Kau ini sebenarnya siapa, sih?" tanya Nico serius.

"Aku seniornya."

"Hanya itu?"

"Lalu kau ini siapa?"

"Dia adikku. Enyahlah kau. Entah kenapa aku tidak meyukaimu sejak kita bertemu."

Tian menghempas lengan Nico. Mereka berdua bertatapan sengit. Oska yang mendengar percakapan mereka hanya melirik sekilas.

***

Jam dinding menunjukkan pukul tengah malam. Maya duduk di depan loker sembari melipat celemek. Nando masuk ke ruang karyawan dan melihat Maya yang masih lesu. Ia berusaha mengubah suasana.

"Sudah jam 12 ternyata. Maaf ya, May. Kau harus lembur di hari pertamamu. Besok pulanglah seperti jadwal."

"Harusnya aku yang meminta maaf, Bos."

"Kenapa kau terus memanggilku bos? Sudah kubilang panggil aku…"

"Lebih nyaman begini. Aku bisa lupa diri jika mamanggil Bos seperti itu."

"Baiklah. Tapi kuharap kau memanggilku Kak Nando lagi besok. Yang lain juga memanggilku santai kok. Jadi panggil saja aku senyamanmu."

Nando menepuk bahunya. Ia tahu Maya merasa bersalah karena menimbulkan masalah, sampai tidak berani menatap matanya saat berbicara. Nando memutuskan keluar dari ruangan dan memberinya waktu.

"Nando, Maya dimana?" tanya Nico di luar. Nando menunjuk sebuah ruangan yang bertuliskan 'Staff Only'

Nico masuk ke dalam dan melihat Maya terduduk sembari menunduk ke bawah, tengah melamun. Nico menghela napas melihat keadaannya yang lesu. Ia duduk di sampingnya, tak bicara apapun hingga beberapa menit.

"Aku tidak apa-apa," kata Maya kemudian. Ia sebal sendiri karena si cerewet Nico jadi patung.

"Mau burger? Ayo kubelikan di kafe 24 jam depan sana." Nico mengalihkan.

"Kau tahu aku dipecat di tempat bekerjaku sebelumnya karena memecahkan piring, kan? Aku jadi merasa deja vu. Lucu sekali," Maya tersenyum memaksa. "Memang kenyataan kalau tangan dan kakiku pendek. Tapi bukankah ada beberapa orang yang terlahir sepertiku?"

Maya menatap Nico dengan kesungguhan. "Apakah pendek itu dosa?"

Nico yang melihatnya hanya diam membisu. Tidak tega melihat Maya bersikap rendah diri seperti ini. Banyak orang di luar sana yang menilai orang dari penampilan fisik. Seenaknya merendahkan orang lain tanpa beban. Mereka bahkan tidak berpikir apakah suatu saat nanti akan dibalas apa oleh Tuhan. Mereka hanya asyik dan menimati semua judging-nya pada orang lain.

"Aku tanya. Apa aku berdosa terlahir seperti ini?" Maya menahan tangisnya. Matanya berkaca-kaca.

"Hentikan, May. Jangan begini."

Nico merengkuh tubuhnya, memeluknya dan membiarkan kepalanya terbenam di dadanya. Nico menepuk punggungnya.

Sejenak Maya memejamkan matanya. Berusaha tidak menangis, karena toh sia-sia dia menangisi hal yang tak pantas ditangisi.

"Sudahlah. Aku baik-baik saja." Maya bangkit dengan semangat "Cepat traktir aku burger, sekalian sama pizza, hehe"

Ia mengengeh sembari membuat tanda peace (v) di jarinya.

"Ha? Rugi lah aku. Baiklah. Nanti tinggal kucatat di buku utang piutang."

Maya meneriakinya dengan sebal namun akhirnya ia bisa tertawa lepas. Nico merangkul bahunya, mengacak rambut dan poninya.

"Syukurlah dia cepat membaik," gumam Nico dalam hati.

