Liam mengambil foto yang ada di lantai, dia memasukkannya ke dalam saku baju lalu melanjutkan langkah kakinya dengan hanya memandangi Saka yang selalu terlihat datar ketika berinteraksi dengan Saka.
Saka juga melanjutkan langkahnya, dia kembali ke ruangannya. Perasaan penasaran itu masih mampir di hati Saka, dia berusaha untuk mengingat sosok Chan yang sulit untuk dia ingat.
***
Saka memaksimalkan penampilan untuk bertemu dengan Luna. Dia merapikan rambut, gaya rambut yang dia pakai commo hair bak Oppa yang menjadi keagungan dan kekaguman bagi sebagian kaum hawa.
"Hus!"
Yona memanggil Saka dengan hendusan dari bibirnya. Saka menoleh ke belakang, dia melihat adiknya yang berdiri dengan tubuh condong ke dalam kamar, tangan ada di bingkai dan daun pintu.
"Ketemu siapa. Cewek ya?"
"Diam."
Saka menjawab dengan senyuman, Yona menutup pintu kamar meninggalkan kesenangan Kakaknya yang membara meskipun dia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Saka dengan penampilan serba rapi itu.
Di tempat yang berbeda lebih tepatnya di taman Raflesia Luna celingukan kiri dan kanan mencari sosok Saka yang sudah membuat janji dengannya pukul delapan malam. Chan memantau mereka dari kejauhan, dibalik salah satu pohon penuh dengan ketelitian.
"Di mana Pak Saka. "
Saka akhirnya datang, di balik pintu tubuhnya terdapat setangkai bunga mawar merah. Dia berjalan dan berhenti tepat di belakang Luna sambil tersenyum. Tangan kiri dia angkat, mendarat di pundak kiri gadis itu membuat dia kaget dan menoleh ke belakang. Bunga mawar yang dipegang oleh Saka berganti menjadi pulpen, wajah kaget terlihat dari raut wajah Saka dan kebingungan dari raut wajah Luna.
"Pulpen. Untuk apa, Pak?"
"Pulpen."
Saka meraba saku celana bagian belakang, dia merasakan kekosongan bahkan melihat tidak ada jejak bunga yang terjatuh di bawah. Dahi mengkerut, dia begitu bingung dengan pulpen yang dia tetap sangat detail karena dia tidak pernah memiliki pulpen seperti apa yang dia pegang saat ini.
"Kenapa. Kenapa Bapak memberikan pulpen kepadaku."
Luna mengambil pulpen yang ada di tangan Saka, dia tersenyum ringan dengan tatapan tak akan bertanya pemberian pulpen tersebut kepada dirinya. Saka jadi bingung untuk memulai pembicaraan atas apa yang ingin dia katakan mengenai perasaannya. Niat untuk mengungkapkan ketertarikan kepada Gadis itu dia tunda karena masalah bunga yang berubah menjadi pulpen.
"Apa ini adalah pulpen milikmu."
"Tidak. Jadi, Bapak mengajakku bertemu hanya untuk memberikan pulpen."
"Tidak. Aku kini bertanya mengenai Yona. Hem... apa kamu tahu dia dekat dengan siapa akhir-akhir ini karena tingkahnya sangat berbeda seperti sebelumnya."
Saka mencari jalan pintas untuk membuat dia tampak terlihat aneh di hadapan Luna. Yona adiknya sendiri menjadi bahan alasan untuk menyelamatkan in mask di hadapan gadis itu. Luna dibuat berpikir panjang mengenai Yona dan pemuda yang akhir-akhir ini dekat dengan sahabatnya itu.
"Perasaan tidak ada satu cowok pun yang dekat dengan Yona. Hanya saja dia sering berdebat dan bertengkar bersama Kak Dika anak dari kelas IPS sahabat Kak Liam."
Semula Saka tidak menjadikan adiknya sebagai topik utama karena dia hanya bermaksud untuk menjadikannya sebagai alasan. Namun, setelah mendengar penjelasan dari Luna sedikit kekhawatiran muncul di hatinya karena menganggap apa yang dikatakan oleh Luna adalah sebuah kebenaran. Pada kenyataannya kebenaran memang dikatakan oleh Luna, Saka tidak ingin jika adiknya berkaitan dengan Liam ataupun teman-temannya.
"Dika. Hem... aku bertemu denganmu hanya ingin bertanya mengenai itu. Terima kasih, dan hati-hati pulangnya."
