~~~
Seorang wanita berpakaian formal berupa rok hitam selutut lengkap dengan jas hitam berjalan memasuki sebuah restoran sambil menarik koper miliknya. Ia memperhatikan seisi restoran itu, sudah penuh. Ia harus mencari satu kursi saja yang kosong dan meminta bergabung di sana.
"Jadi, sama sekali tidak ada harapan untuk dibuka kembalinya kasus itu?" tanya seorang pria paruh baya yang berpenampilan kaos polos abu-abu dengan celana kulot berwarna coklat.
Seorang pria bersetelan jas rapi di hadapannya sempat terdiam sebentar sebelum akhirnya ia membuka mulutnya. Pertama, ia menganggukkan kepalanya, "meski baru 6 tahun yang lalu, kasusnya akan tetap sulit jika tidak ditemukan bukti yang baru. Apalagi, klaim tentang kasus itu didalangi seseorang sangat tipis kemungkinannya," ucapnya.
Pria paruh baya itu nampak kecewa dengan apa yang baru saja didengarnya. Itu bukan jawaban yang ia inginkan, namun ia juga tak mau diberi jawaban yang hanya sebuah harapan kosong. "Tapi walaupun sedikit kemungkinan, bukankah lebih baik kita mencari tahu lagi? Karena pasangan itu tidak pergi atas keinginannya sendiri dan mobil itu bahkan bukan milik mereka. Jadi-"
"Mohon maaf Pak, tetapi itu tidak ada hubungannya dengan kecelakaan di jurang 6 tahun lalu. Media sudah melupakan semua hal itu dan kepolisian juga tidak bisa tiba-tiba menyelidiki kasus itu lagi jika tidak ditemukan sebuah bukti yang menunjukkan bahwa itu bukanlah sebuah kecelakaan biasa," jelas pria berjas itu dengan nada lugas. Ia lalu meneguk segelas air putih yang berada di atas meja.
Lagi dan lagi, jawaban pria yang lebih muda darinya itu membuatnya kecewa. Ia mulai merasa gelisah. Banyak hal yang ingin diungkapnya namun ia tak tahu harus dimulai dari mana.
"Bagaimana jika ditemukan sebuah bukti?"
Kedua pria itu menoleh bersamaan begitu mendengar ucapan Salma. Mereka nampak keheranan namun terlihat cukup tertarik dengan kalimat Salma barusan. Merasa mendapat perhatian, Salma tersenyum lalu menarik kursi di meja itu dan bergabung dengan kedua pria yang sama sekali tak ia kenal.
"Kalian berdua sedang membahas kecelakaan pasangan bungsu dari SuperOne Group, benar 'kan?" tebak Salma dengan antusias.
Pria yang bersetelan jas itu nampak terganggu dengan kehadiran Salma. Ia mendengus pelan sambil melirik Salma dengan tatapan risih, "siapa kamu?" tanyanya agak dingin.
Salma tersenyum, ia mendapat balasan berarti ia bisa ikut makan di meja itu. "Tidak penting siapa saya, tapi saya tahu sesuatu soal kecelakaan itu. Ahh, bukan kecelakaan kalau direncanakan sejak awal!" ucapnya sambil mengambil buku menu dan memilih-milih menu yang ada di sana.
Pria bersetelan jas itu kemudian membuang napas pendek kesal dan memperhatikan Salma yang dengan santainya memilih menu dan memesan menu itu pada pegawai restoran. "Kamu ini sebenarnya-"
"Apa yang kamu ketahui soal kecelakaan itu?" potong pria paruh baya. Ia tak memedulikan pria berjas di hadapannya dan mulai berfokus pada Salma.
Salma mendeham, ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. "Pertama, izinkan saya makan di sini! Kedua, saya harus memastikan identitas kalian dan baru bisa membagi informasi itu!" ucapnya.
"S-silakan makan disini! Saya Her-"
"Pak Ketua, Bapak ini kenapa? Bapak percaya sama orang ini?" ucap pria berjas itu sambil menatap pria paruh baya yang nampak lelah.
Salma mencibir pria berjas itu, lama-lama ia sendiri yang merasa terganggu oleh pria ketus itu padahal niatnya hanya ingin ikut makan saja. "Bahkan teman saya meninggal karena kecelakaan itu!" tegasnya.
"Lihat Pak Ketua!" ucap sang pria bersetelan jas, ia lalu melirik wanita muda yang menyebalkan itu dan ingin sekali mengusirnya dari sana. "Kecelakaan itu menewaskan pasangan suami-istri! Teman kamu siapa sampai-"
"Teman saya-" potong Salma, ia melirik pria bersetelan itu dengan tajam namun pegawai restoran baru saja tiba dan menyajikan pesanannya. Amarahnya mulai reda saat ia mencoba masakan lezat itu. Ia kemudian melirik pria paruh baya yang duduk di sebelah kirinya. "Teman saya meninggal dunia saat mengusut kasus itu!"
"Apa hubungannya dengan kasus ini?" gumam pria bersetelan jas dengan nada sombongnya.
