webnovel

Bersantai

"Anda...Andra Abraham?" Elias terkejut saat melihat Andra.

"Aku tidak menyangka akan bertemu lagi di sini." Andra bersalaman dengan Dean dan Elias.

"Bagaimana bisa aku tidak mengenali anda kemarin?" Dean juga terkejut.

Mereka bertemu di lobi kantor Abraham Grup saat rapat kolega. Kali ini bukan hanya Dean tapi juga Elias. Mereka kemudian berbincang santai di kantin.

"Anda jarang terlihat ketika saya datang kemari," kata Dean

"Mungkin kita papasan tapi tidak saling kenal," imbuh Andra. "Saya sering menghabiskan waktu di universitas.

Elias sadar gerak-gerik Dean aneh saat bercengkrama dengan Andra. Ia terlihat santai dan lebih luwes dari pada saat di taman bermain.

"Ah iya, Pak Abraham seorang dekan di universitas," kata Dean.

"Bagaimana keadaan adik-adik anda?"

"Baik-baik saja," kata Elias.

"Jadi, wanita yang bersama anda kemarin..."

"Dia adik saya, Nina. Sebelah saya lagi, Nico, dia adik bungsu."

"Oh begitu," Dean manggut-manggut.

Seorang bawahan datang dan memanggil Elias.

"Pak Elias, ada rapat."

"Oh sudah waktunya?" Elias kemudian berdiri. "Kalian lanjut saja ngobrolnya. Aku pamit dulu."

"Baiklah."

"Senang berbincang dengan anda Pak Andra. Lain kali kita ngobrol lagi."

"Saya pasti akan meluangkan waktu untuk anda, Pak Elias."

Setelah itu Elias pergi bersama bawahan itu. Dean mendapatkan pesan dari Elias.

"Setelah ini kita harus bicara."

Dean tersenyum simpul membacanya.

"Apa anda juga sibuk?" tanya Andra.

"Ah tidak-tidak. Saya punya banyak waktu luang. Mungkinkan anda sedang sibuk?"

"Saya juga punya banyak waktu luang."

Keduanya tersenyum agak canggung namun ramah.

"Aku tidak percaya kita terlibat insiden di taman bermain. Kalau diingat lagi, waktu itu sangat aneh," komentar Andra.

"Saya lihat anda mengenal Dr. Roy. Apa dia kenalan anda?"

"Kebetulan iya. Dia dokter...." mendadak Andra berhenti. Dr. Roy adalah dokter Nina.

"Tidak apa-apa, Pak Andra, kalau anda tidak bisa mengatakannya. Maaf saya yang lancang."

Andra cuma bisa tersenyum memaksa.

"Apa anda mengenal gadis bernama Maya?"

"Dia teman sekampus adik bungsuku."

Dean terkejut karena Andra ternyata mengenal Maya. Tangan Dean mengepal memanas, ia jadi semakin benci gadis itu.

"Apa dia kekasih adik anda?"

Andra menggeleng kecewa. "Anak bodoh itu, dia bahkan tidak tahu cara menembak gadis dengan benar."

Dean tertawa kecil. Tawa yang memaksa.

"Kalau boleh tahu, gadis yang bersama anda waktu itu, apakah kekasih anda?"

"Cherry? Dia..." Dean nampak berpikir. Ia mengingat ciuman mereka saat di gym. "Iya. Dia kekasih saya."

"Sebenarnya saya tidak mengira Pak Gabriel punya banyak anak laki-laki."

"Saya, Elias dan Sano berada di usia yang sama. Ian, Onyx dan Zen masih sekolah. Zen adalah adik bungsu kami."

"Keluarga besar pasti menyenangkan."

Dean memperhatikan air muka Andra yang nampak sedih, seperti menginginkan hal yang sama.

"Sepertinya usia kita tidak terpaut jauh. Anda bisa memanggil saya dengan nama, jika berkenan."

"Sepertinya tidak sopan," kata Andra.

"Saya 25 tahun."

"Eh?" Andra nampak shock. "Jika Andi masih hidup, dia pasti seumuran dengan Dean," batinnya.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Saya 27."

"Kakak," panggil Dean tiba-tiba.

Andra terkejut dan menatap Dean dengan wajah tertekuk. Mereka berdua bertatapan lama. Ada buliran bening di matanya.

"Maaf, saya jadi lancang. Seumur hidup, saya selalu dipanggil Kakak dan tidak pernah memanggil sebutan itu pada seseorang. Saya penasaran bagaimana rasanya."

"Ah kenapa aku jadi seperti ini?" batin Andra. Ia merasa tidak sanggup mendengarnya tapi di saat yang bersamaan menginginkannya.

Dean menatapnya lama.

"Aku adalah Andi, Kak Andra," Sayangnya ia hanya bisa mengatakannya dalam hati.

