webnovel

BAB 6 Anak SMP

Aku terdiam cukup lama. Melihat kamar yang sama luasnya milik Kirana. Namun dengan nuansa berbeda. Kamar ini tampak seperti kamar anak-anak.

'tok tok tok'

"Masuk!"

Seorang perempuan paruh baya masuk ke dalam.

"Tuan mengajak anda makan malam bersama."

"Aku tau. Aku akan segera turun."

Lagi-lagi kudapati ekspresi terkejut. Sama persis dengan awal-awal aku menjadi Kira ... aku kembali?!

Aku segera turun dan mematut diri pada lemari bergambar kartun dengan kaca yang menempel di sana. Tampak seorang anak kecil milik Kirana. Tubuhnya jauh lebih pendek dari Kirana. Dan lekukan tubuhku pun tak ada. Apa yang terjadi.

'tok tok tok'

Aku segera tersadar dari pikiran yang berkecamuk. Sekarang bukan saatnya. Ayo cari tau siapa aku saat ini.

"Sebentar!" teriakku. Aku langsung berlari ke kamar mandi. Membersihkan diri dan langsung turun ke bawah.

"Bi! Tolong panaskan kembali!" ucap pria paruh baya yang tentunya papa Kirana.

Ah! Jantungku benar-benar tak kuat. Bukan karena pesona papa Kirana yang ternyata lumayan tampan juga. Melainkan, kenapa aku harus kembali lagi kemari. Jika bukan karena ekspresi dan pelayan yang sama dengan waktu itu. Mungkin aku juga agak kesulitan.

Dengan malas aku duduk di dekatnya. Lalu menunggu makan malam tiba.

"Besok papa ada rapat penting. Jadi Sopir yang akan mengantarmu ke SMP barumu di sini."

Aah! Ternyata ini di masa aku baru pindah dan sudah menemukan, kalau Mario dan mamanya sudah bahagia dengan papa baru. Meninggalkan dirinya terbelenggu dengan papa yang ini.

Aku mengangguk dan segera menyantap makanan yang baru dipanasin itu. Aku tak ingin berlama-lama di sini.

xxx

Aku menatap teman-teman satu SMP ku. Ada Bella di sana dan ... si iblis. Ah! Malas.

"Silahkan Kirana!"

"Perkenalkan saya Kirana!" ucapku ringkas.

"Ng? Sudah?" Aku mengangguk. "Baiklah, kamu bisa duduk di bangku yang kosong itu."

Aku melihat sekilas. Cih! Kenapa harus di sebelah sibih. Alih-alih protes aku pun melangkah dan langsung memerhatikan papan tulis.

"Ke ... kenalin aku Silvi!"

"Kita masih di kelas! Perhatikan ke depan!" ucapku kesal sambil fokus ke depan.

Aku larut dalam pelajaran hingga bel berbunyi dan guru mengakhiri pelajarannya. Dan saat jam istirahat aku langsung menyembunyikan wajah dalam lipatan tangan. Enggan diganggu siapapun. Bahkan Bella dan Silvi.

Dan begitulah kegiatanku hingga semester berganti. Aku naik kelas 2 dengan Bella yang menjadi teman sekelas. Saat itu, ternyata Silvi mulai mengambil Arga dan kawan-kawan. Untung saja pria itu belum sampai main tangan. Hanya omelan yang penuh kekecewaan.

"Lu Kirana kan?" tanya Arga.

Aku yang asyik mengerjakan beberapa soal matematika yang diberikan oleh guru penanggung jawab untuk olimpiade tahun ini langsung menoleh. Menatap pria itu dengan ekspresi bertanya.

"Katanya lu yang bakal gantiin gua Olimpiade tahun ini. Gua disuruh ngawasin dan jika ada sesuatu yang diperlukan ...."

"Nggak perlu." Aku kembali melanjutkan soal di depan.

"Apaan nih? Arga ditolak?!" ledek Ergi. Ternyata teman-temannya juga ada di sana.

"Jika kalian ingin ribut. Lebih baik kalian ke lapangan!"

"Ran! Kami cuma khawatir. Ta ...."

"Ck!" Aku mencoret buku tulis di depanku. Padahal sudah hampir selembar penuh dengan jawaban dan rumusan dari soal-soal tersebut.

"Ran!"

"Sudah! Lebih baik kita keluar. Gua percaya dia bisa." Arga mengajak teman-temannya keluar dari kelas.

"Iyalah bisa! Jarang ada yang bisa ngambil alih tempat lu sebagai juara umum seluruh angkatan. Bahkan saat SD mendapat nilai Ujian Nasional tertinggi."

Aku langsung menggebrak meja. Dengan cepat aku segera melangkah keluar kelas. Saat ini aku butuh ketenangan. Jangan sampai aku malah macam-macam sama nenek lampir.

xxx

"Ran!"