Saka melangkahkan kaki meninggalkan taman, Luna mengikuti jejaknya sambil mengangkat pulpen yang ada di tangannya.
"Pak. Pulpen ini, ini bukan punyaku."
Saka mengabaikan perkataan Luna karena dia tidak mendengarnya. Luna terus saja berlari ke arahnya hingga dia tidak sadar menyandung sebuah batu hingga dia terjatuh. Desis di sekitar yang keluar dari mulut Luna baru didengar oleh Saka, dia menoleh ke belakang melihat gadis itu terduduk di atas rumput dengan lutut yang berdarah.
"Luna."
Chan keluar dari persembunyian mendekati Luna, Saka memberhentikan langkahnya dia tengah perjalanan ini menghampiri Luna setelah dia melihat Chan. Saka memperlambat langkah hingga akhirnya dia juga sampai berdiri tepat dihadapan Luna sambil minta maaf karena sudah mengabaikannya.
"Maaf, Luna."
"Ini bukan salah Bapak."
"Bagaiman bukan salah dia. Aku melihatnya sendiri, aku melihat dia mengabaikanmu. "
"Kak Chan. Kakak ada di sini. Kakak mengikutiku?"
"Jangan pikirkan itu."
Chan membopong tubuh Luna, dia meletakkannya di atas bangku lalu kucar kacir mencari kotak P3K. Saka datang membawa kotak P3K, Chan merampas benda berukuran panjang 30 × 30 cm tersebut dari tangan Saka. Chan sendiri yang mengobati lutut Luna, darah itu mengenai tangannya yang membuat Chan merasa aneh dengan dadanya.
"Jantungku, berdetak."
Chan berbicara dalam hati, Saka mengerutkan dahi menyadari keanehan dari Chan. Rasa sakit di lututnya dia rasakan, dia memegang tempurung lutut dari luar karena rasa sakit tersebut.
"Kakak kenapa?"
Saka merendahkan tubuh dengan memberikan sedikit kepedulian terhadap Chan.
"Kamu baik-baik saja?"
Chan menoleh ke arah Saka dengan mengangkat wajah, dia membuang muka dan mencoba bersikap tenang meskipun rasa sakit itu dirasakan. lutut Luna diobati kembali hingga memplesternya.
"Bagaimana. Apa masih sakit?"
"Tidak, Kak."
Lututnya juga tidak sakit lagi. Suatu keanehan dia rasakan yang mengkaitkan dirinya juga Luna. Dia membopong Luna masuk ke mobil Saka, dia meminta pemilik mobil tersebut untuk mengantar Luna ke rumah.
"Antar dia ke rumah. Pastikan dia baik-baik saja dan tidak ada hal apapun yang terjadi kepadanya, Pak Saka."
"Kakak mau ke mana?"
"Bertemu seeorang. "
"Pacar, ya?"
"Jangan kepo."
Chan menutup pintu mobil, dia menatap kepergian mobil berwarna hitam tersebut pergi dari hadapannya.
"Pak. Maaf sekali jika aku merepotkan Bapak. aku tadi mengejar Bapak hanya ingin memberikan Pulpen ini karena ini bukan milikku."
"Kamu ambil saja. Satu lagi, tolong jangan katakan mengenai pertemuan kita malam ini kepada Yona."
"Kenapa? Baiklah."
Beberapa menit kemudian akhirnya mobil yang dikemudikan oleh Saka berhenti tepat di luar gerbang rumah Luna. Dia membukakan pintu seakan Luna adalah putri kerajaan, dia membantu Luna dengan memapahnya sampai ke teras rumah.
"Terima kasih, Pak."
"Iya. Kalau begitu aku pergi dulu."
"Pak!"
Luna memanggil Saka setelah pria itu melangkah sekitar 3 atau 4 langkah dari posisinya. Saka menoleh ke belakang, Luna yang mendekati pria itu.
"Pak. Bu Arini sepertinya suka kepada Bapak. Aku mendengar dia mengatakan ingin mencari perhatian dari Bapak, itulah sebabnya dia berpenampilan tak seperti biasanya hari ini di sekolah. Tolong jangan kecewakan dia karena dia wanita yang baik."
Beban pikiran Saka bertambah, dia menyadari sikap Arini selama ini tetapi dia abaikan untuk tidak menyakiti dengan kebenaran bahwa dia tidak menyukainya.
"Iya."
Saka pergi dengan wajah lesu.