webnovel

Emergency Marriage

EMERGENCY MARRIAGE 2 : On My Heart Bisa dibaca di akun Ice_Coffe Cerita berlanjut di sana. Thanks my lovely readers. ___________________ Bagaimana jika kamu terpaksa harus menikah untuk menggantikan kakakmu yang kabur pas di hari pernikahannya? Rea (21 tahun) terpaksa menggantikan Reni -kakaknya, untuk menikah dengan seorang pria yang dia sendiri belum pernah melihatnya. Untuk menyelamatkan nama baik keluarga, dia menyetujui pernikahan tersebut. Aksara Satria Wijaya (28 tahun) yang sejatinya terpaksa menikah demi hak milik kekayaan sang Kakek jatuh di tangannya pun tidak tahu, kalau sebenarnya mempelai putri telah diganti. Mungkinkah dalam pernikahan mereka akan tumbuh benih cinta, atau malah karam di tengah jalan mengingat banyaknya wanita di sekeliling Satria?

Yuli_F_Riyadi · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
363 Chs

Meeting yang Membosankan

Aku hendak bergerak mencari handuk kembali ketika Satria malah menyuruhku berhenti di tempat. Astaga! Sumpah aku malu banget. Dan Satria bukannya pergi malah mendekat. Dia melepas bathrobe yang dia kenakan dan memakaikannya padaku. Aku menunduk dalam dengan muka memanas. Hancur sudah. Satria sudah melihat semuanya. Tangan Satria bergerak dan menarikku dalam pelukannya. Aku ingin marah tapi nggak bisa. Dan aku juga nggak tahu kenapa Satria tiba-tiba memelukku erat.

"Tolong, jangan bergerak. Biarkan seperti ini sebentar saja."

Dada telanjang Satria menempel di tubuhku yang berbalut kain berbahan handuk ini. Aku membiarkan saja selama beberapa menit lamanya.

"Bang, napasku sesek," kataku setelah lama dia memelukku.

"Rea, apa kita bisa...."

"Bisa apa?"

Satria melepasku dan menjatuhkan tatapannya tepat di manik mataku. Jakunnya naik turun, aku bisa melihatnya meneguk ludah. Detik berikutnya aku sudah berada dalam gendongannya. Dia membawaku ke tempat tidur dan merebahkannya di sana. Tunggu, dia mau ngapain?

Aku menahan dadanya ketika- wajahnya mulai mendekat. "B-Bang, kamu mau apa?" tanyaku gugup. Satria menatapku sejenak lantas menjatuhkan kepalanya di bahuku.

"Sorry, aku tahu. Kamu masih nggak menginginkannya." Tubuhnya lalu menjauh, meninggalkanku yang terbaring dengan penuh tanda tanya di dalam kepala.

Aku segera merapatkan bathrobe. Ya Tuhan, apa mungkin Satria tadi itu.... Mataku melebar seiring mulutku yang ternganga. Aku menutup mulut dengan telapak tanganku segera. Dan bisa kurasakan wajahku kembali memanas.

***

Satria menggeleng melihat tingkahku. Setelah berganti pakaian karena basah tadi, aku terus mengikuti kemana pun dia pergi. Dari mulai ke dapur, ke ruang keluarga, bertemu dengan Kakek, hingga dia menyiram tanaman di balkon kamar seperti orang kurang kerjaan.

"Kamu aneh sekali, Rea?" tanya Satria memicingkan mata melihatku. Aku memasang senyum selebar mungkin.

"Bang Satria, besok mau ke Bali lagi nggak?"

Kali ini Satria mengangkat sebelah alisnya. "Memangnya kenapa? Kamu mau pergi juga?"

"Nggak."

"Aku emang nggak akan ke Bali, tapi besok mungkin akan ke Batam."

Mataku langsung melotot. Ke Batam? Apa dia janjian dengan wanita itu lagi?

"Ke Batam ngapain?"

"Ada pertemuan dengan cabang-cabang perusahaan kita yang berada di Asia Tenggara."

"Tapi kenapa harus ke Batam? Kenapa nggak dilakuin di Jakarta aja?"

