webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
Sin suficientes valoraciones
165 Chs

Something

Hujan deras telah mengguyur sebagian kota dari kemarin hingga malam, meninggalkan beberapa genangan air di jalan berlubang atau bertekstur tidak rata. Tidak ada yang spesial dari hari ini selain langit lebih cerah meskipun udara dingin masih tertinggal. Mungkin harus menunggu agak siang sampai temperatur udara menjadi naik.

Simon tak terlalu ambil pusing, dia bukan lelaki cerah ataupun lelaki hujan yang perasaannya bergantung sekali dengan cuaca. Ada badai pun, hidupnya tetap seperti ini.

"Alexa, jam berapa kelas ku dimulai hari ini?" tanya Simon sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Aroma mint segar menguar dari seluruh permukaan kulit, tetesan air dari rambut ikut tertinggal di belakang setiap kali kakinya melangkah.

"Kelas hari ini akan dimulai jam sebelas lebih lima belas menit. Materi bisnis dan hukum dari Profesor McGonall."

Suara bernada datar menjawab pertanyaan barusan. Simon mengangguk kecil meskipun tak ada siapapun di sini bersamanya. Mungkin sudah terbiasa dengan kesendirian dan hanya ditemani sebuah AI yang membantu hampir sebagian kebutuhannya. Dia lantas berjalan ke ruang ganti, sebuah kamar khusus berisi berbagai pakaian dari formal hingga paling santai. Profesor McGonall dikenal sebagai pria tua yang perfeksionis, meski umurnya sudah menginjak hampir 60 tahun, penampilan beliau masih tampak rapi, kepala botaknya juga tak memengaruhi karisma yang kuat. Pria itu secara tak langsung mengajarkan bagaimana berpakaian layaknya pembisnis tanpa perlu memaksa para mahasiswa-mahasiswi nya untuk rapi.

Simon mengitarkan pandangan ke arah jejeran pakaian formal namun tak terlalu berat. Seperti kaos berkerah turtle warna abu tua, dipadukan dengan blazer hitam, cukup rapi dan sangat cocok dengan hari yang dingin ini.

Menanggalkan kain bathrobe lebih dulu sebelum memakai pakaian yang telah dia pilih. Cermin lebar dihadapannya memantulkan bayangan tubuh putih semulus porselen, tak banyak otot terbentuk di tubuhnya, terkesan kurus seperti wanita. Simon cepat-cepat memakai pakaian, agak risih melihat bagaimana tubuhnya terpahat.

Dia tak terlalu suka warna kulit putih pucat, membuatnya mirip seperti vampir atau mayat hidup. Belum lagi bibir semerah darah, menjadikannya lebih mirip perempuan dengan gincu menor. Warna kulit putihnya hampir mendekati albino, jarang sekali muncul semburat merah yang menandakan adanya aliran darah di dalam tubuh. Karena itu, Simon lumayan sering menambahkan perias wajah berupa krim berwarna lumayan gelap. Hanya kadang saja ketika dirasa tubuhnya lebih pucat dari biasanya.

"Alexa, jam berapa sekarang?"

"Sekarang waktu menunjukkan pukul 11.05 menit."

Simon melotot sesaat. Dia tak sadar sudah menghabiskan waktu lumayan banyak dengan berkutat di depan cermin. Tak ada lagi waktu untuk memperbaiki penampilannya, tambahan berupa riasan wajah juga dia tinggalkan. Meski begitu Simon masih bisa menyemprotkan Parfum sebelum akhirnya berlari kencang keluar dari kamar apartemen.

Ingat, Profesor McGonall adalah orang perfeksionis yang mana terlambat satu detik saja berarti nilai akhir semester mu berada di ujung tanduk, tak peduli seberapa pintar kau jika melakukan kesalahan sekali saja maka tamatlah hidup mu.

Simon memang termasuk orang yang tidak terlalu peduli, pengecualian untuk kasus ini. Dia masih sangat waras untuk membiarkan nilai selama satu semester berakhir tragis. Kaki kurusnya melangkah sangat cepat menyusuri lorong apartemen hingga sampai ke pintu lift.

Lift?

Ah sial! Simon tak punya waktu lagi jika harus menuruni anak tangga dari lantai tiga sampai ke basement seperti kemarin. Berdoa saja, semoga pihak pengelola gedung sudah memperbaiki kerusakan lift.

Ternyata, Dewi keberuntungan masih berpihak padanya karena lift yang langsung menuju basement sudah diperbaiki, Simon mendesah lega dan cepat-cepat masuk ke dalam lift lalu menutup pintunya. Sembari menunggu kotak besi itu mengantarkannya turun ke area parkiran di bawah, Simon merosotkan tubuhnya hingga ke bawah, mendudukkan pantatnya pada permukaan besi dingin. Dinding besi berbalut cermin di seberangnya memantulkan penampilannya yang sudah acak-acakan, tak lagi serapi saat di kamar. Ini semua karena dia tidur terlampau lelap dan lupa melihat jam.