Aku segera berlari naik ke kamar. Mengurung diri sendiri. Mario dan Juna tak henti-hentinya membujuk dan meminta maaf.

"Kali ini gua nggak boleh gegabah! Ingat itu!" tunjukku pada pantulan diri yang ada di cermin.

Setelah itu, aku berganti baju dan bersiap untuk tidur siang. Lalu menunggu waktunya makan malam. Bersama papa.

"Bagaimana sekolahmu?" tanyanya. Selesai mengelap mulut dengan sapu tangan yang ada.

"Kbs," ucapku singkat. Aku segera beranjak dan pergi. Rasanya benar-benar tak sopan. Tapi memang begitulah Kirana.

xxx

Aku berjalan ke kantin. Semua orang sempat terkejut dengan kehadiranku. Pasalnya meski terkenal dengan kecantikan, kecerdasan dan kekuatan. Aku tak pernah menginjakkan kaki ke sana.

Arga dan teman-temannya yang mungkin mendengar bisikan-bisikan anak-anak kantin langsung menoleh. Kebetulan sekali aku memang mencari pria itu. Kakaknya Bella.

"Gua disuruh untuk minta soal tahun lalu."

Arga mengangguk. "Besok gua kasih."

Aku hanya mengangguk dan langsung balik lagi. Namun tanganku dicekal.

"Nggak makan dulu, Ran?" tanya Silvi.

Aku menghela nafas. "Siapa yang suruh lo megang tangan gua?!"

Silvi langsung menurunkan tangannya.

'brak'

"Apa-apaan lu?!"

"Lu yang apa-apaan?!" tanyaku menantang menatap Ergi. "Lu sendiri nggak suka dipegang orang asing. Jadi suka-suka gua!"

Aku langsung mengeluarkan tisu basah yang selalu sedia. Lalu membersihkan tangan begitu saja.

"Lain kali jangan pegang tangan orang sembarangan!" ucap Arga lembut pada Silvi. "Nggak semua orang suka disentuh. Lu nggak papa?"

Aku tak menjawab dan langsung berbalik pergi. "Ck! Dasar aneh!" ucapan Ergi membuatku berjalan sambil tangan terkepal.

xxx

Arga duduk di sebrangku. Perpustakaan tampak sepi. Hanya kami berdua dan seorang petugas.

"Kenapa?" tanyaku yang melihat dia kebingungan. Arga menggeleng. Dia kembali dengan buku tugasnya.

Diam-diam aku berdiri dan melihat tugasnya dari belakang. Oh! Ternyata itu.

"Yang itu begini caranya!" ucapku sambil merebut bukunya dan mencoret di buku coretan milikku.

Aku melihat ke arahnya yang terdiam menatapku. Kenapa ni anak. Aah! Entahlah.

"Hei!" Aku menjetikkan jari di depannya.

"Ekhm! Makasih! Seharusnya gua yang bantu lu kalo ada soal yang sulit."

"Nggak papa. Gua bisa."

"Lu suka Matematika?"

"Benci."

"Tapi?"

"Karena benci makanya pengen gua bantai sampai habis," sambungku asal.

"Hufft! Hahaha!"

"Ssst! Diam!" bentak petugas perpustakaan.

"Maaf, Buk." Aku dan Arga segera meminta maaf.

xxx

Kupijat pelipisku. Cerita benar-benar sudah berubah. Dan representasi Silvi jatuh padaku.

"Kirana! Apa yang lu lakuin!" teriak Ergi yanh muncul tiba-tiba bersama yang lain. Ia langsung membantu Silvi berdiri.

"Apa yang terjadi?" tanya Ergi lembut.

"Aku ... aku ...."

"Dia hanya menyapa." Seorang gadis membela Silvi.

"Lu!" Ergi hendak main tangan. Namun aku langsung mencekalnya.

"Pagi Ergi! Padahal kamu kapten tim basket yang hebat, tapi orang tua mu ...." Aku menitikkan air mata. Ergi terdiam melihatku. Hah! Seharusnya aku jadi aktris saja.

"Itukan karena Silvi kasihan sama ...." Perempuan itu terdiam ketika Ergi menatap tajam. Arga juga tak kalah emosi.

Aku langsung duduk lemas dan menyembunyikan wajah. "Sebaiknya kalian pergi. Aku ingin sendiri."

Terdengar derap langkah mereka yang keluar. Aku segera duduk untuk mengambil tisu. Nyatanya sebuah tangan sudah mengulurkan tisu padaku.

"Lu nggak papa?" tanya Arga.

"Lu bisa pergi. Gua mau sendiri." Aku segera mengambil tisu itu dan menatap langit.

"Lu boleh bersandar atau menangis."

"Gua lelah nangis. Gua mau sendiri. "

Arga mengerti dan langsung pergi begitu saja. Aku menghela napas cukup panjang dan kembali berkutat dengan soal-soal sampai bel masuk berbunyi.