Pada zaman dahulu di sebuah benua bernama Nodius, hiduplah dua negara yang hidup berdampingan.
Dragnite yang disebut sebagai negara para pejuang, di mana orang-orangnya sangat ahli dalam pertarungan fisik.
Ceres yang disebut sebagai daratan sihir, di mana seluruh penduduknya bisa memanipulasi energi alam menjadi sihir.
Keduanya hidup berdampingan dengan damai selama ratusan tahun.
Namun...
Kedamaian itu terusik.
Kini medan perang selalu diisi oleh prajurit dari kedua belah pihak.
Kekuatan fisik dan ketahanan para prajurit Dragnite
Melawan kepandaian dan sihir dari prajurit Ceres.
Senjata saling berdentang,
Ribuan nyawa menjadi korban,
Mayat-mayat bertebaran di seluruh medan perang.
Bau darah dan bangkai tercium di mana-mana,
Burung-burung bangkai beterbangan
Paruhnya merobek kulit dan daging dari mayat-mayat,
....
Sekuntum bunga mekar.
Hari yang cerah, langit yang bersih dari awan-awan mengganggu.
Terlihat seorang pria memakai mantel coklat dan bertopi fedora berdiri di antara rerumputan gunung.
Pria tersebut memegang sekuntum bunga dan terlihat ragu-ragu.
"Hmm... Bener ini bukan sih?"
Pria itu memeriksa bunga itu lebih teliti.
Ia membuka catatannya.
"Mirip sih, tapi kok ada tengahnya...?"
Pria itu menutup buku catatannya lalu pergi dari situ membawa sekuntum bunga tersebut.
"Bodo lah, penting dapet."
Hari mulai sore, mentari mulai menunjukkan sinarnya yang berwarna jingga cerah.
Pria itu sampai di kamp Dragnite yang berada di dekat pantai.
"Misi, mbah." Katanya saat memasuki sebuah tenda.
Di dalam tenda terlihat seorang wanita tua yang sedang duduk.
"Ini saya sudah menemukan bunga Rainbow Lily."
"..."
"..."
Hening
"Maaf, mbah. Ini saya sudah menemukan bunga Rainbow Lily yang tadi pagi mbah suruh saya untuk cari."
"..."
"..."
"Oh" Kata wanita tua itu dengan wajah datar.
Merasa kesal, pria tadi mendekati wanita tua tersebut.
"Mbah, mon maap ya. Ini saya lagi buru-buru, mood saya juga lagi nggak bagus. Mending mbah nggak usah ngerjain saya daripada nanti kena batunya."
"I...Iya, siap ndan!" Sahut wanita tua itu.
Wanita tua itu lalu mulai membuat sebuah ramuan untuk pria tadi.
"Dasar nggak sopan..." Kata wanita tua itu.
"Bisa-bisanya membentak lalu memukul seorang wanita tua yang lemah ini." Lanjutnya.
Si pria tadi semakin kesal.
"Siapa juga yang suruh ngerjain orang gak kira-kira!?"
"Lagian ngapain juga nyuruh orang pergi ke gunung yang jaraknya setengah hari dari sini, ngambil bunga, yang ternyata BUNGANYA JUGA DITANAM DI BELAKANG TENDA!?" Lanjut pria itu.
Wanita tua tadi menelan ludah.
"Simbah kan tahu, saya ini buru-buru. Kalau jadi, saya akan berangkat malam ini. Ini malah dikerjain!" Kata pria tadi.
"Mbah ini kan sudah tua, inget umur dong. Banyakin ibadah, kurang-kurangin lah ngerjain anak muda." Lanjutnya.
Telinga si wanita tua yang dipanggil Simbah itu panas.
"Ahhh! Nih minum aja, gak usah bacot!" Katanya sambil menyerahkan ramuan yang baru saja ia buat.
Pria tadi menerimanya namun ragu-ragu apakah ia harus meminumnya atau tidak.
"Ini aman kan?" Tanya pria tersebut.
"Jangan ngawur kamu, tentu saja aman!" Jawab Simbah.
Pria itu lalu meminumnya dengan cepat.
Rasanya ramuan itu sangat pahit, hampir saja pria itu memuntahkannya.
"Bleh! Pait! Simbah yakin ini nggak beracun!?"
Mendengar perkataan pria itu, kekesalan Simbah memuncak.
"SEMBARANGAN! ITU RESEP KUNO ASLI DWIPA!" Katanya dengan suara tinggi.
"KELUAR SANA!" Katanya lagi sambil menendang pria tersebut keluar.
Pria itu terjerembab ke tanah.
"Kau tak apa-apa, bro?" Kata seorang prajurit membantu pria itu berdiri.
"Ah, makasih." Kata pria itu sambil berdiri.
"Ngomong-ngomong kau dipanggil Komandan Matthew." Kata prajurit tadi.
Setelah itu, pria tadi lalu berjalan menuju sebuah tenda besar.
"Selamat sore, pak. Lapor, Prajurit Alvaros siap untuk bertugas." Kata pria itu pada komandannya.
"Ah, cepat juga kau datangnya." Kata Matthew.
"Jadi begini..."
...
"Dasar gila..."
"Malam-malam gini, aku disuruh berangkat..."
"NYEBRANG LAUT!"
Perjalanan Alvaros pun dimulai.
...
Malam yang tenang temaram di tengah perairan Selat Stund.