"Hasil kesepakatannya memang diadakan di sana. Yang penting kan masih wilayah Indonesia."

Kalau setelah pertemuan itu Satria pergi lagi dengan wanita itu gimana? Aku tidak mau Satria menemui wanita itu.

"Aku harus ikut!"

"Di sana membosankan, Rea. Kamu pasti mengantuk."

"Pokoknya aku mau ikut, Bang."

Aku tidak akan membiarkan Satria dengan bebas menemui wanita itu. Di sana aku akan seperti lintah yang terus menempel padanya.

"Kamu keras kepala banget." Satria menggeleng dan melangkah pergi.

"Bang, mau kemana?" tanyaku cepat-cepat mengejarnya.

"Mau ke kamar mandi. Mau ikut juga?"

Kontan aku ngerem mendadak lalu menggeleng cepat. Satria berdecak sebelum kembali melangkah menuju kamar mandi. Sedangkan aku, bolak-balik di depan pintu kamar mandi dengan bibir komat-komit.

***

"Bang kita terbang pukul berapa?" tanyaku saat kami sedang sarapan.

"Pesawatnya terbang pukul sepuluh."

"Kita beneran naik pesawat lagi, Bang?" Aku menggigit bibir bawahku. Seandainya ada kendaraan lain yang bisa digunakan untuk ke sana. Kapal mungkin.

"Ya iya. Masa ke Batam naik odong-odong."

Aku mencebik. "Ya nggak gitu juga kali, Bang. Naik kapal kan bisa. Gimana kalau kita naik kapal aja!" Ideku pasti dia terima. Mataku sudah berpendar membayangkan naik kapal.

Satria menghentikan kegiatan makannya dan menarik napas panjang-panjang lalu menatapku dengan pandangan lelah.

"Rea, istriku yang sedang mode aneh bin nyebelin. Kita itu mau meeting hari ini, bukan tiga hari yang akan datang."

"Jadi, kalau naik kapal itu nyampenya tiga hari kemudian ya? Hahaha. Ya sorry, aku kan belum pernah ke sana naik kapal."

Kakek yang memperhatikan interaksi kami tersenyum. "Kamu mau ikut pergi ke Batam, Rea?"

"Rencananya gitu, Kek. Tapi naik pesawat lagi."

"Kan sudah aku bilang, kamu nggak usah ikut. Lagian pertemuan itu membosankan. Kamu pasti cuma bisa melongo dan ujung-ujungnya molor," ujar Satria masih saja memintaku untuk tidak mengikuti perjalanannya. Aku semakin curiga jika dia akan bertemu lagi dengan wanita itu.

"Nggak pa-pa kok, Bang. Habis pertemuan kita jalan-jalan kan?"

"Langsung pulang lagi ke Jakarta dong, Rea. Kerjaanku kan banyak."

"Kemarin waktu di Bali nggak gitu. Kamu nggak langsung pulang."

"Itu karena aku ada urusan."

"Urusan apa?"

"Aku harus--"

Tiba-tiba Satria menghentikan ucapannya. Tidak jadi meneruskan.

"Harus apa, Bang?"

"Kamu, Kepo. Sudah lanjutkan sarapanmu."

Tuh kan! Dia nggak mau jujur. Ada yang disembunyikan. Bau-bau perselingkuhan pasti. Mataku menyipit curiga padanya.

"Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu?"

"Bang Satria, mencurigakan."

"Astaga! Mencurigakan bagaimana?"

"Kalian ini pada kenapa? Pagi-pagi begini sudah ribut," tanya Kakek lagi.

"Aku nggak tahu, Kek. Rea itu bersikap aneh, sejak kemarin," jawab Satria membuatku bersungut.

Siapa yang aneh? Aku nggak akan kayak gini kalau Satria nggak menyembunyikan sesuatu dariku.

***

Aku sudah berada di pesawat lagi. Demi apa aku menaiki besi terbang ini lagi? Kalau tidak ada misi tertentu, sumpah aku tidak mau duduk di kursi ini. Kursi yang nyaman bagi sebagian orang-orang karena menganggap terbang itu menyenangkan.

"Letakkan tanganmu di sini."

