webnovel

Deklarasi Keputusan

Mobil Miranda berhenti di belakang mobil Jemmi dan keduanya pun sama-sama turun dari mobil. Karin sudah menunggu kehadiran keduanya. Dia sengaja mengundang Miranda dan Jemmi bersamaan agar mereka berdua bisa mendengar langsung keputusannya. Karin tidak ingin cerita tentang keputusan yang sudah dia buat ini.

Waktu saling berpandangan dengan Jemmi, Miranda mengalihkan tatapannya. Cewek itu jalan lebih dulu masuk ke dalam rumah Karin. Kemarahan Miranda berkurang saat melihat yang punya rumah sedang beradu tawa dengan anak Jemmi.

"Mau ngomongin apa nih?" tanya Miranda sambil mengambil tempat duduk di hadapan Karin. Dia berusaha tidak menaruh simpati pada anak yang sedan di gendong sahabatnya itu.

Jemmi yang baru masuk ke rumah Karin tanpa berbicara juga mengambil tempat duduk di hadapan Karin atau lebih tepatnya bersebelahan dengan Miranda.  Matanya tidak henti-hentinya memandang anak yang sedang di gendong oleh Karin. Tidak dia kira kalau dia menjadi seorang ayah dalam waktu secepat ini.

"Aku mau ngomongin soal keputusan aku," ucap Karin.

"Aku harap, keputusan kamu yang penting buat kamu sendiri. Bukan karena mau diperalat sama orang lain," sindir Miranda secara terang-terangan pada Jemmi.

Karin menarik nafas panjang karena harus mengungkapkan perkataan yang berat baginya. Mungkin juga keputusan ini akan sulit untuk diterima Miranda sebagai orang yang selama ini ada di sampingnya dalam susah. Karin tahu keputusannya akan menyakiti perasaan sahabatnya itu.

"Aku enggak bakalan terima...."

"Terima anak itu kan?" desak Miranda lalu menoleh pada Jemmi. "Sekarang kamu bisa pergi dan ambil anak kamu itu. Karin enggak bisa buat ngurus dia."

"Rin," ucap Jemmi. Tatapan cowok itu masih saja memohon melihat Karin. Harapannya sungguh besar pada Karin untuk menerima anaknya itu."Soal tempat tinggal, keuangan, sama surat-surat semuanya urusan aku."

"Jem, jangan terus jadikan Karin sebagai babu," protes Miranda, "anak itu tanggung jawab kamu sama Evelyn, jangan lagi dilimpahkan ke orang lain yang enggak punya ikatan darah."

"Mir, aku mau tanggung jawab untuk anak itu. Makanya aku bawa dia ke Karin sebagai orang yang bisa aku percaya," jelas Jemmi menepis tuduhan Miranda dengan caranya.

"Kamu bukan orang yang bertanggung jawab Jemmi. Evelyn hamil kamu enggak tau, sekarang anaknya kamu suruh Karin yang ngerawat. Tanggung jawab itu, kamu bawa anak ini pulang ke rumah kamu. Tunjukkin ke orang rumah kamu kalau ini anak kamu. Itu yang namanya tanggung jawab."

Jemmi tidak bisa membalas omongan Miranda lagi karena apa yang dikatakan cewek itu benar. Namun Jemmi tidak akan melakukannya karena hal itu sangat berisiko untuk dia. Menurutnya, ada cara lain supaya bisa bertanggung jawab soal anak dia dan Evelyn. Yaitu mempercayakan anaknya pada Karin.

"Ah, nggak usah lama-lama di sini." Miranda lalu berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah Karin. Tangannya terulur untuk mengambil anak yang ada di gendongan Karin. "Bawa anak ini."

"Mir," tegur Karin sambil menjauhkan anak Jemmi dari tangan Miranda. "Aku enggak bakalan serahin anak ini ke siapa pun."

Miranda mematung karena ucapan Karin. Dia menunggu Karin melanjutkan pembicaraannya. Walaupun Miranda sudah tahu ke mana tujuan perkataan itu.

"Sori Mir, aku enggak bisa lanjut buat kuliah. Aku harus ngerawat anak ini," kata Karin dengan perlahan.