Di luar Gita dan Oska sedang bersih-bersih meja pelanggan. Maya keluar dan membantu mereka. Ia mengelap meja barista, namun Oska menghentikannya.

"Pulanglah."

"Aku akan membantu."

Oska melirik jam dinding dan Maya bergantian. Memberi tanda bahwa waktu sudah terlalu malam.

"Aku benar-benar tidak apa-apa."

Tiba-tiba tanpa banyak bicara Oska meraih lap di tangan Maya hingga membuatnya terkejut.

"Pulanglah sekarang."

Maya melihat tatapan mata Oska yang dalam dan terlihat dingin, namun disaat bersamaan ia sungguh-sungguh perhatian. Mendadak ia teringat pria yang bercahaya itu lagi. Maya memiringkan kepalanya.

"Setelah melihat wajahmu dari dekat, sepertinya…."

Oska mengalihkan pandangannya tergesa. Maya menyadari Oska yang tidak nyaman.

"Terima kasih, Kak Oska. Omong-omong aku akan memanggilmu sama seperti Kak Nando. Aku sangat berterima kasih tadi. Meskipun kau melakukannya demi kafe ini tapi aku tetap berterima kasih."

"Aku melakukannya untukmu."

"Eh?"

"Aku melihat pria itu sengaja menjatuhkan piringnya. Dan juga…" Oska mendekat. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Maya. "Jangan mengakui kesalahan yang dibuat orang lain. Aku paling benci jika ada seseorang yang melakukannya. Itu terlihat menyedihkan"

Setelah itu Oska kembali membersihkan meja barista dan meja pelanggan. Maya terdiam mendengar kata-katanya. Orang pendiam memang jarang buka mulut, namun sekali buka mulut ia benar-benar akan membuka mulutnya. Kata-katanya sangat pedas. Maya mengangguk dan tersenyum mendengar nasihat Oska.

Sementara itu, di luar kafe ternyata Tian tengah berdiri di depan. Saat pintu terbuka ia mengira itu adalah Maya namun bukan. Hingga ia melihat Maya keluar bersama Nico. Nico melingkarkan lengannya di bahu Maya.

"Senior?" sapa Maya.

Ia tidak menyangka Tian masih di sini. Padahal ia berniat mampir dan berterima kasih tentang tadi. Maya melihat Tian memasukkan tangannya di saku jaket.

"Kau pasti kedinginan. Apa yang kau lakukan di sini, Senior? Apa jangan-jangan kau…"

"Aku tidak menunggumu. Kebetulan tadi aku habis mengantarkan Olla pulang."

"Ah begitu, ya,"

Maya tersenyum memaksa. Ia sendiri bingung kenapa perasaannya jadi aneh ketika mendengar mereka dekat. Meski begitu ia berusaha mengenyahkan pikiran jelek itu.

Nico melirik Maya, ia melihat ekspresinya yang tidak nyaman. Nico jelas menyadari kalau Tian sengaja menunggu Maya sampai pulang. Ia makin mengeratkan rangkulannya di bahu Maya.

Tian menyadari gestur Nico, mereka berdua bertatapan sengit satu sama lain.

"Kami mau ke kafe 24 jam. Kau mau ikut?" tawar Maya.

"Apa? Kenapa kau mengajaknya?" Nico kesal mendengarnya.

"Tidak. Aku hanya penasaran dengan keadaanmu. Tapi ternyata kau baik-baik saja. Aku cuma turut prihatin sebagai seniormu tadi."

"Terimakasih tadi sudah membelaku, Senior. Lain kali aku janji akan mentraktirmu."

"Baiklah. Kau harus menepatinya."

"Kenapa kau menjanjikan hal seperti itu padanya. Aishh." Nico marah. "Kau kan tidak pernah mentraktirku, kenapa mentraktirnya?"

"Biarkan saja dia, Senior," bisik Maya.

Mereka berdua melempar senyum satu sama lain. Sedang Nico asyik merecokinya sembari berkacak pinggang.