Si sopir sesekali memperhatikan Luna dari kaca yang ada di depannya, dia mencuri-curi pandang membuat Luna mulai risih. Dia menyuruh si sopir untuk berhenti, tetapi si sopir tetap mengemudikan taksi tersebut.
"Mas. Kalau Mas gak mau memberhentikan mobilnya maka aku akan lompat dan Mas bisa jadi buronan polisi nanti."
Si sopir tersebut tidak takut dengan ancaman Luna.
Luna mengeluarkan ponselnya, dia memberikan ancaman akan menghubungi polisi. Namun, si sopir masih saja tidak mau memberhentikan taksi tersebut. Luna ingin sekali melompat, tetapi dia masih berpikir jernih takut kenaoa-napa.
"Mas."
Namun, dia tidak ingin sesuatu benar-benar terjadi karena si sopir tersebut. Dia membuka pintu taksi, dia menhankam mata dan melompat.
HAPP!
Seseorang menangkapnya seperti seekor kucing melompat ke arah Tuannya. Luna membuka matanya melihat wajah Chen yang tersenyum, tetapi senyuman itu berubah menjadi sinis marah karena Luna bersikap nekat.
"Gila kamu ya."
Chan marah. Dia menurunkan Luna dari pelukannya, dia berjalan meninggalkan gadis itu dengan sikap dinginnya.
"Maaf, Kak. Aku hanya takut sopir itu berbuat yang tidak baik kepadaku. Jangan marah."
Chan memberhentikan langkah kakinya, dia menoleh ke belakang melihat Luna si polis berdiri menekuk kepala merasa bersalah. Chan mengangkat dahinya, dia merangkul bahu Luna dan membawanya masuk ke taksi yang lebih terpercaya.
"Jalan Matahari, Pak."
Si sopir tersenyum mengangguk.
Beberapa menit kemudia dia sampai taksi yang mereka tumpangi sampai di depan rumah Yona. Di rumah tersebut sudah ramai, Luna tidak sabar untuk ke sana. Dia menunggu Chan keluar dari taksi, tetapi pemuda itu tidak keluar dan melambaikan tangan pergi bersama si sopir.
"Kak...."
Luna melangkahkan kakinya ingin mengejar, tetapi Yona memanggil dengan tangan yang ikut bermain. Kehadiran Luna yang dari tadi di tunggu Saka akhirnya tiba, dia senang melihat gadis itu.
Tak berlangsung lama, anak panti asuhan dari rumah panti terdekat yang mereka undang berpulangan setelah acara pengajian selesai. Anak yang terdiri dari 30 an tersebut keluar sambil menyalami tangan mereka bertiga di depan pintu rumah. Selain makanan Saka juga memberikan amplop berisi sedikit uang.
"Terima kasih kamu sudah datang Luna."
Yona kaget, pertama kali bagi telinganya mendengar kakaknya mengucapkan terima kasih kepada seorang perempuan. Setahunya dari dulu kakaknya seorang pria yang tak banyak bicara, dia seperti dewa dari kutub utara. Baru pertama kali bagi matanya juga melihat sikap Saka yang manis dan care kepada perempuan yaitu Luna.
"Aku akan mengantarmu."
Saka menawarkan diri untuk mengantar Luna pulang. Mata Yona semakin terbelalak, telinganya melebar, dan bibir merespon kaget. Luna dan Saka sama-sama menoleh ke arah Yona yang berdiri diantara mereka di teras rumah.
"Kakak merasa bertanggung jawab karena dia murid kakak. Kakak akan mengantarnya karena anak perempuan akan bahaya di luar malam-malam."
Saka masuk ke rumah, dia kembali keluar dengan menjepitkan helm di bawah ketiaknya. Dia memasang helm Yona ke kepala Luna, lalu dia mengajak gadis itu untuk menaiki motor antiknya.
Saka benar menyukai Luna, baginya ada hal unit di diri gadis itu yang membuat dia terpikat. Dia memanfaatkan waktu, Saka mengajak Luna berhenti di warung pinggiran untuk memakan sate ayam. Sebelumnya gadis itu tidak pernah berkeluyuran hanya memakan sate ayam atau makanan sejenisnya, dia lebih sering di rumah dengan ponsel, laptop untuk menonton, dan belajar. Meskipun dia pintar tetapi dia masih dianggap anak diatas rata-rata di kelas. Dia hanya mendapat juara tiga, kenapa? Dia itu tidak memiliki kemampuan berbicara mengutaran pendapatnya di depan umum. Meskipun dia bisa menjawab soa yang ditanyakan oleh guru di depan, tetapi tangannya terlalu tremor untuk diangkat.