Karin bisa melihat kekecewaan di mata Miranda. Dia paham kalau Miranda kecewa dengan keputusannya. Sebab Miranda adalah orang yang menjadi saksi perjuangannya selama ini untuk bisa melanjutkan kuliah.

Sambil tersenyum miris, Karin kembali berkata, "Dokter enggak cocok buat aku Mir. Benar kata orang-orang, apa yang jadi tujuan aku itu enggak realistis."

Miranda mengalihkan pandangannya dan dia kembali ke kursinya tadi untuk mengambil tasnya. Sebelum pergi, Miranda menatap Jemmi. "Kamu harus bayar mahal buat jasa permintaan kali ini."

"Mir," panggil Karin karena dia belum selesai menjelaskan segalanya.

Akan tetapi Miranda tidak menoleh lagi ke arah Karin. Cewek itu ke luar begitu saja dari rumah Karin dan masuk ke dalam mobil. Tanpa kata pamit sebagai perwakilan atas kekecewaannya.

"Rin, makasih ya sudah mau bantuin aku." Jemmi akhirnya bisa merasa lega karena mendengar Karin mau menerima anaknya. Sebagai luapan rasa terima kasihnya pada Karin, dia memeluk cewek itu. "Kamu teman terbaik aku."

"Jem." Karin mundur agar Jemmi tidak terus memeluknya. "Tolong tepati janji kamu yang udah tadi kamu sebutkan."

"Pasti, pasti. Kamu tenang aja." Jemmi mengacungkan jempolnya sambil tersenyum lebar, memamerkan lesung pipinya di sebelah kanan.

"Satu lagi, aku terima bukan karena bantuin kamu. Aku terima karena aku enggak mau dia ngerasa enggak diterima siapa pun." Karin memperbaiki gendongannya pada anak Jemmi.

Jemmi hanya diam saja mendengar jawaban Karin. Dia tahu bagaimana kehidupan cewek itu. Namun Jemmi tidak bisa mengerti tentang bagaimana posisi Karin sebab dia selama ini hanya mendapatkan kenyamanan. Maka dari itu, saat merasa susah seperti ini dia sangat membutuhkan pertolongan dari orang lain.

"Oh ya, soal nama, Evelyn enggak persiapkan nama apapun untuk anak ini. Dia serahkan pemberian nama ke aku. Cuma sekarang aku serahkan sama kamu. Menurut aku, kamu pantas buat kasih nama ke dia Rin." Jemmi mencubit pipi kiri anaknya.

Karin menatap wajah anak itu sambil berpikir nama apa yang pantas dia berikan untuk anak perempuan ini. "Selama ini, Evelyn manggil dia gimana?"

"Baby E, diambil dari nama depan dia," jawab Jemmi.

"Kalo gitu, aku mau namai dia Emily. Gimana menurut kamu?" tanya Karin. "Itu aku ambil dari nama kamu sama Evelyn."

"Bagus, aku suka. Nama kamu Emily sekarang." Jemmi mencubit pipi anaknya lagi karena gemas saat melihatnya.

Karin berharap, apa yang dia lepaskan untuk bisa merawat anak yang di gendongannya ini sebanding dengan pengorbanannya. Dalam mengurus Emily, Karin tidak ingin gagal. Emily harus tumbuh dengan kasih sayang yang penuh darinya.

"Aku perlu beberapa popok dan baju hangat, karena di dalam tas yang kamu bawa itu enggak ada."

"Kalo gitu, aku beliin sekarang. Kamu tunggu ya." Kali ini Jemmi mencium pipi anaknya sebelum pergi.

Karin bisa melihat kalau Jemmi menyukai anaknya sendiri namun cowok itu masih tidak mempunyai keberanian untuk mengatakannya ke keluarganya. Inilah alasan lain kenapa Karin mau menerima Emily. Dia takut kalau Emily mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari orang yang membencinya. Seperti apa yang dilakukan oleh mamanya pada Karin.

"Mama Karin di penjara, karena ketahuan sudah melakukan percobaan pembunuhan terhadap anaknya."

Kalimat itu masih saja terniang di dalam kepala Karin. Padahal Karin hanya mendengarnya sekali dan juga itu sudah lama.