webnovel

Jealous

Ada beberapa hal yang tak akan bisa diulang kembali,

salah satunya waktu...

By : Author

Sudah 3 minggu ini Casta mengurus rumah kursusnya dan ia sangat bahagia. Banyak lukisan buatannya yang sudah terpampang di kaca dan dinding. Dan dari semua lukisan, ia paling suka lukisan wajah Damario. Damario. Mengingat nama itu membuat pipi Casta merona. Tiga minggu lalu ia yakin sedang tidur di sini. Tapi ketika ia bangun, ia berada dikamar.

Meskipun tidak mengatakan apa-apa, Casta yakin Damariolah yang membawanya kembali ke rumah. Mungkin itu hal kecil bagi orang lain tapi itu sesuatu yang luar biasa ketika seorang Damario yang melakukannya.

Hari ini, Casta berencana mengunjungi perusahaan Damario setelah ia melakukan check up dirumah sakit. Ia sudah memiliki sedikit uang untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya berkat rumah kursus pemberian Damario.

"Kenapa kau tidak datang 3 minggu lalu nona?" tanya dokter Andreas dengan cemas.

"Aku terlalu sibuk hingga tak punya waktu kemari." Tentu saja Casta berbohong.

"Bagaimana keputusanmu? Apakau ingin melakukan operasi?"

Casta menggelengkan kapalanya dengan yakin.

"Semuanya akan baik-baik saja dokter. Baiklah aku harus pergi. Sampai jumpa".

Setelah berada diluar, perhatian casta teralih pada secarik kertas yang tadi diserahkan dokter Andreas. Sejujurnya Casta takut tapi apalah daya dirinya yang hanya menggantungkan hidup pada Damario. Biaya operasi sangat mahal dan casta tak mungkin memperoleh uang sebanyak itu. Akhirnya ia memilih untuk membiarkan rasa sakit yang terus mengusik tidurnya.

Ia memutuskan untuk mampir ditaman. Air matanya perlahan menetes. Ia ingin melampiaskan kesedihannya disini agar tak ada orang dirumah yang curiga. Rasa sakit itu kembali terasa di kepala dan perutnya. Ia harus kuat. Bukankah ayahnya mendidiknya menjadi seorang wanita tangguh? Berbagai masalah berhasil ia lalui dan kini ia menangis hanya karena rasa sakit ditubuhnya?

"Damario tunggu aku!" suara itu terdengar jelas membuat Casta mendongak dan mencari sumber suara. Pandangannya bertemu dengan Damario. Jarak mereka hanya 5 meter. Pria itu memperhatikan secarik kertas ditangan Casta. Sadar bahwa Damario sedang memperhatikan kertas itu, Casta segera memasukannya di tas. Baru saja ia hendak menghampirinya, seorang wanita cantik memeluk paksa lengannya dengan wajah cemberut.

"Ku kira kau di kantor." Casta berusaha tersenyum walaupun pria itu hanya menatap datar padanya.

Damario mengalihkan pandangannya dan memasuki mobilnya. Casta baru menyadari kalau itu mobil Damario.

"Damario, bisakah aku menumpang denganmu? Eh maksudku kalian. Aku ingin mengunjungi perusahaanmu."

Pria itu masuk ke mobil dan membiarkan wanita tadi duduk disampingnya. Ia terdiam beberapa saat dan Casta paham. Damario mengizinkannya.

10 menit kemudian mereka memasuki perusahaan besar itu. Casta sangat mengagumi desain gedung itu. kentara sekali bergaya arsitektur. Selama menuju ruangan Damario, Casta disuguhkan dengan pemandangan menyakitkan. Didepannya, wanita itu terus bergelayut manja di lengan Damario. Tidak tahukah ia bahwa wanita yang berdiri dibelakangnya adalah istri Damario? Ah benar. Damario bahkan tak ingin mengatakan pada siapapun bahwa ia sudah menikah.

Sesampainya diruangan CEO, Carlos kebingungan dengan tingkah Casta yang tampak biasa saja melihat suaminya dekat dengan wanita lain. Ia memandangi Casta dengan heran yang dibalas dengan senyum paksa wanita itu.

