Lova menghela nafas berat dan mengerjapkan kedua matanya beberapa kali yang lelah karena sudah terlalu lama digunakan untuk memandangi kepala sekolah yang sedang berdiri di atas mimbar. Panas matahari sepertinya sudah membakar kepalanya beserta isi-isinya. Tak ada satupun dari sekian banyaknya kalimat yang diucapkan oleh kepala sekolah dalam pidato pria paruh baya itu yang dapat dicerna otaknya.
"Pssst! Pssst! Sunshine."
"Hmm?" gumam Lova lirih sambil melirik Lila yang berdiri di sampingnya sekilas. Pandangannya tetap lurus ke arah depan.
"Ini--" Lila berdehem kecil untuk melegakan tenggorokannya yang kering. "Aku gak tahu, ini cuma perasaan aku aja? Atau apa emang bener, ya sunshine?" tanya Lila lirih sambil memiringkan kepala sedikit mendekat ke telinga Lova.
Kening Lova mengerut dalam. Tidak mengerti dengan pertanyaan yang diajukan Lila. Lova melirik Lila sekilas. "Kenapa Lila?" gumam Lova lirih tanpa membuka mulutnya.
"Dari tadi aku lihat, Axel lihatin kamu terus, deh sunshine."
Axe apa? Lova menghela nafas samar. Memiringkan kepala sedikit mendekat ke telinga Lila. "Jangan bercanda, deh Lila. Axel mana pernah ikut upacara, sih. Ngaco, ah Lila." Lova menegakan kepalanya lagi.
"Ih, enggak! Mana ada aku ngaco, ya sunshine. Kamu coba aja lihat, tuh kearah jam sembilan kalau gak percaya. Orang beneran ada Axel, kok." cebik Lila.
Lova reflek memalingkan wajahnya ke arah yang ditunjukan Lila. Nafasnya tiba-tiba saja tercekat di tenggorokan ketika pandangannya langsung bertemu dengan mata hitam elang milik Axel yang ternyata sedang menatapnya... intens? Lova menelan salivanya susah payah. Perlahan menarik kedua sudut bibirnya ke atas memaksakan seulas senyum canggung seraya menganggukan kepala kecil.
Lova sweatdrop ketika melihat Axel sudah beranjak dari tempat laki-laki itu berdiri. Astaga! Perasaannya mendadak menjadi tidak enak begini. Lova buru-buru memalingkan wajah memutuskan pandangan matanya dari laki-laki itu.
"Oi! Mau Kemane, lu!"
"Bos! Woy! Bos! Njir, lah Bos!"
Axel tak menghiraukan teriakan keras dari Malik dan Abdul yang terdengar nyaris secara bersamaan di belakangnya itu. Seolah terhipnotis, Axel tak sadar melangkahkan kakinya sampai masuk ke dalam area lapangan upacara melewati kepala sekolah yang sedang berdiri di atas mimbar begitu saja. Tatapan Axel tidak pernah putus dari Lova di depannya.
"Eh, eh, eh! Jalan ke sini, tuh bocah!" teriak Lila heboh.
"Shuttt!"
Lila mengatupkan bibirnya ketika mendengar suara desisan bernada peringatan dari arah belakang. Tempat salah seorang guru Kesiswaan berdiri mengawasi selama kegiatan upacara berlangsung.
Lova langsung saja menoleh kembali menatap kearah Axel ketika mendengar teriakan Lila. Degup jantungnya memburu seperti habis lari marathon berkilo-kilo meter. Lova menggelengkan kepalanya menatap Axel dengan sorot seolah berkata jangan mendekat ketika jarak laki-laki itu sudah sangat dekat dengannya.
Axel terus berjalan tak peduli tindakannya sudah membuat suasana upacara yang khidmat berubah menjadi ramai serta menghentikan pidato dari kepala sekolah dengan topik pembahasan yang masih sama dan itu-itu saja. Tak berkembang sama sekali.
Axel menempelkan kedua ujung sepatunya di kedua ujung sepatu milik Lova yang berdiri di barisan paling depan. Dasar murid teladan! Axel tersenyum kecil menatap Lova yang sedang menundukan kepala.
"Hey..." sapa Axel santai.
Lova terdiam tak langsung menjawab. Memejamkan matanya seraya menelan salivanya kasar. Dia tidak siap berada ditengah-tengah situasi canggung semacam ini. Apalagi bisa dipastikan, dia sudah menjadi pusat perhatian sekarang.
Axel terkekeh pelan melihat respon Lova. Kedua tangannya terulur memegang puncak kepala Lova mencoba menutupi kepala gadis itu dari sinar matahari.