Bunyi suara motor Saka berhenti di depan pagar rumah Luna, pria itu membantunya membuka helm.
"Terima kasih, Pak."
Luna masuk ke perkarangan rumah, ketika tubuh mungil itu berdiri di teras dia masih melihat Saka yang memastikan dia masuk. Luna mengangguk pelan, dia memutar tubuh memutar kunci pintu masuk ke dalam rumah. Dia melihat cahaya ruang tamu yang redup karena lampu utama sudah dimatikan. Luna merasa seseorang berjalan secara cepat menuju dapur, darahnya tersentak naik kaget dengan bulu kuduknya yang berdiri.
Langkah kaki Luna menyamping seakan dia berjalan melewati dua batang kayu jembatan penyeberangan. Langkahnya penuh rasa, matanya jeli mengarah ke dapur.
SEET!
Kembali dia merasa seseorang berjalan di belakangnya. Dia berlari masuk ek dalam kamar dan mengunci pintu rapat, dia menghembuskan nafas dengan tangan yang menggenggam daun pintu.
"Hai!"
Luna menoleh kaget ke arah belakang, dia melihat Chan berdiri dengan senyuman.
"Kak Chan...."
Luna duduk di tepi kasur, dia memejamkan mata. Dia berdiri dan membuka jendela, dia menyuruh Cha keluar dari kamar bernuansa pink tersebut.
"Aku mohon kakak keluar. Jangan seenaknya masuk ke rumah orang apa lagi sampai ke kamar."
Chan berjalan mendekatinya, dia menatap Luna dengan ekspresi yang membutuhkan perhatian. Ekspresi wajahnya itu membuat Luna luluh, dia mendaratkan tangannya ke bahu Chan.
"Baju kakak basah. Kakak dari mana? Padahal di luar tidak hujan."
"Aku... aku terjatuh ke sungai tadi."
"Sungai?"
"Iya. Tadi ada anak yang membutuhkan pertolonganku, dia terjatuh dari jembatan Forexcis."
"Lalu anak itu?"
"Dia baik-baik saja. Dia selamat."
"Syukurlah. Kakak sekarang pulang dan ganti baju. Nanti kakak bisa masuk angin. Setiap kali kita bertemu kakak juga selalu memakai seragam sekolah."
"Aku tinggal sendirian, keluargaku tidak ada. Aku baru di usir dari kontrakan, beberapa hari ini aku hidup gelantungan."
Luna kembali duduk di tepi kasur, dia duduk berpikir sejenak. Dia berdiri, langkah kakinya menuju keluar dari kamar. Dia menjaga langkahnya, dia menyelinap masuk ke dalam kamar kedua orang tuanya. Dia mendekati lemari, dia mengambil baju kaos Arya.
Di dalam kamar nuansa pink tersebut Chan menelusuri kamar tersebut, dia membuka laci meja setelah melihat cahaya dari laci yang renggang tidak sempurna. Dia membuka, cahaya itu menyilaukan matanya.
"Kalung."
Sebuah kalung liontin berwarna biru muda tergeletak di dalam laci, dia menyentuh kalung itu dengan tatapan mata yang tajam. Dia menggenggamnya, sebuah energi terasa masuk dari telapak tangan dan berhenti di jantungnya. Tubuhnya bereaksi kaget, angin selintas melewati tubuhnya.
"Untuk apa baju Papa?"
Luna tertangkap basa di kamar kedua orang tuanya, dia diinterogasi hingga terpaksa dia membuka kebenarannya.
"Aku memiliki seorang teman, dia tidak memiliki keluarga dan dia kebasahan tetapi dia tidak memiliki pakaian karena tasnya di curi kemarin. Kasihan dia, Pa... Ma...."
"Cowok?" tanya Tiwi.
"Iya."
Mereka keluar dari kamar, langkah mereka berjalan saling menyusul ke kamar Luna. Daun pintu kamar di putar Arya, suara terdengar dan Chan mengarahkan pandangannya ke pintu.