Segera setelah pintu lift terbuka, Simon membawa kaki kurusnya dengan kecepatan tinggi mendekati mobil berwarna silver. Pintu Maserati Levante terbuka lebar dan tertutup dengan suara berdebum cukup kencang, menjelaskan keadaan si pengemudi yang terges-gesa. Simon menginjak pedal gas, mamacu mobil buatan Itali tersebut membelas jalanan perkotaan yang mulai memadat.

Beberapa kali Simon harus menghindari mobil di depannya dengan kecepatan tinggi atau menginjak rem tiba-tiba karena Trafic light yang merah. Untungnya semua bisa dilewati tanpa menimbulkan kecelakaan, sampai akhirnya Maserati levante sukses berhenti di area parkir kampus.

Tak menunggu waktu lama untuk Simon segera keluar sambil membawa tas jinjing berisi buku-buku pelajaran dan sebuah iPad Air pro, berlari masuk ke lobi kampus lalu menyusuri koridor hingga menapaki anak tangga ke lantai dua. Lelah? Tentu saja, tapi nilai semesternya lebih penting daripada kemungkinan dia terkena serangan asma.

"Hosh.... Hosh..."

Simon mengatur nafas lebih dulu sebelum dia membuka pintu di hadapannya, dia tak tahu sudah berapa banyak waktu terlewati, saking buru-buru Simon tak sempat memakai jam tangan. Berharap semoga Profesor McGonall sedang dalam Mood baik hingga tak sampai hati menghilangkan nilai satu semesternya.

Gagang pintu telah di geser seiring detak jantung Simon berpacu dengan cepat.

Simon membatu di tempatnya berdiri. Pupil matanya membesar ketika mendapati seluruh ruang yang harusnya terisi penuh malahan kosong.

Benar-benar kosong melompong.

Sama sekali tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Podium kosong serta papan tulis masih putih bersih, seakan tak pernah ada proses belajar mengajar. Begitu juga dengan jejeran bangku yang tersusun rapi menganak tangga, sepi sunyi.

Apakah dia sangat terlambat sampai datang saat kelas telah usai? Pikir Simon.

Berbarengan bersamaan praduga tidak acak dalam pikirannya, dering ponsel mengalihkan perhatian. Masih dengan wajah kebingungan, Simon mengangkat panggilan tersebut.

"Ya?"

[ Ku tebak kau ada di depan kelas Prof. McGonall..]

Suara familiar terdengar di seberang telepon. Secara reflek, Simon langsung memutar kepala, mecari-cari keberadaan Jacob yang dia kira ada di sekitarnya.

"Kau di sini?"

[Tentu tidak bodoh, kau pasti lupa mengubah jadwal hari ini kan? Kemarin sebelum kelas usai, Prof. McGonall berkata dia akan melakukan seminar di New York. Hari ini kelas kosong tahu~]

Simon merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana dia bisa melupakan hal sepenting ini. Tidak, ini bukan sepenuhnya salah dia, beberapa kejadian kemarin cukup membuatnya tak bisa berpikir lurus.

[Makanya, kan aku sudah bilang untuk membuang benda tak berguna itu.]

Yang dimaksud Jacob adalah AI, Alexa.

"Tsk!" Simon sedang tak ingin berdebat dengan Jacob hari ini, tapi dia juga membutuhkan si pria gondrong. "Profesor pasti mengirimkan materi pelajaran hari ini kan?"

[Astaga~ Kau lupa juga?]

Simon memutar matanya jengah. "Kau dimana? Aku akan mendatangimu.."

"Eh.. eh.. tidak usah, kau tak perlu ke sini."

Alis Simon berkerut setelah mendengar penolakan Jacob. Tumben sekali. "Kenapa? Kau juga tak mau jika ku suruh datang ke tempatku kan?"

"Hehehe.. benar sih, tapi aku sudah mengirim temanku untuk mengirimkan filenya padamu, dia sudah berangkat beberapa saat yang lalu. Berterimakasihlah padaku, kau punya satu teman yang sangat pengertian sepertiku. Makanya—"

-Piiip.

Simon mematikan sambungan secara sepihak yang mana pasti membuat Jacob memaki di seberang sana.

"Teman macam apa yang tak bertanggung jawab," gerutu Simon. Namun itu tak berselang lama karena setelah itu telinganya mendengar seseorang memanggil namanya.

"Simon?"