webnovel

Part 2

Jakarta, 2027

Angga POV

Malam bagiku terasa panjang sekali. Tak bertepi. Usahaku beberapa jam memejamkan mata tidak berhasil. Aku tidak juga tertidur. Pikiran itu membuntutiku ke manapun aku pergi. Akhirnya aku bangkit. Duduk. Merenung. Menyalakan lampu kamar. Kemudian kembali duduk dan merenung. Aku menatap dinding kamar dengan perasaan kosong.

Akhirnya saat yang kutakutkan itu akan datang juga, pikirku. Waktunya telah semakin dekat. Jarak semakin singkat. Dan akhirnya aku akan terbenam di sana. Seorang diri. Sepi yang menjadi musuh utamaku selama ini, pasti akan memagutku dengan ketat. Lalu aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Aku menarik napas. Kemudian menengadah menatap langit-langit kamar.

Salah satu milikku yang paling berharga harus aku pergi dari. Keharusan yang sebenarnya sangat tidak aku setujui. Aku harus menyerahkan milikku itu dengan dukacita yang tak terkatakan.

Betapa ironisnya. Aku menyesali dan mengutuki keharusan-keharusan yang telah melembaga itu. Tapi aku hanya bisa berbuat sampai di situ. Kemampuanku hanya terbatas sampai di sana. Kalaupun kemampuanku melebihi apa yang aku miliki sekarang aku tetap tidak akan berbuat melampai apa yang telah dilakukan saat ini. Keharusan yang telah tertanam kokoh itu, tidak akan dapat dirobohkan oleh badai yang paling dahsyat sekalipun. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan, memandang nanar dan kemudian terbenam dalam duka.

Dua tahun ternyata, jarak waktu yang terlalu singkat. Hari-hari kemarin berkejaran dan berlalu dengan cepat.

"Ka, bukan maksudku, ingin memutus hubungan dengan Kakak. Saatnya memang telah tiba bagi Ka Angga untuk melepaskan Ka Jelita."

Tiba-tiba aku merasa diriku menjadi tua sekali. Tidak berguna, seperti bangunan roboh yang dipukul angin. Aku memandang adik mendiang istriku dengan tersenyum. Tetapi genangan air di pelupuk mata tidak dapat menyembunyikan perasaanku yang tertikam itu.

Aku mengangguk lalu merangkulnya.

"Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiaanmu," kataku sambil memperketat rangkulanku.

Aku bangkit dari kursi. Kembali menekan knop lampu. Dalam gelap aku berjalan menuju tempat tidur. Aku membaringkan tubuh yang letih sambil memejamkan mata. Namun, aku tidak dapat membebaskan diri dari pikiran yang terus membuntutiku itu.

Malam terasa semakin panjang dan tidak bertepi.

***

Auhtor POV

"Sayang, kenapa tidak ajak Angga tinggal bersama kita saja, daripada dia tinggal sendirian di rumah itu?"

"Telah kucoba," sahut Juwita. "Tapi Ka Angga tidak mau. Dia malu kalau harus tinggal bersama keluarga adiknya."

"Kenapa harus malu?"

"Menurutnya seorang ayah atau ibu hanya layak tinggal di rumah anaknya dan bukan menumpang dirumah adiknya."

Mahen diam. Baginya Angga sedang ditimpa kesedihan yang menggunung karena harus berpisah dengan Istrinya.

"Angga sebenarnya masih muda," kata Mahen.

Juwita menatap Mahen.

"Tiga puluh dua tahun belum tua untuk berumah tangga lagi," suara Juwita melanjutkan.

"Berumah tangga itu yang Angga tidak mau," sahut Mahen singkat.

Juwita diam. Ia mencoba menyakin dirinya akan kebenaran kata-kata itu.

"Pengorbanannya telah cukup besar untuk keluarga kalian. Apa yang dilakukan Angga telah lebih dari cukup," suara Mahen mengisi ketenangan yang menyekap mereka.

Juwita mengangguk. Ia tidak perlu lagi berusaha karena ia telah yakin akan kebenaran kata-kata suaminya. Dia mencoba mengenangkan wajah mendiang kakaknya, wajah cantik yang runtuh karena sebuah kecelakaan. Wanita cantik yang menyebabkan kakak iparnya tidak ingin menggauli wanita lain.

Sementara itu Mahen, suami Juwita, hanyut dibawa arus lamunannya. Lelaki itu memang luar biasa. Sembilan belas tahun ia menindas keingingan dan membendung badai kebutuhan seorang lelaki. Suatu kemampuan yang sukar tandingannya. Hanya orang-orang yang beriman kuat yang dapat berbuat seperti lelaki itu. Tidak satu di antata seribu atau tidak satu di antara sejuta. Ia memang orang besar, orang yang harus dihormati. "Bagaimana kalau kamu usulkan, agar Angga mencari pengganti Kakakmu?" tanya Mahen.

Juwita tidak segera memberikan jawaban. Ia kelihatan merenung. Lalu menatap jauh ke depan. Mungkin ia telah menemukan apa yang dicarinya karena kemudian terdengar suaranya.

"Akan kucoba."

"Cobalah," kata suaminya memberi kekuatan.

"Selama ini Ka Angga memang selalu mendengar saran dan nasehatku. Tapi kali ini aku sangsi, apakah Ka Angga akan bersedia mendengarkan saranku; karena ini menyangkut Ka Jelita."