Salma tak menanggapi, ia hanya fokus makan dan mengalihkan tatapannya ke arah pria paruh baya yang nampak cukup tertarik dengan ucapannya barusan. "Bahkan detektif yang menyelidikinya juga meninggal dunia karena kecelakaan! Menurut Bapak, kenapa mereka meninggal? Bukankah aneh?" ucapnya.
"Omong kosong macam apa itu? Mereka meninggal dunia saat menyelidiki kasus? Lalu apa yang kamu simpulkan?" ketus pria itu.
Berbeda dengan rekannya, pria yang nampak cukup berumur itu malah terdiam setelah mendengar cerita dari Salma. Ia melirik gadis muda itu dan sebuah harapan tiba-tiba muncul di hatinya. Di usia tuanya dengan mata yang mulai menurunkan fungsinya, ia memperhatikan wajah Salma dan berusaha menghafalnya.
"Kesimpulan? Mungkin saya yang selanjutnya! Itu kata atasan saya, makanya saya berhenti mengusut kasus itu dan berhenti dari pekerjaan saya!" jawab Salma.
"Kenapa kamu berhenti mengusut kasus itu, Nak?" tanya pria paruh baya itu. Meski terlihat santai, matanya bergetar dan terlihat sayup penuh harapan.
"Pak Ketua! Saya tidak mengerti kenapa Bapak percaya dengan ucapannya barusan!"
Salma terdiam sejenak, ia yang memulai cerita itu namun ia tak mampu menyelesaikannya sekarang. Ia yang menundukkan kepalanya mulai menghentikan aktivitas makan siangnya. Ia kini nampak lebih sopan daripada sebelumnya. "Sejak kematian Detektif itu, saya hanya berdua dengan teman saya. Saat teman saya meninggal, tepat di hadapan saya, rasanya saya tidak punya kekuatan lagi untuk menggali kebenaran itu. Lagipula, kejaksaan saat itu sudah memutuskan untuk menutup kasusnya sebagai kecelakaan biasa."
"Kejaksaan yang menutup kasusnya?" heran pria paruh baya itu.
"Omong kosong! Mana ada kejaksaan seperti itu?" tegas pria berjas itu yang mengejutkan dua orang lain yang ada di sana.
"Lantas, kasusnya tertutup sendiri?" ucap Salma sambil melirik pria berjas itu. "Dan juga, Bapak dari tadi-"
"Bukankah kamu jaksanya waktu itu?" ucap pria paruh baya pada rekannya yang lebih muda itu.
Mendengarnya, mulut Salma terbuka lebar. Suasana tiba-tiba menjadi dingin, ia merasa sekujur tubuhnya merinding. Ia kemudian perlahan melirik pria berjas itu dengan hati-hati dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya, "benar!" gumamnya perlahan.
Pria berjas itu menggeleng pelan, "saya baru mendengar jika kasusnya ditutup oleh kejaksaan!" jelasnya. "Dan kamu ini sebenarnya siapa? Apa saja yang kamu tahu?" ketusnya pada Salma.
Salma mengambil beberapa uang di tasnya, "saya pengangguran!" ucapnya lalu berdiri dan menyimpan uangnya di atas meja. "Ini untuk pesanan saya, terima kasih, Pak."
Pria berjas itu terkekeh pelan, "seorang pengangguran? Dan bahkan membawa koper kemana-mana tiba-tiba bicara omong kosong soal kasus kecelakaan dan membuat klaim aneh?" ucapnya sambil berdiri berkacak pinggang.
Salma yang berniat pergi pun kini kembali menoleh, ia mendekat pada pria berjas itu dan tersenyum, "meski tidak mungkin, namun jika suatu saat kasus ini terbukti berhubungan dengan kematian teman saya, dan juga kematian Detektif Wijaya Saputra, apapun jabatan Bapak, saya pastikan Bapak turun dari jabatan itu dan dipermalukan oleh seluruh negeri!" ucapnya penuh tekad. "Salma!" ucapnya terakhir kali sebelum ia pergi dari sana.
Setelah keluar dari restoran, Salma melepaskan kopernya sejenak. Ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Ia memukul-mukul kepalanya pelan. "Bodoh! Tolol! 'Sok banget ngomong gitu lo, Salma!" ringisnya. Setelahnya, ia memukul-mukul kakinya yang masih bergetar sejak berkata panjang lebar selama di restoran tadi. "Pakai ngungkap nama lagi! Salma!" jeritnya pelan.
~~~
Di sebuah restoran ayam goreng, tujuh orang berkumpul dan menikmati hidangan ayam sambil bercanda ria. Di antaranya, Yumi si pemilik restoran, Alan yaitu rekannya Yumi, Jaenal pemilik gedung, Aryo yang merupakan seorang anggota detektif, Jordy yang berprofesi sebagai guru olahraga dan Revan yang hanya seorang pegawai kantor.
Sementara yang lain mengobrol sambil tertawa, Salma yang duduk di dekat dinding hanya menyandarkan kepalanya pada dinding itu dengan tatapan kosong. Alan yang baru saja mengambil duduk di depan Salma mulai menyadari keanehan gadis itu.
"Lo kenapa, Sal?" tanya Alan.
