~~~
Sudah beberapa hari ini, Salma merasa tidak nyaman berada di perusahaan. Bukan tanpa alasan, setiap pagi dan sore hari, mobil Rangga terparkir rapi di depan perusahaan milik Daniel. Mobil mewah berwarna hitam itu selalu ada setiap Salma datang dan akan pulang saat malam harinya. Karena hal itu pun, Salma jarang keluar perusahaan dan berangkat lebih pagi lalu pulang saat larut.
Sementara, Rangga lelah dan merasa dirinya menjadi pengemis dan seorang pemohon kepada seorang wanita yang wajahnya sama sekali tak cantik ataupun menarik. Lagipula, kenapa kakeknya harus memilih dirinya di antara banyak cucu-cucu lain yang lebih dekat dengannya. Iya memang, salahnya sendiri karena memilih Salma waktu itu. Namun, tetap saja kakek tak harus mempermainkan dirinya seperti ini.
Sialnya, ia jarang melihat Salma akhir-akhir ini padahal dirinya setia menunggu gadis itu di depan perusahaan tempat kerjanya.
Sebuah mobil berhenti tepat di belakang mobil Rangga, setelahnya seorang anak kecil turun dari sana dan berlarian menuju seseorang di pintu masuk perusahaan.
"Alden!!" teriak Salma yang akhirnya melangkahkan kaki keluar perusahaan dan membungkukkan badannya agar dapat memeluk putra kecil milik bosnya itu. Ia mengacak-acak gemas anak itu, "Alden apa kabar?" ucapnya.
Rangga mencibirnya, ia sudah berada di sana berhari-hari namun Salma enggan menemuinya. Tapi lihatlah sekarang, Salma dengan sukarela keluar dan memeluk anak milik direktur di tempatnya bekerja. Sungguh, dengan ini pun ia dapat menyimpulkan orang seperti apa Salma itu.
"Alden, apa kabar sayang?" tanya Rania yang lalu berjongkok dan memeluk Alden sambil tertawa.
Salma perlahan berdiri dan masih tersenyum senang. Setelah mengetahui latar belakang anak itu, akhirnya ia dapat melihat senyuman Alisa di wajah manis Alden. Jujur saja, ia memperlakukan Alden dengan baik bukan karena Daniel yang merupakan atasannya, namun mengingat Alisa adalah ibu kandungnya, ia benar-benar ingin merawat Alden mengingat sifat Alisa yang jauh dari kata keibuan.
Merasa kesal tanpa alasan, Rangga memakai seat belt lalu menancap gas dan bergegas pergi dari sana. Ia mulai berspekulasi macam-macam tentang wanita bernama Salma itu. Mobil mengarah ke arah rumah sakit, ia berniat mengunjungi Herman yang sampai hari ini pun masih berada di rumah sakit.
Setelah memastikan bahwa Herman sedang sendirian, Rangga dengan santainya pergi ke ruang perawatan kakeknya itu. Saat pintu dibuka, nampak Herman tengah duduk sambil meminum teh hangat di sofa.
"Kakek nampak sehat-sehat saja, kenapa masih di sini dan buang-buang uang," ucap Rangga dengan sinis seraya ia duduk di hadapan Herman yang memakai baju pasien.
"Di sini nyaman," ucap Herman dengan santainya. "Ngomong-ngomong, kamu tidak akan datang ke sini tanpa tujuan. Ada apa?" ucapnya sambil terkekeh.
"Saya tidak akan menikah!" tegas Rangga. Ia mengalihkan tatapannya ke arah lain tanpa berani menatap sang kakek.
Herman tertawa mendengar pernyataan barusan, "memangnya kenapa? Kamu gagal meyakinkan Salma?" tebaknya.
"Dia juga sepertinya tidak memiliki niat untuk menikah. Lagipula ini terlalu tiba-tiba dan 3 bulan sangat sebentar. Bagaimana bisa kami saling mengenal satu sama lain dalam 3 bulan!" gerutu Rangga.
"Salma pasti tidak mau menikahi mu, Rangga. Makanya sebisa mungkin yakinkan dia, bukan protes sama Kakek!" ucap Herman dengan entengnya.
