~~~
Salma keluar dari restoran mewah tadi dan masih berdiri di sana, menunggu Rangga. Sebenarnya ia bisa saja pulang sendirian mengingat jaraknya saat ini cukup dekat dengan kontrakan tempatnya tinggal, hanya saja ia merasa tak sopan harus pergi lebih dulu tepat setelah makan bersama Rangga.
Rangga keluar dari restoran dan langsung menghampiri Salma, "ayo pulang, saya antar," ucapnya.
"Saya berjalan kaki saja dari sini, karena sudah dekat," ucap Salma.
"Kalau begitu saya juga akan berjalan kaki," ucap Rangga.
Salma menoleh ke arah Rangga yang berdiri di sampingnya, "kenapa?"
"Kamu ini... kenapa memperlakukan saya dengan dingin? Padahal saya sudah bayar makanan kamu barusan. Bukannya berterima kasih juga," ucap Rangga merajuk.
Salma kehilangan kata-kata, "terima kasih banyak, Pak Rangga. Dan iya, walaupun gak sebanyak kamu, saya juga punya uang," ucap Salma. "Pokoknya saya pulang jalan kaki saja, terserah Pak Rangga mau ngapain juga!" putus Salma lalu ia berjalan lebih dulu meninggalkan Rangga.
Rangga diam-diam mengikuti Salma dari belakang, ia memasukkan kedua lengannya pada saku celana dan berjalan dengan sombongnya.
"Ahh handphone!" ucap Salma. Ia lalu berbalik dan tak sengaja bertabrakan dengan Rangga yang ternyata berjalan dekat di belakangnya. Ia segera menjauh dan kembali acuh, "Pak Rangga benar-benar ngikutin saya?"
"Saya harus-"
"Handphone saya ada di mobil kamu, bisa ambilin gak?" ucap Salma.
"Wahhh! Kamu dingin sama saya, gak tahu terima kasih bahkan barusan juga nabrak saya tanpa minta maaf, terus sekarang kamu nyuruh saya?" ucap Rangga.
"Kalau begitu kunci mobilnya mana?" tanya Salma sambil memberikan telapak tangannya pada Rangga.
Rangga mendecih dan mengumpat diam-diam, ia kemudian berlari kembali menuju mobilnya, Salma berlari mengikutinya.
Setelah kembali mengunci mobilnya, Rangga menyodorkan handphone ke arah Salma, "asal saya ikut ke rumah kamu!" ucapnya tegas.
Salma mengangguk tanpa ragu, "kalau itu yang kamu mau!" ucapnya lalu mengambil handphone itu dan mengantonginya. "Tapi mobilnya gak apa-apa di sini?"
Tanpa menjawab, Rangga membuka handphone miliknya dan menelepon seseorang, "hei! Mobil gue di depan restoran lo! Bentar titip!" ucapnya singkat.
Salma menganga, apa maksudnya barusan, kenapa Rangga begitu santai.
Seakan tahu keheranan gadis di hadapannya, "ahh yang punya restoran ini adik kelas waktu SMA," ucapnya singkat.
"Terserah!" singkat Salma.
Salma kini berjalan bersama Rangga menelusuri jalanan sepi di pusat kota. Salma yang memakai jaket tebal tak merasakan dingin sedikit pun, sedangkan Rangga yang hanya berlapiskan kemeja coklat itu terlihat kedinginan, dirinya meninggalkan jas di dalam mobil karena kegerahan.
Salma melirik Rangga yang nampak memeluk dirinya sendiri, ia tak tahu kenapa dirinya ingin melakukan ini, namun ia tetap membuka jaketnya sendiri dan berhenti berjalan.
Melihat Salma yang berhenti berjalan, Rangga pun ikut berhenti dan menoleh ke arah gadis itu, "kenapa? Kenapa lagi?"
Tanpa bicara, Salma berdiri di belakang tubuh jangkung Rangga dan memakaikan jaket miliknya yang memang berukuran cukup besar. "Kamu kedinginan, pakai saja! Saya masih pakai jas jadi gak terlalu dingin," ucap Salma yang kini berdiri di hadapan Rangga dan merapikan jaket yang dipakaikan nya barusan.
Rangga terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Sudah lama sejak ada yang mempedulikannya seperti itu. Ia mengangkat tangannya dan menarik ikat rambut yang dipakai Salma membuat rambut gadis itu terurai. "Itu akan membuat kamu lebih hangat!"
Salma perlahan tersenyum, "walaupun warnanya merah muda, jaketnya tetap hangat kok. Ayo!" ucapnya.