"Bisakah aku duduk disini?"

"Ah tentu saja nyonya. Tapi kenapa anda tidak duduk bersama tuan saja didalam?"

"Sepertinya aku hanya akan menjadi penganggu jika ada didalam."

Carlos menatap nanar wajah Casta. Ia tak pernah menyangka ada wanita setulus dan sebaik Casta.

"Tuan sangat beruntung memiliki anda." Casta menyunggingkan senyum manisnya.

Hampir satu jam Casta dan Carlos menunggu Damario dan wanita tadi. Sampai tiba-tiba seorang pemuda yang tak kalah tampan menggebrak meja Carlos. Wajahnya merah menahan geram.

"Dimana Stefani?"

"Anda siapa tuan?"

"Aku? Aku kekasih Stefani. Aku tahu dia sedang bersama dengan bos mu."

"Maaf bos sedang sibuk dan anda tidak diperbolehkan masuk."

"Masa bodoh dengan kesibukannya itu."

Dengan keras pria itu mendobrak pintu ruangan Damario dan mendapati kekasihnya sedang berpangku sambil berciuman dengan Damario. Merasa khawatir dengan sikap pria itu, Casta pun ikut masuk.

"Brengsek." Pria itu menghantam wajah Damario dengan keras membuatnya terjatuh.

"Damario!" Casta mendekatinya dan membantunya berdiri.

"Damario jangan melukainya. Kesehatanmu lebih penting." Pria itu menepis tangan Casta yang berusaha mencegahnya. Ia mendekati Sandro dan membalas pukulannnya dengan sangat keras membuat pria itu terjatuh.

"Tidak!!! Hentikan!!!" Casta mencoba melerai perkelahian tersebut dan dengan kasar Damario mendorongnya hingga mengenai meja kaca di sudut ruangan. Sandro yang menyadari hal itu segera menghampiri Casta dengan ekspresi ketakutan. Sementara Casta yang tiba-tiba terbentur meja itu merasa sakit yang luar biasa dikepalanya. Ia mencoba berdiri tetapi tubuhnya terlalu lemah ditambah rasa sakit yang tiba-tiba menghantam perutnya.

"Aku akan membawamu kerumah sakit. Jangan paksakan dirimu!"

Casta masih berusaha menepis tangan Sandro yang berusaha menggendongnya akan tetapi pandangannya menjadi kabur. Ia tak sadarkan diri di pelukan Sandro.

.......

Casta mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya lampu yang begitu terang.

"Ah akhirnya kau sadar juga nona." Casta mencari sumber suara itu dan mendapati pria yang tadi berkelahi dengan Damario.

"Aku dimana?"

"kau ruang kesehatan nona. Kau masih di perusahaan Damario."

"Dimana dia?"

"Dia ada dikantor."

"Bersama wanita tadi?"

"Maksudmu Stefani? Ah tidak. Wanita jalang itu sudah pergi. Lagi pula aku sudah memutuskan hubungan dengannya."

"Terimakasih sudah menolongku."

"Kau tidak perlu berterimakasih karena aku salah satu penyebab kau mengalami ini. Ah namaku Sandro Alesius. Dan namamu?"

"Casta".

Sandro tersenyum lembut sambil memandangi wanita itu.

"Ah nona Casta aku harus pergi karena banyak pekerjaan dan aku harap kita akan bertemu lagi."

Casta mengikuti Sandro sampai kepintu. Ia terkejut mendapati Damario berdiri disamping pintu.

Sandro menatapnya sinis lalu beranjak sementara Casta memandangi wajah Damario ragu-ragu.

"Damario kau terluka. Kemarilah aku harus mengobatimu!"

Pria itu mendesis lalu beranjak. Casta menghela napas sambil mengikutinya. Ia membuka kasar pintu ruangannya dan menghempaskan dirinya di sofa. Casta membawa obat-obatan dan anti septik. Ia duduk disamping Damario. Tanpa menunggu perintah darinya, Casta menempelkan kapas yang sudah dicampur antiseptik di dahi Damario. Pria itu menepis tangan Casta.

"Damario, izinkan aku melakukan kewajibanku sebagai istri."