"Eh?" Lova terkesiap sedikit. Perlahan mengangkat kepalanya menatap Axel yang berdiri menjulang tinggi di depannya. Lova mengerjapkan kedua matanya satu kali dan bergerak pelan merapatkan tubuhnya pada tubuh laki-laki itu. Lova berdehem pelan. "Axe, kamu ngapain di sini?" tanya Lova berbisik lirih.
Axel tersenyum kecil dan sedikit menundukan kepalanya mendekatkan wajahnya dengan wajah Lova dengan kedua tangan yang dia sembunyikan di belakang tubuhnya. "Lo udah gak kepanasan lagi, kan sekarang?" tanya Axel ikut berbisik.
Lova menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak. Thanks to you. Tapi sorry. Kalau bisa kamu jangan di sini, ya." usir Lova halus sambil mendorong perut rata Axel pelan.
Axel mengangkat tangan kanannya menghapus peluh yang mengalir di pelipis Lova. "Kenapa emang? Ini sekolah, sekolah punya gue. Gue bebas mau ada dimana aja. Termasuk ada di depan lo sekarang. Suka-suka gue, lah. Gak akan ada yang berani larang-larang gue juga."
"Kok, kamu jadi cerewet, sih sekarang? Kemarin-kemarin gak kaya gini perasaan, deh. Ngomongnya singkat-singkat kalau gak dehem doang."
Axel terkekeh pelan. "Makanya jangan bawa-bawa perasaan?!"
"Ish!" Lova mencebikan bibirnya dan memukul dada Axel pelan. Lalu menghela nafas samar. "Iya, aku ngerti. Aku tahu banget kalau soal sekolah ini punya kamu. Tapi--" Lova menoleh ke kanan dan ke kiri sebentar. "Axe, kamu agak ke sanaan sedikit, deh berdirinya." Lova mendorong pelan perut rata Axel lagi. "Semuanya pada lihatin aku kalau kita deket-deket kaya gini."
Axel mengangkat kedua bahunya tak acuh dan bergerak cepat menangkap pergelangan tangan Lova. Menahan tangan gadis itu agar tetap berada di atas perut liatnya.
Lova memutar-mutar pergelangan tangannya berusaha agar terlepas dari genggaman Axel. Namun, usahanya gagal total. "Axe tolong lepasin, dong tangan aku, ih!" kata Lova pelan sambil mendongak menatap Axel kesal.
Axel menautkan jemari tangan kanannya di ruang kosong di sela-sela jemari tangan kiri Lova dan menggenggam tangan gadis itu erat. Hangat.
"Malu banget." cicit Lova.
"Ekhem!!!"
Deheman keras itu sontak membuat Lova kaget dan reflek beringsut ke dada Axel. Menyembunyikan wajah ketakutannya di sana. Lova itu murid biasa-biasa saja. Selama Lova menimba ilmu di Senior High Global Cetta School tidak pernah sekalipun dia melanggar peraturan dan mendapatkan teguran dari guru. Jadi wajar saja bukan kalau dia sekarang merasa sedikit takut dan was-was?
"Axe." gumam Lova lirih sambil menggenggam tangan Axel erat.
Axel menunduk menatap Lova sekilas. Mengulurkan satu tangannya yang bebas memeluk punggung tegang Lova. Perlahan bergerak turun ke pinggang gadis itu dan meremasnya pelan. Mata hitam elang Axel menyorot tajam kearah pelaku pembuat deheman keras itu. Laki-laki yang dia tahu pernah menjabat sebagai kapten basket sebelum dia lengserkan. Axel tersenyum miring ketika bisa menangkap jelas adanya gelagat cemburu dari laki-laki yang merupakan kakak kelasnya itu.
Axel menunduk menatap Lova. Senyum gelinya terbit. "Lo gak usah takut. Ada gue di sini. Hari ini gantian gue yang bakal lindungi lo dari panas atau siapapun. Gue bubarin aja kali, ya upacaranya my Lov?" tanya Axel enteng sambil menjatuhkan dagunya di atas kepala Lova. Axel memejamkan kedua matanya dan menghirup aroma buah pisang rambut gadis itu yang menenangkan.
Kening Lova mengerut. Perlahan mendongakan kepalanya menatap Axel tidak mengerti. "Apaan, sih? Kamu bilang apa tadi? My-- love? Apa?"