***

"Saat mengobrol dengan Pak Andra tadi, kau sangat aneh."

"Apanya?"

"Kau bahkan tersenyum saat kita membicarakannya," Elias mendadak bersemangat.

"Memangnya aku terlihat begitu?"

"Apa kau menyukainya?"

Brurrrr!

Dean menyemburkan minumannya ke samping. Elias tertawa melihatnya.

"Serius kau mengatakan itu?" Dean mengambil tisu dan mengelap mulutnya.

"Dean, aku serius. Apa jangan-jangan ingatanmu..."

"Hem. Semua dugaanmu benar."

"'APA!" Elias seperti disengat listrik siang hari.

"Pelankan suaramu. Orang-orang melihat," bisik Dean. "Jangan beritahu yang lain."

"Kau...sungguh mengingatnya? Ayah mengadopsimu dari mana? Apa kau ingat?"

"Jika ayah tahu ingatanku sudah kembali, dia pasti akan mengancamku menggunakan saudaraku. Andra dan Nico. Aku tidak tahu siapa wanita bernama Nina, dia mungkin wanita yang penting bagi Nico dan Andra. Jadi, aku akan menyerah Elias," batin Dean. Ia masih tidak bisa mengatakan kebenarannya.

"Dean... sejak kapan kau mengingatnya?" desak Elias untuk memberitahunya."Apa kau kenal dengan Andra sebelumnya?"

"Pokoknya ada lah." Dean tersenyum rahasia.

"Apa kau menyesal berada di keluarga Gabriel? Apa keluargamu lebih baik dari ini?"

Dean menggeleng pelan.

"Kalau bukan karena Gabriel, jangankan bertarung, mungkin aku akan menghabiskan sisa hidupku di kursi roda." Dean tersenyum.

"Kursi roda?"

"Em. Aku dulunya lumpuh."

"Astaga."

"Setidaknya ada hal yang aku syukuri. Aku juga bisa bertemu dengan kalian."

Elias prihatin namun juga cemas melihat Dean yang berubah.

***

Maya tengah duduk dengan bosan di ranjang rumah sakit. Ia masih cemberut dan tidak mau berbicara dengan kakaknya dan Oska. Pintu tiba-tiba terbuka, ia melihat Tian berdiri di sana dengan air muka cemas. Tian berlari menghampiri Maya.

"Maya!"

"Kak Tian?"

Tian mendekat lalu memeluknya. Maya kaget namun sedetik kemudian tersenyum malu. Ia membalas pelukannya.

Richy berjalan di lorong dan kaget melihat pintu kamar Maya sedikit terbuka. Ia bergegas dan mendapati ternyata ada Tian di sana. Mereka berdua tengah berbincang santai, Maya bahkan tertawa.

"Anak lemah itu!" Richy hendak masuk namun tiba-tiba Oska mencegahnya.

"Sudahlah, Richy. Biarkan mereka." Oska menutup pintunya pelan.

Richy masih mengintip di kaca kecil di pintu.

"Kau tahu kalau anak lemah itu menyukai Maya?"

"Maya sepertinya juga menyukainya."

"APA?!"

"Ssst! Pelankan suaramu. Dia kan sedang marah padamu. Kalau kau mengusirnya, kau akan makin dibenci."

Richy akhirnya menyerah.

"Apa kau kenal baik senior Maya yang satu itu?"

"Sepertinya dia sedikit lebih baik dari Nico."

"Sedikit?"

Oska mengangguk.

"Hmmm..." Richy memegang dagunya dan nampak berpikir sembari menatap Tian dan Maya yang bercengkrama santai. Ia masih tidak rela gadis kecilnya sekarang sudah tahu apa itu cinta.

***

Dorr!

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari lantai atas, dari arah gym.

Elias, Dean dan Sano yang tengah berada di kamar masing-masing terkejut mendengarnya. Mereka bertiga keluar dan bertemu di aula tengah. Pengawal juga segera berjaga. Mereka menebak orang yang sama karena terakhir kali ada suara tembakan adalah saat Cherry pertama kali datang ke sini.

"Dimana Cherry?" teriak Dean.

"Apa gadis itu mengamuk lagi?" Sean frustasi.

"Bawa gadis itu kemari!" perintah Elias.

Namun tiba-tiba, Cherry turun dari tangga dengan piyama tidurnya sembari membawa pistol di tangannya. Ia tertawa lebar dan menjulurkan lidah keluar.

"Cherry! Apa kau sudah gila?! Turun sekarang juga!" teriak Dean.

"Berhenti mengacau di rumah ini, atau..."

"Atau apa?!" Cherry menyela kata-kata Elias.

Ia turun perlahan, beberapa pengawal bersigap di sekitarnya namun tidak berani mendekat. Dengan angkuhnya Cherry mendekati Elias. Tanpa semua orang duga, tiba-tiba ia mengarahkan pistol itu ke arah Elias.