webnovel

ELYANA

Ini tentang Elyana, atau biasa dipanggil Eli yang menyukai kakak tirinya sendiri yaitu William Martinez, dengan kenyataan bahwa pria itu sangat membencinya karena pernikahan orang tua mereka. Eli sadar, mau sampai kapanpun mungkin William akan membencinya dengan terbukti sikap kasar yang sering pria itu berikan kepadanya entah melalui tindakan verbal maupun non verbal. Tapi Eli bisa apa, hal itu bahkan tidak bisa menghapus perasaannya kepada kakak tirinya itu. Karena bagi Eli, William adalah potret sempurna dari tipikal pria idamannya selama ini. Mungkin kata Jane memang benar, sahabatnya itu suka sekali menyebut ia bodoh karena sudah jatuh cinta dengan pria yang bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya. Lagi-lagi Eli bisa apa? Namun sepertinya, prinsipnya yang ia pegang teguh itu membuahkan hasil. Atau mungkin, memang sejak dulu William memang menyukainya, namun tidak pernah dia tunjukkan karena sebuah alasan. Ya, dan alasan itulah yang akhirnya mengungkap rahasia kelam yang selama ini Papa Eli tutupi mengenai kematian Mamanya dan juga rahasia-rahasia besar lainnya. Darisana Eli sadar, bahwa selain mendiang Mamanya, William yang selama ini secara terang-terangan membencinya justru menjadi orang kedua yang peduli padanya. Dan justru bukan Papanya yang selama ini ia banggakan, ataupun Mama tirinya yang Eli pikir benar-benar baik kepadanya.

Shawingeunbi · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
113 Chs

Chapter 26

"Akhir-akhir ini, aku sering melihatnya bersama perempuan lain. Mereka terlihat sangat akrab--"

"Cih! Jadi maksudmu kau mengajakku bertemu hanya ingin melaporkan jika putraku sudah punya pacar?" ucap Lea tidak percaya kepada wanita muda di depannya itu.

"Tidak, nyonya. Maksudku, dia bukan perempuan biasa."

Lea menyilangkan tangannya di depan dada, ia merasa waktunya terbuang sia-sia karena sudah mau mendengarkan cerita wanita ini.

"Siapa namamu tadi? Yuna? Hei, William sudah besar, jadi mau dia pacaran dengan wanita keturunan darah biru atau wanita miskin pun, aku merestuinya. Bolehkah aku pergi sekarang?"

Yuna menggeleng dan mencegah Lea agar kembali duduk dikursinya, padahal ia belum selesai bercerita tapi mengapa dia tidak sabaran sih? Yuna benar-benar heran dengan wanita didepannya saat ini. Ya, ia mengajak Lea untuk bertemu dan mengadu dombanya dengan Eli, karena ia tahu mereka sedang tidak akur sekarang.

"Nyonya, saya belum selesai. Jadi tolong dengarkan saya."

"Aku tidak suka membuang waktuku hanya untuk mendengarkan aduan tak masuk akalmu! Kau begini karena kau sudah ditolak Wil berkali-kali kan? Jadi jika kau berpikir dengan bertemu denganku aku bisa membantumu mendekatinya, maka kau salah besar!"

"Ini tidak seperti yang anda pikirkan, nyonya. Tolong dengarkan saya sekali saja. Jika anda tidak tertarik dengan apa yang akan saya bicarakan, anda boleh pergi setelah ini."

Lea pun akhirnya mengalah dan dia memberi kesempatan untuk Yuna menjelaskan maksudnya.

"Baiklah, katakan!"

"Dia Elyana."

Dahi Lea mengernyit ketika nama anak tirinya itu disebut, seketika ingatannya kembali dipaksa balik disaat terakhir kali Eli memilih keluar dari rumahnya setelah mengetahui kematian Sica yang sebenarnya. Disana, ketika pertikaian muncul diantara dirinya, Eli dan Sean, tiba-tiba William muncul bak seorang pahlawan dan menegaskan jika Eli adalah kekasihnya.