Axel perlahan membuka kedua matanya. Menjauhkan dagu dari puncak kepala Lova. Axel menatap manik mata gadis itu lalu menggeleng pelan. "My Lov untuk My Lov-a. Gimana?" tanya Axel sambil memainkan kedua alisnya naik turun menggoda Lova. "Gils! Emang keren parah, anjir?!" seru Axel keras menjawab pertanyaannya sendiri.
Kedua mata Lova langsung melebar terkejut. "Kamu-- jadi kamu tahu nama aku? Kok, bisa gitu, sih?" tanya Lova menatap Axel tidak mengerti.
Axel mengangguk singkat. "Kayanya emang lo harus jadi pacar gue, my Lov. Biar lo kenal siapa gue sebenarnya dan sejauh apa yang bisa gue lakuin. Tahu nama lo doang, itu sepele." kekeh Axel.
Lova terdiam menatap Axel sejenak. "Lila?"
"Hah? Ya? Apa?" jawab Lila gelagapan.
Lova mengerjapkan kedua matanya. "Lova pasti lagi mimpi ada Axe di depan Lova, ya Lila? Tapi, kok kaya yang nyata banget, sih." kata Lova polos.
So cute! Axel tertawa kecil. Mencium punggung tangan Lova sekilas. Tak menghiraukan keributan yang ditimbulkan oleh aksi implusifnya. Perhatiannya hanya tertuju pada wajah polos Lova. "Lo lagi gak mimpi, my Lov."
Mata Lova membelalak lebar. "Hemph!" Lova langsung menahan nafasnya. Menutup mulut dengan telapak tangan kirinya.
"Take a breath, my Lov." bisik Axel pelan seraya melepaskan kedua tangannya menjauh dari tangan dan pinggang ramping Lova.
Lova cepat-cepat menghembuskan nafasnya seraya menjauhkan tangan kiri dari depan mulutnya. Dia tak ubahnya seperti ikan yang baru saja dimasukan kembali ke dalam air setelah terjebak lama di atas tanah.
Axel berjalan mundur beberapa langkah menatap Lova geli. Menyempatkan melirik kearah kakak kelas, si mantan kapten basket itu sekilas. Axel langsung berbalik badan meninggalkan Lova yang masih melongo di tempat gadis itu berdiri.
"Woyyy! Bubar-bubar! Upacara selesai! Cewek gue kepanasan!" teriak Axel keras kearah kepala sekolah yang masih berdiri terdiam di atas mimbar sambil mengibaskan tangan kanannya. Axel menatap pria paruh baya itu tajam.
Tak lama terdengar suara pengumuman dari kepala sekolah dan disusul peserta upacara yang mulai membubarkan diri meninggalkan lapangan upacara.
Lila beringsut mendekatkan dirinya pada Lova. "Itu-- tadi itu-- apa-apaan, sunshine?! Horror banget, sumpah." tanya Lila yang masih shock terbata-bata.
Lova perlahan menoleh menatap Lila yang juga sedang menatapnya. "Lova juga gak tahu, Lila." balas Lova sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Lova beralih menatap punggung Axel yang semakin menjauh. Dia juga tidak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. Bisa terlibat pembicaraan dengan Axel saja rasanya sudah aneh. Apalagi ini, harus berhadapan dengan laki-laki itu yang bertingkah layaknya dia adalah pacarnya. Terlalu mesra. Super duper aneh. Lova menghelas nafas kasar sambil geleng-geleng kepala.
Dari pinggir lapangan upacara Malik dan Abdul hanya terdiam memperhatikan interaksi tak biasa yang terjadi di antara Axel dan Lova intens dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana. Kedekatan yang terkesan tiba-tiba itu menimbulkan tanda tanya besar di dalam kepala mereka berdua.
Abdul berdehem pelan dan melirik Malik sekilas. Lalu menepuk pelan bahu laki-laki itu sebelah kiri dua kali. "Cabut!"
Malik hanya mengangguk tanpa melihat Abdul. Pandangannya tak lepas menatap pada sosok Lova yang sekarang sudah ada sosok Lila yang berdiri di samping gadis itu. Malik menghela nafas pelan sambil berbalik badan.
Malik berjalan mengikuti Abdul yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Malik menyugar rambutnya ke belakang dengan tangan kanan. Wajah cooI yang Malik tunjukan ketika melakukan itu berhasil menciptakan pekikan-pekikan tak tertahan dari kaum berjenis kelamin perempuan yang sedang berada di sekitarnya.
Abdul langsung menoleh ke belakang. Memutar kedua bola matanya malas. "Njir, lah Lik! Sok yang ganteng banget lo!" ucap Abdul pada Malik yang sudah berjalan di sampingnya.