"Ahh benar, Salma kok lo diam saja? Biasanya paling berisik!" ucap Jaenal.
"Salma, wawancaranya lancar?" tanya Yumi nampak khawatir.
"Dia wawancara apa?" bisik Aryo pada Yumi yang duduk di depannya.
Jordy yang duduk di samping Yumi yaitu tepatnya di samping Alan mulai memperhatikan gadis termuda di antara ketujuh orang itu. "Wawancaranya pasti lancar, tapi ada hal lain, iya kan?" gumamnya.
"Dia wawancara apa? Kok gue gak tahu?" lagi-lagi, Aryo kini berbisik pada Revan yang duduk di sampingnya. Ia lalu melirik Salma, tangan panjangnya mencolek bahu gadis itu, "Sal, lo kenapa?"
Salma perlahan tersenyum, keenam orang asing yang kini menjadi keluarganya itu mulai menghangatkan hatinya dan menghapus kekhawatirannya. Bagaimana bisa ia bersedih saat berkumpul bersama seperti ini. Ia hanya menggeleng, "bingung mikirin mau ngontrak di mana," gumamnya.
"Ahh bukan hal itu kayaknya," gumam Jordy penuh selidik. Pria yang hampir berkepala empat itu kini melirik Jaenal, "Bang, si Salma kasih ruangan di atas lah, ada yang kosong gak?"
Jaenal yang duduk di samping Aryo melirik Salma, dan memang gadis itu nampak pendiam hari ini tak sesuai dengan karakter cerewetnya seperti pada pertemuan terakhir kali. "Salma, mau gak? Walaupun di atas penuh, nanti Abang cariin gedung lain, mau?"
"Wahh Bang Jordy sama Bang Jaenal 'sok peduli sama Salma!" gumam Aryo yang mengundang tawa bagi orang-orang di sana. Pria yang mengenakan jaket jeans hitam itu hanya mengluarkan gelak tawanya.
Bahkan Salma yang tadinya murung kini mengangkat kepalanya dan terkekeh, "gue hampir tersentuh Bang Jordy sama Bang Jaenal tapi gak jadi karena lo, Kak!" ucapnya pada Aryo.
Jaenal menggelengkan kepalanya, ia sudah tak mengerti lagi dengan Aryo yang selalu membuatnya kesal setiap pertemuan mereka. "Lo! Lo kenapa selalu membuat gue kesal? Salah apa sama lo!" cibirnya.
"Bang Jaenal ngomong kasar cuma sama saya, sama yang lainnya enggak!" jawab Aryo yang hanya dibalas kekehan oleh Jaenal.
"Sudah, lo tinggal di rumah gue saja, gak bakal diapa-apain kok!" ucap Revan yang memang duduk di samping Salma.
"Atau Salma, rumah gue juga aman buat lo!" sahut Alan.
Salma terkekeh mendengar tawaran dari dua pria itu. Alan lebih tua dua tahun darinya dan Revan seumuran dengannya, jika mau ia akan memilih Revan karena akan membuatnya lebih nyaman namun Alan jauh lebih tampan dari Revan, ia jadi bingung.
"Sal, rumah gue juga-"
Sebelum Aryo selesai bicara, Bang Jaenal lebih dulu memukul kepala pria yang lebih muda darinya itu hingga kembali menimbulkan gelak tawa di sana.
"Kenapa sih Bang?" kesal Aryo.
"Lo gak perlu ajuin diri, si Salma pasti nolak tinggal di rumah lo!" ucapnya yang kembali ditertawakan oleh rekan-rekan mudanya. "Salma, mending tinggal di rumah gue, karena kalau tinggal sama mereka pasti gratis, tapi kalau tinggal sama gue harus bayar jadi mending tinggal sama gue!" ucapnya sambil tertawa.
"Sal, tinggal di rumah gue gratis!" bisik Aryo.
"Kita seumuran jadi mending di rumah gue saja!" bisik Revan.
"Salma, kita pernah kerja bareng, gue juga ganteng, mending sama gue!" ucap Alan.
"Sal, dia miskin! Gue berpangkat!" timpal Aryo.
Sementara, Salma hanya tertawa saja mendengar semua penawaran gila dari orang-orang itu.
"Pilih mana Sal?" tanya Yumi. Wanita yang berusia lebih dari 30-an itu bisa dibilang paling waras di antara ketujuh orang yang berada di sana.
"Mending sama Kak Yumi, masa gue tinggal sama cowok!" jawab Salma dengan santainya.
"Yumi pernah tinggal sama gue!" ucap Jordy dengan percaya dirinya yang membuat semua orang di sana tertawa. "Lagian ya, di antara kita bertujuh, ceweknya cuma Salma sama Yumi. Pasti Salma akan pilih Yumi!"
Begitulah malam Salma yang berubah menjadi malam yang menyenangkan. Mereka bertujuh berasal dari latar belakang yang berbeda, pekerjaan yang berbeda bahkan berasal dari tempat tinggal yang berbeda pula. Namun, gedung bertingkat tinggi milik Jaenal Bramoto sudah mempertemukan mereka dan terjalinlah hubungan dekat itu.