Rangga hanya menghembuskan napasnya dan terdiam tanpa kembali membalas ucapan Herman. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya dan menggertak kan giginya, nampak sedang berpikir.
Tangan Herman terulur dan memegang kedua tangan cucunya itu agar mereka saling bertatapan. Meski berwajah ketus, ia yakin cucunya itu adalah orang yang baik. Ia tersenyum, "Rangga, ini tentang orang tuamu, Papa sama Mama kamu. Terkadang, apa kamu memikirkan mereka?"
Rangga menundukkan kepalanya, bohong jika dirinya mengatakan tidak. Orang tuanya pergi tepat di hari kelulusannya. Waktu itu, ia meminjamkan mobil miliknya pada mereka dan kecelakaan pun terjadi. Karena hal itu pun, sejujurnya ia memiliki rasa bersalah yang mendalam kepada orang tuanya yang sudah meninggal 6 tahun lalu itu.
"Wanita itu, Salma..." gumam Herman tanpa melanjutkan ucapannya. "Dia kehilangan seseorang saat menyelidiki kasus orang tuamu, dia-"
"Tunggu!" potong Rangga. Ia menepis lengan Herman dan berdiri, berusaha menjernihkan pikirannya. "Apa maksudnya itu?"
"Pergilah temui Salma! Permintaan Kakek!" tegas Herman.
"T-tapi Kek-"
"Pergi!" teriak Herman.
Tanpa bicara apapun lagi, Rangga berjalan keluar dari sana. Ia masih berdiri di depan pintu dan termenung, perlahan ia mengarahkan tatapannya ke arah kaca kecil di pintu, memperhatikan Herman yang menundukkan kepalanya.
Mendengar obrolan yang tak asing, Rangga melirik ke arah suara tersebut lalu memalingkan wajahnya. Ia mengangkat tangan untuk menutupi wajahnya dan pergi ke arah berlawanan begitu melihat keluarga Ravi yang tengah berjalan menuju ruang perawatan Herman.
Saat kedua orang tuanya dan Ravi telah masuk, Ranti masih berdiri di ambang pintu. Ia yang mengenakan rok pendek berwarna biru juga baju biru muda itu yakin bahwa dirinya melihat seseorang yang tak asing baru saja meninggalkan tempat itu.
"Ranti kamu ngapain?" ketus Ravi yang sudah berada di dalam ruangan itu.
"Hmm, sebentar," gumam Ranti.
Rangga membanting pintu mobilnya dan masih terdiam di sana. Memikirkan apa maksud ucapan terakhir Herman yang benar-benar mengusiknya. Ia kemudian menancap gas dan mulai menjalankan mobilnya.
Selama perjalanan, ia hanya memikirkan ucapan sang kakek. Entah apa maksud ucapan tersebut yang jelas ia sangat terganggu karenanya. Dan Salma, wanita itu pasti ada sangkut-pautnya seperti ucapan Herman, namun apa maksudnya, ia benar-benar tak mengerti.
Rangga menepikan mobilnya di sebuah tempat sepi yang berada di bawah terik matahari siang itu. Ia dengan tangan kosong berjalan menuju dua gunungan tanah yang berada di bawah pohon besar. Dua makam dengan nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya.
Ia berjongkok di tengah kedua makam itu. Tangan kanannya terangkat, mengusap nisan sang ibu dan sebuah senyuman pilu terukir di wajah ketusnya. Di sisi lain, tangan kirinya meraih nisan sang ayah dan ia pun meliriknya.
Rangga mengedipkan matanya dan cairan bening itu pun terjatuh dari matanya dan mengalir begitu saja. Ia dengan cepat menyeka kedua matanya dan wajahnya kembali ketus. Ia mungkin kasar dan tidak terarah, jauh dari kata disiplin dan dipandang buruk oleh seluruh keluarga, apalagi ia terlahir dari keluarga ternama dan selalu mendapat sorotan, namun sejujurnya, dalam hati kecilnya, Rangga sangat rapuh dan kesepian, ia juga memiliki penyesalan mendalam karena kecelakaan itu terjadi saat mereka menumpangi mobil miliknya. Ia menutup diri sejak kecelakaan terjadi dan sampai sekarang selalu dihantui rasa bersalah.