"Saya melihat sendiri bagaimana kedekatan mereka terjalin bak sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Mereka sekarang tinggal bersama di rumah William."

Bagai tersambar petir, Lea terlihat linglung untuk beberapa saat. Yuna pun segera memberikan air putih kepada Lea untuk menenangkannya.

Lea pikir waktu itu William maupun Eli hanya berbohong sebagai alasan agar Eli bisa pergi dari rumahnya, jadi ia pun membiarkannya begitu saja ketika Eli diajak William pergi. Begitupun dengan Sean, pria itu juga sudah meremehkan pengakuan mereka. Jadi, sebenarnya mereka memang benar-benar pacaran?

"Nyonya, anda sudah merasa baikkan?" tanya Yuna memastikan keadaan Lea.

"Apakah mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih?"

Yuna terlihat terdiam.

"Mengapa kau diam? Apa kau tidak tahu?"

"Maafkan saya, Nyonya. Kalau menjadi sepasang kekasih atau tidaknya itu luput dari informasi yang saya dapatkan, tapi anda tenang saja, pasti saya akan mencari tahunya setelah ini dan mengabarkannya kembali pada anda." ujar Yuna meyakinkan Lea.

"Mengapa kau begitu kekeuh membantuku? Apa yang kau inginkan sebenarnya?"

Yuna tersenyum. "Anda memang sangat pandai membaca situasi. Bagaimana sebagai gantinya saya menyelidiki hubungan Eli dan William yang sebenarnya, promosikan saya sebagai artis yang berbakat kepada sutradara-sutradara terkenal. Saya dengar anda sangat bersahabat dengan beberapa dari mereka."

"Benar-benar wanita yang sangat licik, baiklah, itu hal yang sangat mudah. Jadi, apa rencanamu?"

"Anda akan tahu nanti." ucap Yuna tersenyum sinis.

************

"Ah Eli, aku bisa dibunuh Wil nanti jika kita tidak kunjung pulang."

"Jangan khawatir, Leon. Ini masih sore, kak Wil pasti belum pulang." ujar Eli menenangkan keresahan Leon.

Leon pun mengacak rambutnya untuk mengurangi keresahannya. Bagaimana tidak, hari ini Eli mengajaknya untuk belajar di Taman dengan alasan jika gadis itu bisa berkonsentrasi saat belajar disini. Tapi nyatanya justru Eli sama sekali tidak mau belajar dan malah berinteraksi dengan beberapa anak-anak kecil yang kebetulan sedang bermain di taman itu.

"Apa kau mau es krim, Leon?" ucap Eli menawarkan.

"Tidak, bisakah kita pulang--"

"Vanilla apa coklat?"

"Coklat-- Eli! Jangan memotong ucapanku!"

"Tunggu disini, aku akan membeli es krim dulu." jawab Eli mengacuhkan Leon.

"Tidak, Eli. Hei, kembalilah. Astaga! Sekarang aku bisa merasakan apa yang Wil keluhkan tentang Eli jika gadis itu lebih buruk dari anak kecil yang masih berumur 5 tahun." keluhnya.

Tring...tring...tring...

Seketika Leon nampak membeku ditempatnya ketika nama William tertera di layar ponselnya.

"Mati aku!"

Leon pun tak bisa terus mendiamkan telepon dari William meskipun ia sangat takut dimarahi oleh sahabatnya sendiri itu. Akhirnya ia pun mengangkat teleponnya.

"Halo Wil--"

"Jangan diangkat!" cegah Eli tiba-tiba.

"Eli, apa yang kau lakukan? Aku benar-benar akan dibunuh Wil jika kau begini!"

"Sudah kubilang jangan khawatir! Ini es krimmu."

"Strawberry? Aku tadi kan berkata coklat."

"Ah benarkah? Bukankah kau tadi bilang agar aku tak memotong ucapanmu begitu?"

"Ah, lupakan. Sekarang kita pulang ya?"

