webnovel

2 - Kembali ke Masa Lalu II

"Bukankah Nona Erleane menyimpan kecemburuan sehingga dia berani meracuni Tuan Putri?"

"Benar, benar. Nona Erleane sangat mencintai Tuan Arsenio yang merupakan tunangan Tuan Putri sehingga mampu meracuni Tuan Putri."

"Nona Erleane ternyata pribadi yang seperti ini."

"Tidak heran Nona Erleane dibuang ayahnya sendiri."

Bukan. Itu bukan aku!

Aku tidak meracuni Tuan Putri!

Aku bahkan tidak pernah berpikiran untuk meracuni Tuan Putri.

Memang benar bahwa aku mengagumi Tuan Arsenio yang merupakan tunangan Tuan Putri. Namun, aku sama sekali tidak menyimpan sisi romantis bagi Tuan Arsenio.

Tuan Arsenio itu berbeda. Aku menganggapnya sebagai sisi yang kosong di dalam kehidupanku.

Dia nyaris mirip dengan ... Ayah.

Suasana pesta yang digelar Tuan Putri heboh.

Aku menatap sekitar, jelas untuk mencari dukungan.

Kemudian, aku tanpa sengaja bersitatap dengan mata biru Ayah.

"Ayah! Tolong percaya pada saya! Saya tidak bersalah!"

Ayah hanya mengerutkan wajah dengan jijik dan menghilang dari pandanganku.

Hal ini membuat bisik-bisik bangsawan semakin heboh.

"Bahkan Tuan Duke Arcelio tidak mengakui putrinya."

"Nona Erleane cemburu karena Tuan Putri mendapatkan kasih sayang sementara dia tidak."

"Benar, benar. Nona Erleane jadi meracuni teh Tuan Putri."

"Nona Erleane sangat kejam."

Sesuatu di dadaku melesak, mendesak, menyakiti.

Air mataku menetes tanpa isakan bahkan ketika ksatria berada di dua sisiku untuk menyeretku.

Kemungkinan ke penjara bawah tanah.

Aku tertawa.

"Nona Erleane benar-benar menjadi gila."

"Nona Erleane sudah tidak waras."

Tawaku mengeras.

Benar. Aku tidak waras.

Aku tidak waras karena masih mencari kasih sayang dari ayahku! Aku yang bodoh dan naif. Berharap bahwa suatu saat, Ayah akan kembali mencintaiku.

Sesuatu yang naif sekali.

Aku dilemparkan ke penjara bawah tanah. Lembap. Gelap.

Keesokan harinya, kepalaku dipenggal.

***

dua

kembali ke masa lalu I

***

Pelayan pribadiku, Terea, membantuku dengan gaun mungilku.

Gaun berwarna emas berenda putih dan beberapa aksesori kekanakan.

Memang sulit dipercaya, tapi aku kembali ke masa lalu.

Di masa ketika usiaku masih lima tahun. Di masa ketika ayah mendorongku dengan terang-terangan.

Aku menghela napas.

Namun, ada yang aneh pagi ini.

Ketika Arthur datang dengan tergesa ke kamarku dan mengatakan beberapa patah kata ke pelayan yang ikut terkejut.

Lalu pelayan membantuku bersiap.

"Nona Muda. Apakah Anda tidak senang?" Terea memasang pita di rambutku.

Aku tersenyum lebar, separuh kekanakan.

"Mana mungkin, Terea. Aku sangat gembira! Ayah mengundangku untuk sarapan bersama. Ini adalah mimpiku, Terea."

Terea tersenyum lembut. "Anda benar, Nona Muda. Tuan Arcelio memanggil Anda untuk sarapan bersama pertama kalinya. Anda jelas harus merasa gembira."

Aku mendengus dalam hati.

Ayahku adalah pria brengsek yang membuang putrinya.

Pasti ada motif tersembunyi di acara sarapan kali ini.

Mungkin si pria brengsek itu akan membuangku dengan menikahkanku dengan pria tua.

Menjadikanku alat politik.

Aku tidak akan luluh.

Aku tidak akan mencintai pria itu lagi dan membiarkan hidupku berakhir di guillotine lagi.

Aku akan mengebalkan hatiku sehingga aku tidak mencintai pria itu lagi!

***

"Salam kepada Ayah. Ini adalah pagi yang cerah. Saya merasa terhormat bisa bergabung dengan Ayah dalam sarapan pagi ini."

Aku membungkuk dengan etiket sempurna sebelum mendongakkan kepalaku untuk bersitatap dengan mata biru lautan milik Ayah.

Aku merasa tubuhku bergetar samar.

Apa-apaan dengan tatapan lembut itu?

"Selamat pagi, Erleane. Duduklah."

Aku tidak berharap dia akan membalas sapaanku.

Aku mencegah perasaanku membludak, dan duduk di atas kursi dibantu oleh beberapa pelayan.

Kami lalu memulai sarapan dengan hening.

Aku yakin jika Ayah tidak menyentuh makanannya dan hanya menatapku makan. Ada apa dengan dia?

"Erleane."

Lalu Ayah memanggil namaku.

Sialnya, nadanya sangat lembut hingga aku terbuai. Nada yang tidak pernah dia gunakan untuk memanggil namaku.

"Ya, Ayah?"

Aku tetap rasional.

Mungkin ada udang di balik batu.

"Apakah kamu mau melakukan tea time dengan Ayah siang nanti?"

Mataku membulat. Apa pria brengsek itu bercanda?