"Salma, sebenarnya saya berniat mengambil baju saya yang waktu itu," ucap Rangga.
"Ahh baju itu, waktu kamu mabuk? Kalau begitu mari," ucap Salma yang berjalan lebih dulu menuju gerbang kontrakan.
Rangga hanya mengangguk dalam diam lalu ia mengikuti Salma yang memang berjalan mendahuluinya.
Salma mencari-cari kunci di tasnya, namun saat ia tak sengaja menyenggolnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. "Apa ini? Tiara?" gumamnya sambil membuka pintu itu dan membuka mata juga mulutnya bersamaan, "Ibu?"
Seorang wanita setengah baya dengan rambut digelung pun menoleh, wanita berpakaian panjang itu tengah menata meja lipat kecil yang terdapat beberapa olahan daging di atasnya. "Akhirnya datang juga kamu," ucapnya sambil terkekeh.
Salma segera mendekati ibunya itu dan duduk di sampingnya, "Ibu kok gak bilang-bilang mau ke sini?"
"Ibu nelepon kamu tapi gak diangkat, lagian kamu gak suka ya Ibu ke sini?" ucap Irna, Ibunya Salma.
"Ahh bukan, bukan gak suka, kaget saja. Terus Ibu kenapa bisa buka kamar ini? Kan pintunya pasti dikunci," ucap Salma.
"Itu tadi, adik kelas kamu katanya, ngasih kunci sama Ibu," ucap Irna. "Ahh ini Ibu bawa daging sapi, ayo dimakan," ucapnya.
"Salma? Kamu dimana..." Rangga terdiam tanpa melanjutkan kalimatnya, "halo, selamat malam Bu," ucapnya canggung.
"Aryo? Revan? Atau Alan? Siapa ini Salma?"
Salma menundukkan kepalanya, "bukan mereka Bu," ucapnya pelan.
"Loh bukan? Kalau begitu, ayo masuk sini," ramah Irna sambil berdiri dan mempersilakan Rangga untuk duduk di samping Salma. Lalu ia duduk di hadapan Salma dan Rangga. "Maaf, ini tempatnya sempit," ucapnya.
Rangga tersenyum canggung, "gak apa-apa Bu, gak apa-apa," ucapnya kikuk.
"Kalau bukan teman-temannya Salma, apa kamu pacarnya Salma?" tanya Irna tanpa ragu.
Salma menggeleng-gelengkan kepalanya, "bu-bukan-"
"Iya Bu," jawab Rangga sambil tersenyum, ia mengulurkan tangannya, "nama saya Rangga," ucapnya.
Irna menyalami tangan Rangga dengan senyuman merekah di wajahnya, "saya Ibunya Salma, ganteng banget kamu," ucapnya lalu ia melirik putrinya, "Salma, kamu kok gak bilang kalau punya pacar," ucapnya.
Salma hanya menghela napas berat, "Ibu..." gumamnya.
"Ini Ibu masak daging sapi, makanan kesukaannya Salma tapi sayang sekali dia jarang makan karena daging sapi 'kan harganya mahal," ucap Irna.
"Ibu, kami sudah makan di luar tadi," ucap Salma.
"Boleh saya coba?" tanya Rangga.
"Tentu saja, walaupun rasanya gak terlalu enak tapi masih bisa dimakan, buktinya Salma selalu suka masakan Ibu," ucap Irna.
Rangga terkekeh mendengarnya, ia mengambil sendok dan mengambil sepotong daging kecil lalu memakannya. Ia terdiam sambil mengunyah daging itu, dagingnya cukup lembut dan dibumbui dengan pas, membuatnya teringat masakan buatan ibunya dulu.
"Bagaimana? Enak?" tanya Irna.
Rangga mengangguk-anggukkan kepalanya, "enak banget Bu, tapi bagaimana ini? Saya gak punya apapun buat Ibu," ucapnya dengan ragu-ragu.
"Ehh kenapa begitu? Kamu di sini duduk di samping Salma saja, Ibu senang melihatnya. Salma ini-"
"Ibu, jangan ngomong aneh-aneh loh ya," peringat Salma yang memotong ucapan Ibunya itu.
"Salma kenapa?" tanya Rangga.
Salma menoleh ke sampingnya, Rangga yang sedang memakan beberapa potongan daging, padahal beberapa saat lalu dirinya baru saja menghabiskan sepiring pasta. "Kamu juga lagi," ucap Salma.