Satria membuka telapak tangannya dan menyuruhku meletakkan tangan di sana. Aku menautkan jari jemariku dengan jemarinya. Setelah itu Satria menggenggamnya erat, seakan mengalirkan kehangatan yang aku perlukan.

Satria merebahkan kembali kepalanya ke punggung kursi dengan mata terpejam. Aku pun melakukan hal yang sama seraya terus menatapnya. Satria itu biarpun sedang merasa kesal padaku, dia selalu memperlakukan aku dengan baik bahkan manis. Dia tahu betul cara membuat wanita nyaman. Tapi, apa mungkin bukan hanya diriku saja yang mendapat perlakuan manisnya? Ada nyeri tak kasat mata saat aku ingat ciumannya dengan wanita lain di Makassar. Jadi, untuk apa dia bersikap manis padaku jika bersamaan dengan itu dia juga melakukan hal yang sama dengan wanita lain?

Perlahan namun pasti sebuah cairan panas menerobos kelopak mataku. Lalu seketika pipiku terasa basah.

***

Begitu sampai di Bandara Hang Nadim. Satria mengajakku makan siang di salah satu restoran Mega Mall. Karena memang sudah jamnya. Aku bersyukur perjalananku selama hampir dua jam aman terkendali.

Setelah makan siang, kami menuju ke hotel di kawasan Nagoya Hill. Pertemuan itu dilaksanankan di sana setelah jam makan siang usai. Perusahaan Kakek memang sudah menyebar ke wilayah ASEAN. Pertemuan seperti ini selalu diadakan setiap bulan. Katanya sih tidak melulu dilaksanakan di Indonesia. Bulan ini kebetulan diadakan di Indonesia dan Batamlah yang terpilih menjadi lokasi berlangsungnya pertemuan itu.

Satria, aku dan Ruben disambut pada saat kami baru tiba. Para penanggung jawab setiap branch yang hadir sudah berkumpul di ruang pertemuan. Aku sih berusaha sok profesional di sana, meskipun sama sekali tidak tahu soal apa yang sedang mereka bahas. Lagi pula, mereka membahas laporan, rancangan dan lain-lain menggunakan bahasa inggris. Aku tentu bisa tahu artinya dalam beberapa kalimat, tapi jika sudah masuk dalam mode gaya bahasa cepat, aku sukses melongo di tempat.

Aku mulai menguap dan mataku terasa berat. Satria benar pertemuan ini membosankan, terutama buatku yang dari tadi cuma bisa melongo.

"Kalau kamu ngantuk mending keluar saja. Cari udara segar dengan berjalan-jalan di sekitar hotel. Tapi ingat jangan jauh-jauh. Nanti kamu bisa nyasar," bisik Satria di telingaku.

"Memangnya boleh?"

Satria mengedipkan mata seraya mengangguk. Setelahnya dia meminta ijin untukku agar keluar dari tempat membosankan ini. Akhirnya aku bebas juga dari kandang domba ASEAN tadi. Menuruti nasehat Satria, aku hanya berjalan-jalan di sekitaran hotel saja. Tidak ada yang menarik, aku pun beranjak menuju restoran hotel yang berada di dekat lobi dan memesan sepotong rainbow cake serta secangkir coffe latte.

"Sepertinya rapat akan berlangsung lama. Aku keluar dulu sebentar, pasti nggak masalah kan?" gumamku.

Setelah menghabiskan kue dan kopiku, aku memutuskan keluar hotel. Tujuanku adalah mall yang berada dekat dengan hotel ini. Tidak perlu jauh-jauh, Satria bisa marah kalau tahu aku keluar hotel. Aku berjalan sendiri, cuci mata membuang rasa bosan. Hingga langkahku berhenti tepat di depan bioskop 21. Mungkin aku perlu menonton film untuk menghabiskan waktu.

PS. Hay.... Gak nunggu hari Senin ya Kak. Hari ini ak update... Entah apa yang merasukiku. Haha. Happy reading gaess.

Jangan lupa masukin cerita ini dalam daftar bacaan.

Ditunggu ulasan /review bintang limanya ya akak-akak, biar Rea-Satria makin melejit. Hehe.

See you soon.