Apa dia adalah orang yang sama yang telah mengabaikanku selama lima belas tahun dan hanya menatapku keji ketika guillotine memenggal leherku?

Namun, lagi-lagi perasaanku yang menang.

Perasaan yang tidak pernah diberi kasih sayang sehangat ini dari pria itu memenangkan segalanya.

"Apa itu sungguhan, Ayah?!"

Aku bisa melihat senyuman lembut di bibir kaku Ayah.

Ayah memang dikenal sebagai pria berhati dingin. Ayah jarang tersenyum, tidak, nyaris tidak pernah tersenyum. Dan ini adalah pertama kalinya Ayah tersenyum padaku.

"Benar, putriku. Apa kamu mau menghabiskan waktu dengan Ayah?"

'Putriku'.

Ah, sial! Aku bertekad untuk tidak mencintai pria itu dengan bodoh lagi sebagai putrinya! Tapi kenapa dia memanggilku sebagai putrinya sekarang?

Aku tanpa sadar tersenyum polos dan kekanakan.

"Tentu saja, Ayah!"

Yah, mungkin tidak apa. Hanya sebentar.

Sampai aku menemukan motifnya bersikap lembut padaku.

***

Matahari bersinar cerah dengan beberapa awan putih menggulung di udara.

Tea time digelar di gazebo taman yang megah. Menunjukkan kekuasaan salah satu dari dua Duke di Kerajaan Halstead.

Aku sudah mengganti gaunku dengan yang lebih sederhana. Anehnya, pelayan sepertinya bersekongkol dengan Ayah. Karena pria itu mengenakan pakaian pasangan denganku.

Meski pakaiannya berwarna hijau, rambut hitam Ayah selalu cocok mengenakan warna pakaian apa pun.

Dan Ayah memang tampan.

Aku menarik cangkir yang berisi susu, lalu menatap diam-diam pria yang duduk di seberangku.

Ayah tampak santai, tubuhnya tidak sekaku biasanya. Bahkan dia selalu tersenyum sambil memandangiku.

Lihat saja dia. Menopang dagunya di meja dengan mata biru yang terpaku padaku.

Ayah memang awet muda, sih. Aku masih terkejut kalau Ayah tidak menikah lagi selama aku hidup di sebelum kembali ke masa lalu.

"Lia, makan ini. Kamu menyukai dessert stroberi, bukan?"

'Lia'?

"Tapi Ayah, nama saya Erleane."

Ayah tampak malu, dia mengusap leher belakangnya. "Aku memikirkan beberapa nama panggilan untukmu secara khusus, dan Lia adalah yang paling cocok."

Uh! Ada apa dengan perhatian itu?! Baiklah, aku akan memancingnya sedikit.

Aku tersenyum lebar. "Nama yang cantik! Saya menyukainya, Ayah!"

"Syukurlah kalau kamu menyukainya. Dan berhenti bicara formal padaku. Kamu putriku."

"Baik, Ayah!" Aku mengambil kue stroberi yang disodorkan Ayah. "Tapi, Ayah. Memangnya Ayah akan baik-baik saja dengan menghabiskan waktu Ayah denganku seperti ini?"

Aku bisa merasakan tatapan Ayah padaku.

"Maksudku, biasanya Ayah selalu menghindariku dan mengutamakan pekerjaan Ayah. Ayah sangat sibuk. Apa tidak apa bermalasan denganku seperti ini?"

Jeda singkat sebelum aku melihat senyuman lembut yang asing di bibir Ayah.

"Tentu saja, Putriku. Kamu adalah putri kesayanganku. Menghabiskan waktu denganmu adalah prioritas utamaku. Kenapa? Apa kamu tidak suka?"

Aku mengerjap lalu menatap cangkir susuku.

Aneh.

Ayah tidak pernah selembut itu denganku.

Ayah yang biasanya adalah Ayah yang kejam.

Yang selalu mengatakan hal-hal seperti: "Jangan ganggu aku, dasar serangga." atau "Aku tidak ingin melihat sampah berkeliaran di sekelilingku, buang itu."

Uh, pokoknya Ayah selalu mengatakan hal-hal yang membuatku sakit hati dulu. Dan bodohnya, aku tetap mencarinya dan mencoba untuk menarik perhatiannya meski sia-sia.

Tes.

Cairan bening itu menetes ke dalam cangkir susu. Mencampurnya dengan susu manis.

"Lia ...?"

Suara Ayah terdengar terkejut.

Aku lalu merasakan tubuhku melayang karena Ayah menggendongku.

Aku tidak tahu kenapa aku sangat emosional. Padahal usia asliku adalah 15 tahun. Namun, jiwa 5 tahun sepertinya mendominasi seluruh perasaanku.

Hangat. Pelukan Ayah ini sangat hangat.

Mengapa, ya?

Aku tanpa sadar terisak keras dan menenggelamkan wajahku di dada Ayah. Menyebabkan pakaian mewah Ayah basah oleh air mataku.

"Lia. Tenanglah, Putriku. Ada apa, Sayang? Apa yang salah?"

Suara Ayah membuatku menangis lebih keras.

Aku tidak bisa membenci Ayah. Meski aku memanggilnya sebagai pria yang brengsek, aku tetap menyayangi Ayah.

Sentuhan hangat Ayah adalah mimpiku.

"Lia, putri kesayanganku. Tenanglah."

Lullaby yang menyenangkan.

***

writer's corner:

kuharap ceritanya menghibur ❤️ aku pikir ini bakalan jadi cerita yang lumayan panjang 🥺😌

6 Juli 2022