Pria itu membuka matanya dan melirik sebentar kemudian memejamkannya kembali. Casta mengerti gerak-gerik suaminya. Dengan sangat lembut ia mensterilkan luka Damario dan meneteskan obat.

"Rasanya agak perih tapi beberapa menit kemudian, mentolnya akan terasa." Ucap Casta sambil meniup pelan obat di dahi Damario. Merasakan tiupan yang sangat lembut, Damario membuka matanya sambil memperhatikan wajah istrinya. Casta menyadari tatapan suaminya lalu tersenyum lembut.

"Ada yang ingin kau tanyakan?" ucapnya sambil mengelus pipi Damario. Ia tahu jika suaminya memberi tatapan seperti itu, maka ada yang ingin ia tanyakan.

"Ah aku lupa kalau suamiku ini hemat bicara." Casta terkekeh melihat ekspresi Damario yang tiba-tiba berubah. Casta memandang wajah suaminya beberapa detik kemudian memeluknya.

"Bisakah aku melakukan ini pada suamiku? Aku tahu ada banyak pertanyaan dan dia pasti sangat marah padaku." Casta mengeratkan pelukannya ketika Damario tidak memberikan penolakan. Ia membenamkan wajahnya didada Damario dan tanpa sadar air matanya menetes. Wanita itu menangis dalam diam. Rasa kecewa, sakit hati, cemburu dan kesedihan menyatu dalam setiap tetes air matanya. Ia merasa sangat nyaman berada dipelukan suaminya. Ini pertama kalinya ia memeluk Damario.

Sementara Damario, ia merasa jijik dengan dirinya sendiri karena tidak mampu menolak pelukan wanita yang ia anggap murahan ini. Entah kenapa perasaan nyaman menyelimutinya ketika Casta memeluknya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu. Wanita ini menangis. Apakah wanita ini marah karena ia menghabiskan waktu dengan Stefani? Setelah beberapa menit memeluk suaminya, Casta melepaskan pelukannya dan mencoba untuk tersenyum.

"Kurasa aku harus kembali kerumah karena muridku pasti sudah datang." Casta mengecup pipi Damario lalu keluar.

Beberapa menit kemudian, pria itu memandangi istrinya dari atas. Disana, Casta terlihat sedang berusaha menghentikan taksi. Tiba-tiba, sebuah mobil yang sangat dikenalinya berhenti dan tampaklah Sandro keluar lalu mengobrol dengan Casta. Damario memandang datar kedua insan itu lalu bergegas meninggalkan ruangannya.

Casta terkejut ketika Damario dengan kasar menarik lengannya dan membawanya masuk ke mobil.

"Damario apa yang kau lakukan? Bukankah kau harus bekerja?"

Pria itu menatap sinis wajah Casta lalu menyetir mobilnya dengan sangat cepat meninggalkan Sandro yang melongo. Casta tahu suaminya sedang dalam suasana hati yang tidak baik.

"Damario pelan-pelan kau bisa membahayakan kita!" pria itu semakin mempercepat mobilnya.

"Damario apa yang terjadi denganmu? Hentikan!!!!"

Cittttttttt....

Damario menghentikan mobilnya tiba-tiba membuat kepala Casta terbentur mobil. Ia merasakan sakit kembali tapi ia pura-pura tak merasakannya.

"Dasar wanita murahan.." dengan kasar Damario menarik tengkuk Casta dan menciumnya. Casta tak merasakan kelembutan disana. Justru ia merasa perih.

"Tidak.." ia mendorong pria itu dengan keras dan menyentuh sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah.

"Kenapa kau selalu melukaiku? Apa salahku? Berapa kali harus kubilang kalau aku bukan wanita seperti itu." Casta menitikkan air matanya lalu membuka pintu mobil. Tanpa menoleh, ia meninggalkan Damario yang menatapnya dengan datar.

"Dia bahkan tidak mencegahku. Ternyata aku memang tidak berharga sama sekali dimatanya." Casta berlari sambil sesenggukan. Sekuat apapun dia, fakta bahwa dia hanya manusia biasa tidak bisa dielakkan. Ia tetaplah seorang wanita yang mudah merasakan kesedihan.