"Salma itu pendiam, dia penyendiri, dia gak bergaul sama orang lain. Setiap hari menyendiri saja, teman pun dia gak punya apalagi pacar, makanya saya senang dia punya pacar sekarang. Saya yang berterima kasih sama kamu," ucap Irna.
Salma mengalihkan tatapannya ke arah lain, yang dibilang oleh Ibunya itu memang benar. Ia tak pernah bergaul dengan orang lain semasa sekolah, dirinya menjadi terbuka saat mulai bekerja dan bertemu Yumi lalu bertemu Revan dan Aryo hingga mereka pun mulai dekat sejak beberapa tahun lalu.
Rangga melirik Salma yang menoleh ke arah lain, entah perasaan apa yang ia rasakan. Rasanya ia bisa merasakan perasaan Salma saat ini. Ia kemudian tersenyum ke arah Irna, "itu karena dia dingin, sama saya juga begitu," ucapnya berbisik.
Irna terkekeh mendengarnya, "terus bagaimana kalian bisa bertemu?" tanyanya.
"Ibu, kami gak pacaran," ucap Salma.
"Sut!" Irna menempelkan jari telunjuknya di mulut dan melirik ke arah Salma, "kamu harusnya bersyukur ada yang ngaku jadi pacarnya kamu. Jadi, bagaimana kalian bertemu? Apa yang buat kamu suka sama Salma?"
"Hmm, pertama, Salma itu mirip saya," jawab Rangga.
"Mirip darimana? Salma jelek, kamu ganteng gini," ucap Irna.
Salma mengepalkan pergelangan tangannya dan menggertakkan gigi, tanpa alasan ia ingin mengusir Ibunya sekarang juga meski ia tahu bahwa seluruh ucapan Ibunya itu memang benar.
Rangga berusaha menahan tawanya, "mirip dalam hal lain, terus Salma itu..." ia melirik Salma yang nampak marah dan membuatnya tersenyum, "Salma bisa menerima saya dan sabar menghadapi saya," ucapnya sambil tersenyum.
"Pak Rangga, bukannya kamu mau ambil-"
"Ngomong-ngomong, masakannya enak banget, saya menikmatinya," ucap Rangga sambil tersenyum.
Kemudian setelah itu, Salma mengantar Rangga hingga ke gerbang kontrakan. Ia merasa tak enak setelah Ibunya yang memperlakukan Rangga dengan santai tanpa tahu siapa diri Rangga yang sebenarnya. Jika Ibunya tahu siapa Rangga, mungkin dia akan sangat menghormati Rangga.
"Jaketnya bisa kamu pakai saja, walaupun warnanya merah muda," ucap Salma sambil kembali menyerahkan jaket yang tadi dilepas oleh Rangga.
"Karena merah muda jadi saya gak mau," ucap Rangga.
"Saya akan ambil jaket lain, dan juga kamu bilang akan mengambil baju kemeja kamu? Kok enggak?"
"Salma, Ibu kamu nanti mikir aneh-aneh kalau tahu ada baju saya di rumah kamu," ucap Rangga.
"Ahh soal Ibu, saya minta maaf. Dia banyak bicara 'kan?" ucap Salma.
"Gak apa-apa, daging sapinya enak pantas jadi makanan kesukaan kamu," ucap Rangga.
"Kamu masih makan daging setelah makan pasta?" gumam Salma.
"Lagipula siapa yang mau makan pasta, kalau kamu gak ngajak makan pasta, saya bisa habisin semua daging sapinya. Sudah lama gak makan masakan rumah, gak tahu kenapa rasanya lebih enak dari biasanya," ucap Rangga.
"Sisanya mau dibungkus gak?" tanya Salma ragu-ragu.
"Gak perlu, lain kali Ibu kamu suruh ke sini lagi dan bawa masakan lagi," ucap Rangga, ia kemudian tersenyum, "dia pasti mau, seenggaknya buat pacar anaknya," ucapnya.
"Pacar? Ahh kenapa kamu tadi bilang pacar?"
"Kenapa lagi? Saya gak bakal kecewain kamu kok, jangan khawatir Salma," ucap Rangga yang tiba-tiba serius. "Kalau begitu, saya permisi," ucapnya.
Rangga berjalan menjauh dari tempat Salma dan tersenyum tipis lalu kembali berwajah dingin. Sedangkan Salma hanya kembali ke rumahnya dengan perasaan yang sulit ia gambarkan, entah kenapa ia merasa senang sekaligus merasa takut juga, takut dirinya akan jatuh cinta kepada pemuda dingin itu.