"Yang penting, kamu harus mencoba dulu," Mahen menyakinkan.

Juwita mengangguk.

"Kalau Ka Angga mau berpikir tenang, ia tentu akan mendengarkan saranmu."

"Mungkin. Tapi diperlukan waktu yang lama untuk itu."

Mahen mengangguk. "Lama atau sebentar, Angga harus membebaskan dirinya dari penderitaan itu."

"Ka Angga tidak menderita," Juwita membantah.

Mahen tertegun tidak mengerti. "Ya, Angga tidak menderita. Ia hanya kesepian."

Mahen menatap Juwita. "Kesepian itu yang akan menjerumuskan Angga ke dalam penderitaan," katanya sungguh-sungguh.

 "Tidak selalu begitu," bantah Juwita. "Ka Angga tidak pernah menderita dan tidak akan pernah. Kalaupun aku menyarankan agar Ka Angga mencari pengganti kakakku, tujuannya tidak lain, karena aku ingin Ka Angga tidak kesepian terus."

Mahen ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ia menahan diri. Dalam kediamannya ia mendengar teriakan dalam hatinya. Apa yang kau tahu tentang laki-laki. Kesepian yang merantai Angga akan melontarkannya ke dalam kancah siksaan yang getir dan pahit. Detak jantungnya akan bertambah cepat dan darah yang mengalir ditubuhnya yang memukul-mukul tak karuan, hanya akan mempercepat perjalanannya menuju maut. Sepi adalah musuh utama dari setiap lelaki. Ia adalah badai salju yang membekukan, ia adalah lahar panas yang menghancurkan. Karena kekokohan dan tekad yang luar biasa, mungkin Angga masih bisa bertahan sampai saat ini. Tapi ia tetap manusia, yang betapapun masih mempunyai kemampuan yang terbatas. Itu adalah rantai yang menjepitnya, ia harus memutuskannya. Harus. Itulah yang dapat mereka lakukan sebagai orang yang terdekat dengannya.

"Ya, Angga kesepian. Karena itu kita harus mengisi kesepiannya itu," kata Mahen.

"Dengan kita yang sesekali mengunjunginya seperti ini, Ka Angga telah dapat mengisi sebagian dari kesepiannya." Juwita menyahut.

"Sudah menjadi tugas kita, sayang," Mahen bersuara dengan tenang.

Juwita tiba-tiba merasa dirinya menerima beban yang sangat berat. Ka Angga telah berbuat segalanya untuk keluarganya. Lalu sekarang ia telah meninggalkan kakak iparnya yang telah berbuat segalanya untuknya itu. Apakah Juwita harus menganggap dirinya telah menggiring kakak iparnya ke sebuah padang tandung yang sepi dan tanpa manusia? pikirnya. Apakah Ka Angga selama ini tidak merasa dirinya telah berada di padang tandus itu? Yang berubah hanyalah situasi. Kalau dulu Ka Angga punya Ka Jelita, sekarang Ka Angga hanya seorang diri di sana, menatap langit luas yang tak bertepi. Juwita harus memanggil seseorang untuk menemani kakak iparnya di sana. Juwita harus. Dan Ka Angga kupinta untuk menerima orang yang akan menemaninya itu. Mudah-mudahan Tuhan melapangkan hatinya dan ia akan menerima permintaanku.

"Aku akan berbicara dengan Ka Angga," Juwita terdengar bersuara.

"Makin cepat, makin baik." Mahen menyambung.

"Tapi kurasa Ka Angga akan susah untuk menerima kehadiran seseorang yang akan menggantikan tempat Ka Jelita."

"Mungkin mulanya akan begitu. Tetapi kesusahan itu lama-kelamaan akan dapat diatasi, apalagi oleh Angga yang memang tabah dan terbuka."

Tiba-tiba Juwita tersenyum. Mahen mencoba menebak apa yang tersembunyi dibalik senyum itu. Tapi ia tidak berhasil.

"Kenapa tersenyum?"

"Tidak dapat kubayangkan bagaimana nanati Ka Angga..." Juwita tidak melanjutkan kata-katanya.

Kata-kata itu disambut Mahen dengan tertawa kecil.

"Angga tentu tidak akan memperlakukan pengganti Jelita, seperti ia memperlakukanmu. Angga tentu tahu apa yang harus dilakukannya."

Juwita masih berdiam diri. Mencoba meyakinkan dirinya dengan kata-kata yang baru diucapkan suaminya.

"Mudah-mudahan pengganti kakakmu nanti, tidak banyak bedanya dengan mendiang Jelita," Mahen melanjutkan.

Mahen kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menatap wajah istrinya yang kelihatan merenung setelah mendengar kata-katanya tadi.

"Hanya orang seperti itu yang bisa mengisi kekosongan Angga," Mahen seakan berkata kepada dirinya.

Ucapan Mahen menyadarkan Juwita dari renungannya.

"Ya, hanya orang yang seperti kakak yang bisa menyelamatkan kakak ipar dari kesepian," Juwita melanjutkan.

Mereka seakan dihadapkan pada duri-duri menganga yang siap menanti mangsa. Tapi pilihan lain tidak ada dan duri-duri menganga itu harus dilalui dengan hati-hati dan penuh perhitungan.

To Be Continued