Bintang-bintang berkilauan di langit.
Terlihat seorang pria berpakaian putih dengan rambutnya yang mulai berubah warna menjadi biru berada di sebuah perahu dayung kecil.
"Arah itu... Utara ya." Pikir Alvaros ketika melihat sebuah rasi bintang.
Alvaros menaikkan dayungnya, mencoba mengikuti ke mana ombak membawa perahunya pergi.
"Beneran bisa sampai dengan selamat nggak ya...?" Pikir Alvaros.
Ketika ia melihat ke perahunya, ia terkejut.
"Hah!? Sejak kapan airnya jadi sebanyak ini?" Pikirnya ketika melihat bahwa air laut sudah memenuhi perahunya.
Alvaros lalu cepat-cepat membuang air dari perahu sebelum ia menyadari sesuatu lagi.
Ada lubang kecil di dasar perahunya yang menyebabkan air laut masuk.
"Mampus aing." Katanya.
Alvaros lalu terjun ke air.
Untunglah saat itu laut tidak terlalu ganas, langitnya cerah dan ombaknya tidak terlalu kencang.
Alvaros berenang sestabil mungkin.
Tubuhnya cukup kelelahan karena perjalanan naik dan turun gunung untuk mendapatkan bunga Rainbow Lily tadi.
Tiba-tiba ombak yang cukup besar dari arah timur menghantamnya.
Alvaros tergulung ombak ia berusaha melawannya namun gagal.
Ia pun pingsan di tengah laut.
Pagi-pagi Alvaros sudah terdampar di sebuah pantai.
Barang-barang yang ia bawa hanyut semuanya bersama ombak.
Dari kejauhan terlihat seorang wanita muda berambut ungu membawa keranjang penuh bunga dan tanaman obat.
Wanita itu melihat Alvaros yang terdampar di pantai.
Dengan ragu, ia mendekati Alvaros membawa setangkai ranting pohon yang sudah jatuh.
Ia mencolek-colek Alvaros menggunakan ranting tersebut hingga akhirnya Alvaros membuka matanya.
Pandangan mata Alvaros masih buram, ia tidak bisa melihat dengan jelas.
Ia melihat sesosok wanita yang mengenakan pakaian putih.
"M... Malaikat?" Katanya pelan.
"Jadi begitu... Aku... sudah mati ya...?" Lanjutnya pelan.
Alvaros lalu pingsan lagi diiringi wanita tadi yang terkejut.
"Ngg...?"
Alvaros membuka matanya, terlihat langit-langit rumah.
"Langit-langit rumah...?" Pikirnya setengah sadar.
"Eh, langit-langit rumah!?" Ia sadar lalu terkejut.
"Di mana ini!?" Katanya dalam hati sambil terbangun dari ranjang.
Alvaros melihat tangannya, terbalut perban di telapak dan hastanya.
"Kenapa aku diperban?" Pikirnya.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dari luar, wanita tadi masuk ke kamar Alvaros membawa sebuah ember kecil berisi air dan sehelai handuk kecil di bahunya.
Wanita itu terkejut melihat Alvaros yang sudah bangun hingga menumpahkan ember yang dibawanya.
"Ahh! Maaf... Maaf! Biar saya bebersihkan dahulu!" Kata wanita itu panik.
Mendengar wanita itu dan kalimat yang ia ucapkan, Alvaros yakin bahwa dia ada di Ceres.
Wanita itu terlihat sangat bingung dan sepertinya tidak fokus dalam membersihkan air yang tumpah.
"Anu... Manusia perempuan yang di situ..." Kata Alvaros.
"Dapatkah anda meloloskan kain yang menempel pada jasad saya ini? Saya merasakan kerisian karenanya." Lanjut Alvaros.
Wanita itu mengiyakan permintaan Alvaros dan segera mencopot perban dari tubuh Alvaros.
Saat perban sedang dicopot...
"Anu, maaf..." Kata Alvaros pelan
"Ah, iya. Bagaimana!?" Wanita itu terkejut mendengar perkataan Alvaros.
"Dasar panikan." Pikir Alvaros.
"Apakah anda mengetahui berada di tempat manakah ini?" Tanya Alvaros.
"Oh, itu... Ini Desa Irenbelle..." Jawab wanita itu.
"Mmm... Bicara-bicara... Apa nama milik anda?" Tanya wanita itu pada Alvaros.
Alvaros panik, ia lupa dengan nama samaran yang diberikan oleh atasannya.
Ia lalu menoleh ke sekitar, mencari inspirasi.
Tiba-tiba ada seekor laba-laba kecil di langit-langit rumah.
"N... Nama saya Aranel." Jawab Alvaros.
"Ohh, Aranel ya. Nama yang bagus!" Kata wanita itu dengan senyumnya yang lebar.
"Sial, manis juga nih cewek." Pikir Alvaros.
Wanita tadi lalu berdiri dari kursinya.
"Oh iya, ini saya bawa busana untuk anda kenakan." Katanya sambil menunjuk sepasang baju dan celana putih di meja kecil samping ranjang.
"Setelah memasangnya di jasad, tolong langsung menghadap saya. Kita akan menuju kepala desa." Katanya sebelum meninggalkan kamar.
Tak lama setelah wanita itu meninggalkan kamar, terdengar suara wanita mengaduh bersamaan dengan suara sesuatu yang jatuh.
"Tu cewek kenapa sih...?" Pikir Alvaros