Rangga berjalan ke arah pohon dan berjongkok di sana dengan tubuhnya yang bersandar pada pohon. Ia menatap langit lalu memejamkan matanya. Berusaha mengingat hari itu.
6 tahun lalu, tepat di hari kelulusan kuliahnya. Rangga berdiri di depan cermin dan tersenyum bangga melihat pakaian wisudanya yang nampak cocok dengan dirinya. Lalu seorang wanita datang menghampirinya dan tersenyum. Saat itu, ia merasa dirinya sangat beruntung sebagai lulusan muda yang mendapat dukungan penuh dari orang tuanya. Namun kini, ia penuh penyesalan sejak hari itu.
~~~
Salma duduk di samping Daniel yang sedang berada di lantai satu dan memperhatikan bagaimana Alden sedang bermain bersama Rania. Ia memberikan sebotol kopi yang tadi ia beli, "saya beli dua, barangkali Pak Daniel mau?" tawarnya.
Daniel menoleh ke arah Salma dan mengambil botol lalu meminumnya, "makasih, Salma," ucapnya.
Salma hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Ia kemudian mengikuti arah pandang Daniel dan tersenyum, "Alden anak yang baik, dia akrab sama siapapun," gumamnya.
Daniel terkekeh, "itu sifat saya, Salma," ucapnya.
Salma ikut terkekeh, "waktu itu, saat Alden gak sadarkan diri, saya benar-benar panik. Tapi sekarang, Alden baik-baik saja, senang melihatnya," ucapnya.
"Jika bukan karena kamu, saya gak tahu apa yang terjadi pada Alden. Berkatmu, dia baik-baik saja," ucap Daniel.
"Beberapa tahun lalu, keponakan saya juga seperti itu. Dia kejang karena suhu tubuhnya yang terlalu tinggi, waktu itu saya masih sekolah dan gak bisa melakukan apapun," ucap Salma yang menundukkan kepalannya dalam-dalam.
Daniel kembali menoleh ke arah Salma, "lalu? Apa yang terjadi?"
"Kakak saya bercerai jadi keponakan saya besar tanpa seorang ayah. Dan saat itu, gak ada satu pun laki-laki di rumah. Karena bingung, kami berusaha menelepon ayah yang sedang bekerja. Setelah ayah datang, kami langsung pergi ke rumah sakit namun dia meninggal di perjalanan, tepat di hadapan saya," ucap Salma.
Daniel sedikit terkejut, tangannya terangkat berniat mengelus bahu wanita itu namun niatnya tiba-tiba urung hingga ia kembali menurunkan tangannya. "Seenggaknya, kamu dan keluarga kamu pasti sudah melakukan yang terbaik," ucapnya.
Salma mengangguk-anggukan kepalanya dan tersenyum, "makanya saya sempat hilang akal melihat Alden waktu itu," ucapnya.
Daniel tersenyum, ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, "Alden, pulang ayo? Sudah malam," ucapnya yang berdiri dan menghampiri putranya.
Alden mengangguk, ia lalu berlari menghampiri Salma yang terduduk dan menyalaminya, setelahnya ia menghampiri Jenny yang juga berjalan ke arah Salma dan menyalaminya.
"Kalian langsung pulang saja, kami pamit ya," ucap Daniel yang sudah menuntun tangan Alden dan berjalan bersama keluar perusahaan.
Jenny memberikan tas merah muda itu pada Salma lalu duduk di sampingnya. "Mbak Rania bakal pulang setelah beres-beres, kita pulang duluan saja ayo?" ajaknya.
Salma mengambil tasnya lalu berdiri membetulkan pakaiannya, "kita mau ke restoran Kak Yumi dulu, 'kan?" tanyanya memastikan.
Jenny menganggukkan kepalanya lalu merangkul Salma dan mereka pun berjalan bersama sambil mengobrol dan terkekeh.