Kening Malik mengerut dalam. "Oi! Wajah gue emang ganteng, Nyet. Grade gue jauh di atas lo. Jadi wajarlah mereka kaya gitu. Gue diem doang aja mereka juga udah pada jejeritan." balas Malik sambil menoyor kening Abdul keras.
"Njir, lah Lik!"
-firstlove-
Lova menghela nafas berat. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Lova langsung memeluk lengan kanan Lila dan beringsut mendekatkan dirinya ke arah tubuh sahabatnya itu ketika matanya menangkap pandangan-pandangan sinis dan telinganya mendengar bisikan-bisikan tidak enak yang tertuju padanya.
Lila langsung menoleh menatap Lova yang sedang menundukan kepala dalam-dalam seolah sedang menyembunyikan wajah sahabatnya itu. Pandangannya beralih ke sekelilingnya. Lila memberikan delikan tajam pada setiap kaum sejenisnya yang sedang berbisik-bisik membicarakan Lova secara terang-terangan.
"Kamu kenapa nundukin kepala kamu kaya gitu, sunshine? Angkat kepala kamu." tanya Lila tanpa melihat Lova. Pandangannya masih beredar mengawasi setiap kaum sejenisnya yang menatap lain pada Lova.
"Hah? Gimana, Lila?" jawab Lova gelagapan langsung mengangkat kepalanya menatap Lila tidak mengerti. "Oh, enggak. Lova lagi lihat sepatu Lova aja. Tadi kaya ada kotorannya, tapi ternyata gak ada pas Lova lihat lagi." Lova nyengir kuda.
"Hmm," gumam Lila datar dan dingin.
"Lova beneran gak apa-apa, kok Lila." terang Lova sambil tersenyum lembut mencoba memberi Lila ketenangan sambil mengusap-usap lengan sahabatnya itu pelan.
Lila terdiam sejenak menatap Lova lekat sebelum menganggukan kepalanya. Dia baru akan bertindak kalau perempuan-perempuan yang menyebut diri mereka sebagai penggemar Axel itu berbuat kasar pada Lova. "Jangan terlalu kamu perduli kan mereka, sunshine. Nanti kamu makan hati sendiri. Dan jangan pernah, kamu nundukin kepala kamu kalau kamu benar. Ngerti?"
Lova hanya tersenyum kecil seraya mengangguk patuh.
Lila menghela nafas samar. "Jadi gimana ceritanya kamu bisa jadi deket sama Axel, sunshine? Mana si Axel udah main bilang cewek gue, cewek gue segala lagi." sewot Lila ketika keduanya sudah berada di lorong koridor lantai satu. "Kamu udah berhasil bikin heboh satu sekolahan.
Lova melirik Lila sekilas. Lalu berdehem pelan. "Lova gak tahu juga sebenarnya, Lila. Lagian aku sama Axe--"
Lila mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan ucapan Lova. "Wait, sunshine." sebelah alis Lila terangkat. Menatap Lova tidak percaya. "Axe? Kamu sampai udah punya panggilan sayang kaya gitu. Tapi sampai hari ini kamu gak ada cerita sama aku, sunshine? Unbelievable." sindir Lila keras.
Lova menggeleng keras. "Bukan kaya gitu, Lila. Dengerin dulu Lova ngomong makanya. Jangan dipotong dulu, oke?"
Lila memutar kedua bola matanya mata. "Ya, ya, ya." jawab Lila ogah-ogahan.
"Jadi Lova juga gak tahu gimana bisa Lova dua hari berturut-turut ketemu sama Axe. Dan keadaan Axe lagi gak baik. Jadi, ya gitu--" Lova mengedikan bahunya. "Lova tolongin Axe, udah gitu aja, Lila. Lova pasti cerita gak mungkin enggak. Tapi, kan kita belum ada waktu ketemu semuanya. Lova males, ah kalau harus diulang-ulang ceritanya nanti."
Lila manggut-manggut. "Oke, alasan diterima. Terus itu, gimana ceritanya Axel jadi Axe, sunshine?" tanya Lila sambil memicingkan matanya menatap Lova curiga.
"Apa, sih? Biasa aja, ah lihat Lova-nya, Lila." Lova tertawa kecil. "Kalau soal nama itu, Lova gak tahu juga kenapa bisa gitu. Ya... lucu aja, sih. Kaya merk parfum cowok yang bintang iklannya cakep-cakep banget sama perutnya kotak-kotak kaya roti sobek itu, lho Lila." Lova terkikik geli. Menutup mulut dengan tangannya.
Lila mengusap wajah Lova pelan. "Dasar jomblo?! Otaknya traveling."
Tbc.