Eli bersikukuh dengan ajakan Leon dan menggelengkan kepalanya kuat.

"Aku masih ingin berada di taman ini."

"Bagaimana jika kau kembali besok? bukankah besok kita libur?"

"Tidak mau, kak Wil pasti tidak akan memperbolehkan aku pergi keluar sendirian."

Leon lagi-lagi mengacak rambutnya frustasi.

"Hari sudah mau gelap, Eli. Taman ini juga sudah mulai sepi. Apa kau tidak merasa takut?"

"Mengapa aku harus takut?"

"Hantu akan keluar setelah hari berubah gelap."

"Cih! Omong kosong!"

"Aku serius!"

"Aku tidak peduli, pfft!"

Eli berjalan menuju sebuah bangku kosong di taman itu sambil memakan es krim yang dibelinya tadi. Karena Leon tidak punya pilihan, ia pun turut duduk di samping Eli dan ikut memakan es krim pemberian gadis itu.

Kedua orang itu kini diam membisu karena sibuk memakan es krim masing-masing. Namun situasi itu tak bertahan lama ketika Eli memulai obrolan.

"Leon?"

"Ya?"

"Aku punya teman yang sekarang sedang dilema karena masalahnya sendiri."

"Apa?"

"Dia kan punya kakak tiri, dan dia memiliki perasaan lebih kepadanya."

"Lalu?"

"Apa yang harus dia lakukan sekarang? melupakan perasaannya atau tetap menyukai kakak tirinya?"

Leon tersenyum. "Kalau aku sih, tetap menyukai kakak tirinya."

"Kok begitu?"

"Kenapa kau kaget? itukan yang jawaban yang kau harapkan?"

"Leon--"

"Eli, jika temanmu tahu jika perasaannya salah, maka dari awal dia akan berhenti."

"Ya, dia tidak bisa berhenti karena terlalu menyukai kakaknya." jawab Eli.

Leon menahan senyumnya ketika melihat pipi Eli yang terlihat memerah. Ia tahu jika yang diceritakan Eli ini bukanlah temannya, melainkan dirinya sendiri.

Ia pun melihat layar ponselnya yang sudah menyala sejak tadi. Dan tanpa sepengetahuan Eli, ia sudah menghubungi William agar pria itu mendengar sendiri perasaan gadis itu kepadanya yang selama ini ia tutup-tutupi.

Untung saja William tidak banyak mengomel dan paham, hingga akhirnya tiba-tiba pria itu muncul di taman itu.

"Leon, kenapa kau melamun?"

"Tidak apa-apa." jawabnya santai.

"Eli?!"

Eli membeku di tempatnya setelah namanya dipanggil seseorang. Apa dirinya tidak salah dengar dengan suara barusan?

"Eli? berbaliklah." ujar Leon memberitahu.

Eli menggelengkan kepalanya. "Kenapa? apakah ada hantu di belakangku?"

Leon sontak terbahak. "Benar, bukankah aku tadi memberitahumu jika hantu itu akan muncul jika hari berubah gelap?"

"Bisakah kita lari sekarang?"

"Kau tidak akan bisa lari dariku, Eli!" ucap William berdiri menjulang di depan Eli.

"Aku mendengar semuanya kalau kau menyukaiku sejak dulu."

Mata Eli membulat. "Bagaimana bisa?"

"Maafkan aku, Eli. Pasti William mendengarnya saat aku menghubunginya tadi."

"Bukankah aku tadi bilang jika yang kumaksud itu temanku?" elak Eli. "Kak Wil, ini tentang temanku bukannya aku sendiri."

William tidak mendengarkan elakkan Eli dan malah menarik tangan gadis itu agar mengikutinya.

"Ayo pulang."

Eli menolak dan meminta bantuan kepada Leon, namun sialnya pria itu malah angkat tangan tidak mau ikut campur dengan urusannya.

"Kak Wil, tapi aku masih ingin disini."

"Tidak, pokoknya kau harus pulang dan menceritakan semuanya."

Ish, Leon sialan.