webnovel

Elegi Duka

Mentari Chamissya Damayanti tak pernah menyangka kalau pernikahannya bersama Adi Surya Dimitri nyatanya tak berjalan sesuai dengan apa yang dia harapkan selama ini. Surya seakan dengan sengaja membangun tembok pemisah yang akan sulit untuk Mentari robohkan. Mampukah Mentari bertahan dengan sikap dingin nan angkuh sang suami? Apakah Mentari bisa sepenuhnya bertahta di hati lelaki yang telah berikrar sehidup semati dengannya di hadapan penghulu? IG Author: @cerita.alwa

ALWA1196 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
202 Chs

Rangga Bamantara

Gita sejatinya adalah anak yang tak memiliki sifat neko-neko yang tinggi, sepertinya sifat Alika tersebut tidaklah menurun pada dirinya saat ini. Gita memang mencintai Badai, sangat cinta malahan. Namun, Gita juga tidak mau memaksakan kehendak untuk menikah sekarang dengan pria tersebut. Sesiap Badai saja. 

 

Dalam menentukan pasangan wanita hanya akan dihadapkan oleh dua pilihan. Pertama, menunggu pria yang dia sayangi melamarnya. Dan yang kedua, menerima pinangan lelaki yang serius dengannya. Untuk kasus Gita kali ini, dia akan memilih pilihan yang pertama.

 

"Sagita Ariyani, tahukah kamu? Satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk menjadi istriku adalah kamu. Karena, syarat pernikahan yang langgeng adalah jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama. Will you marry me?" 

 

Jika tadi orang-orang dibuat terperangah kala mendengar niat Surya untuk melamar Mentari, maka lain halnya dengan kala mendengar lamaran Badai untuk Gita yang humoris tapi masih ada unsur romantis di dalamnya. 

 

"Gita gimana sayang?" tanya Aisyah. Wanita paruh baya tersebut seakan sedang lupa kalau beberapa waktu yang lalu dia sempat mendaratkan sebelah telapak tangannya di pipi wanita yang notabenenya adalah calon menantunya itu.

 

Anehnya Gita justru membawa pandangannya ke arah sang papa. Tentu saja hal tersebut membuat semua orang bertanya-tanya apakah maksud dari tatapan Gita pada sang papa. 

 

"Yang mau dilamar itu kamu, tapi kenapa kamu lihatnya ke papa?" tanya Rangga dengan nada yang dibuat setegar mungkin. Tidak ada yang mengenali Rangga sebaik yang dilakukan oleh Alika. Dia tahu bahkan sangat tahu kalau pria yang telah menemani hidupnya tersebut selama puluhan tahun silam sedang terguncang hatinya. 

 

Papa adalah satu-satunya lelaki di dunia ini yang cintanya tulus terhadap kita, anak perempuannya. Yang tak pernah meminta kita untuk menjadi yang paling cantik, yang tak pernah meminta kita untuk diet agar menjadi kurus, yang paling ngotot kita untuk menutup rapat aurat kita, yang paling bahagia ketika anak perempuannya tidak berdandan, yang paling sayang dengan kita walaupun kita gendut. 

 

Papa, satu-satunya lelaki di dunia ini yang paling cemburu ketika anak perempuannya dekat dengan lelaki yang bukan muhrimnya, yang paling sedih ketika kelak anak perempuannya dinikahkan, yang paling hancur hatinya ketika beliau harus menyerahkan anak perempuannya kepada lelaki yang asing baginya. 

 

Papa adalah satu-satunya lelaki yang menyadari kelak anak perempuannya tidak lagi mengabdi padanya. 

 

"Bismillah … aku siap, Kak." Jawaban yang diberikan oleh Gita membuat semua orang bisa bernapas lega. Tapi tidak dengan Rangga yang harus melepaskan dua anak gadisnya di saat yang bersamaan. 

 

Aneh memang, seharusnya Rangga mengkhawatirkan Gita yang notabenenya adalah anak kandungnya, tapi justru mengkhawatirkan Mentari yang hanya keponakannya anak dari almarhum kakaknya. 

 

Gita akan menikah dengan pria yang mencintainya, sedangkan Mentari kebalikannya. Jadi ketakutan Rangga bukanlah tanpa alasan. Mentari memang darah dagingnya, namun dalam diri Rangga dan Mentari mengalir darah yang sama. Darah keluarga Bamantara. 

 

"Gerhana, Badai," panggil Rangga dengan nada yang berat. Seperti ada beban yang sangat berat di kedua pundaknya. 

 

"Iya, Pa," jawab kedua kakak beradik itu dengan kompaknya. 

 

Rangga sedikit memberi jeda untuk melanjutkan ucapannya. Entah kenapa seperti ada rasa sakit yang kini membakar sukmanya juga melemahkan daksanya. 

 

"Kalian tahu apa yang bisa dipegang oleh lelaki?" Baik Surya maupun Badai kompak terdiam bukan karena tidak tahu jawabannya tapi mereka tahu kalau saat ini Rangga akan memberikan mereka nasihat tentang ilmu peromansaan. 

 

"Yang dipegang oleh lelaki adalah kata-katanya."

"Lelaki yang dipegang lidahnya yang terwujud dalam komitmen dan keseriusannya mengikat interaksinya melibatkan Allah. Dan ingatlah godaan terbesar untuk lelaki adalah wanita, juga fitnah akhir zaman adalah wanita. Jangan kamu rusaki perasaannya." 

 

"Merusaki wanita bukan hanya menyakiti si dia, tapi juga memburamkan masa depannya. Memburukkan jalan ke jannah-Nya. Jadi mari menjadi laki-laki yang sejatinya lelaki. yang berani pegang janji. Selalu terikat pada peraturan Ilahi untuk menikahi sepenuh hati."

 

Tidak ada angin, hujan, apalagi topan Mentari dan Gita langsung berhambur masuk ke dalam dekapan Rangga yang berada di tengah-tengah mereka sedari tadi. Siapapun yang melihat ini pasti akan ikut meneteskan air mata mereka. Surya saja yang sedari tadi bersifat dingin, tak tersentuh oleh apapun ikut meneteskan air mata. 

 

Kata-kata yang tadi terucap oleh calon mertuanya itu sungguh menembus masuk ke dalam relung terdalam hatinya. Surya memejamkan kedua manik matanya, merasakan kehadiran sang adik yang kini telah berada di dimensi berbeda dengannya. 

 

Dia akan berusaha untuk mencintai Mentari, meski kecil kemungkinan untuk dia akan berusaha untuk memaksimalkannya. Untuk masalah Yana, akan dia pikirkan nanti. 

 

"Perlu papa ketahui satu hal, papa tetaplah raja di hatiku dan juga Gita."

 

"Iya, Nak." Rangga kemudian melabuhkan kecupan di kening Mentari juga Gita secara bergantian. Siapapun yang melihat ini pasti akan mengira kalau Mentari dan Gita adalah saudara kandung. Karena kedekatan mereka tak ubahnya saudara kandung, bahkan lebih. Wajah mereka pun hampir mirip untuk selevel sepupu. 

 

Setelah momen penuh haru itu berakhir kini giliran Dimitri yang mengambil alih suasana. 

 

"Mentari. Gita, kalian ingin mahar apa dari Gerhana juga Badai?" tanya Dimitri dengan raut wajah serius. 

 

Mentari dan Gita saling memandang satu sama lain. Pertanyaan yang diberikan oleh Dimitri sungguh sangat dadakan untuk mereka. Atau lebih tepatnya Gita yang tahu kalau malam ini dia juga ikut ketiban durian runtuh.

 

Bersambung ….