"Bangun, Man! Bangun! Sekolah tuh, jangan molor melulu."
"Kok ... Mama?" Dirman tergagap, batuk-batuk tersedak liurnya sendiri, gara-gara ibunya yang terlihat muda membangunkan dirinya dengan guyuran air.
"Ya, emang Mama lah. Siapa lagi yang mau bangunin elo kalo bukan emakmu ini. Elo kira lo anak raja, punya dayang-dayang gitu?"
"Hah? Ini jam berapa, Ma? Dan ini tanggal berapa, ya?"
Dari cemberut di wajah sang emak, tahulah Dirman ia agak terlambat. Tanpa perlu diberitahu tanggal berapa, Dirman juga sadar, dirinya kembali jadi anak SMP kelas dua, usianya 13 tahun, di masa-masa ia kesohor sebagai si Anak Kodok. Tanpa sadar, Dirman berlama-lama di depan kaca, meyakinkan matanya belum lamur dan otaknya cukup lumayan waras.
"Dah hampir telat elo, Man. Apa elo ngaca-ngaca, gitu. Gak ada guna, elo gak bakal lebih cakepan. Cepetan sono sarapan dulu." Si emak hampir saja mengguyur Dirman dengan gayung butut warna biru.
Sarapan di meja persis sama dengan ingatan Dirman di hari duelnya dengan Ferdi cebol. Memang secara rutin emak masak telur ceplok campur air dan tepung tiap pagi, tapi pada hari itu, Dirman tak lupa ada gosong di pinggir telur dan baunya lumayan menyengat. Maka, Dirman sarapan buru-buru, karena seingatnya ia bakal dikejar anjing gila hari ini juga.
Hari ini di masa lalu empat belas tahun yang lalu. Lalu Dirman punya akal agar kesialan hidupnya berakhir pada hari ini juga. Pasti maksud ia diberikan kesempatan kedua adalah untuk memutus mata rantai nasib apes yang dialaminya. Oke, ia akan memulainya dulu dari anjing buduk berbulu cokelat itu.
Kabarnya anjing paling tak tahan dilempari ranting atau stik kayu kecil, karena naluri mereka mengejar buruan. Sepanjang jalan, Dirman mencari ranting kecil, tetapi cuma ketemu pentungan karet, mirip punya sekuriti tapi ukurannya kecil sekali. Kebetulan ia memungutnya dari selokan kering penuh sampah.
Lumayanlah, pikir Dirman. Buat nakut-nakutin pasti jitu juga. Maka diangkatnya pentungan mini, selagi target yang dicarinya belum nongol batang hidungnya. Dirman berjalan sok yakin, melewati semak-semak di sisi jalan kecil, sengaja ia mepet-mepet ke rimbun semak supaya leluasa mengamati si anjing sinting.
Geraman halus terdengar, Dirman memasang kuda-kuda seketika. Lho, ternyata asalnya dari perutnya sendiri? Oh, mungkin dia terlalu tegang, kebetulan sarapannya tak kenyang karena telur hari ini gosong. Dirman mengusap dadanya lega, cuma sekejap saja, karena geraman berikutnya terdengar lagi.
Si anjing gila menerjang tiba-tiba. Buru-buru Dirman si Anak Kodok melontarkan pentungan agar si anjing teralihkan perhatiannya. Tak disangka pentungan menubruk tiang listrik, dan memantul kembali bak bumerang suku aborigin, nyaris mengenai kepala Dirman bila ia tidak lekas-lekas berjongkok memeluk tubuh sendiri.
Si kaki empat peneror menyergap pentungan karet, sementara Dirman diam-diam mengintip dari sela-sela jarinya, nampak si buduk mengunyah pentungan seperti memamah tulang. Selagi memungkinkan, Dirman berlari kencang, lega karena siasatnya yang meleset ternyata kena sasarannya. Si anjing gila tak mungkin mengejar karena keasyikan barunya. Mengunyah pentungan karet yang dicomot Dirman dari got bau busuk, begitu asyik hingga melewatkan mangsa yang lebih empuk.
Bersiul penuh kemenangan, Dirman lenggang kangkung menuju sekolah. Namun, hah? Terlihat domba jantan gemuk yang bulunya gimbal berkeliaran, agaknya lepas dari kandang atau pengawasan pemiliknya, bersiap-siap menyeruduk Dirman yang terpana.
Astaganaga! Sudah lolos dari mulut harimau, muncul lagi petaka mulut buaya. Duh, Dirman cuma bisa mengandalkan kaki-kakinya agar nyawanya selamat kali ini, dan seingatnya di masa lalunya dulu tidak ada kejadian domba ngamuk.