webnovel

Ekonomedi Romantis

Selain tak ahli bersosialisasi, Kiki punya satu kekurangan fatal yang menyebabkannya tidak punya banyak teman—dia melihat kenyataan dengan kacamata penuh perhitungan. Mulai dari urusan uang saku hingga hubungan interpersonal, dia selalu menganalisisnya terlalu berlebihan. Sampai satu hari, datang seorang anak perempuan, yang sebetulnya merupakan teman sekelasnya, ingin mencurahkan perasaan tulus padanya. Bingung kenapa ada perempuan yang tertarik dengannya, entah bagaimana mereka berdua akhirnya memutuskan untuk mencoba kencan satu hari, walaupun Kiki bisa dibilang terpaksa melakukannya. Tak mau kehidupannya berakhir menjadi cerita komedi romantis, Kiki pun mengocok isi kepalanya untuk menggagalkan premis konyol itu, meski harus mengandalkan kemampuan analitis dan pendekatan tak biasa lainnya.

KirisakiMichiru · Real
Sin suficientes valoraciones
9 Chs

Amel Langkah | Part 4

Sepuluh kilometer kemudian…

Napas terengah-engah, keringat berkucuran, konsentrasi hilang seutuhnya.

Sayangnya, bukan Amel yang mengalaminya, melainkan aku! Sial, aku ditipu olehnya—aku diperdaya oleh rupa anggunnya. Kecantikannya membutakanku. Aku mestinya tahu perempuan itu tidak selamanya rapuh, atau punya keterbatasan fisik. Salah perhitungan—begitulah singkatnya.

Aku terlalu asyik sendiri dengan skenario yang kusimulasikan. Begitu asyiknya sampai teledor. Ternyata, aku benar-benar melakukan sesuatu yang ironis, sesuatu yang begitu salah Amel pun berhak murka padaku.

Ingat tadi Amel bilang punya kesibukan sendiri?

Tebak apa—atletik. Dia tergabung dalam ekskul itu di sekolahku.

Andai itu bukan ironis, aku tidak tahu apa itu.

"Hihihi! Hihihi," Amel terbahak-bahak melihat kondisiku.

"Yang… benar… aja. Lari? La-ri… trek?"

"Dari SD sebetulnya. Mulanya cuma ngikut lomba-lomba aja, sih. Mulai dari SMP, baru aku serius."

"Bo-doh! A-ku… aku… bodoh seka-ligus… payah!"

"Harusnya kamu sadar dari awal. Apa cuma kebetulan aku tiba duluan terus kepagian? Apa sehabis pulang, aku langsung tahu aku keliru? Enggak, pasti ada jedanya. Aku berlari pulang, berselang beberapa saat, baru bergegas kembali. Sambil lari juga."

Oh, begitu…

Keteledorannya sama sekali bukan teledor. Setidaknya, pada kedua bagian itu.

Sebut saja itu karakteristik khasnya, condong ingin terus berpacu. Ingin cepat-cepat bertemu denganku juga. Ah, makanya dia minta aku datang ke rumahnya? Supaya dia bisa secepatnya berjumpa denganku…

Lalu, bukankah mata telanjangku sendiri jadi saksinya? Langkah kaki Amel kian menderas, begitulah kuperhatikan. Dia bukan ingin jauh-jauh dariku, melainkan terbiasa memperbesar kelajuannya, derap kakinya tanpa sadar.

"Sudah kuduga. Kamu bakal ngecewain, Rocky…"

Tentu saja, aku belum tahu apakah salah menyebut namaku terhitung sebagai dampak dari hobi yang sama.

"Itu… itu gak—lucu," susah payah kutanggapi Amel, terbata-bata.

Kalau begini, lagi-lagi aku dikejutkan olehnya, bukan sebaliknya. Kejutanku untuknya adalah aku sendiri yang mengecewakannya—dengan sengaja.

Tak langsung, tapi sengaja. Oleh tanganku sendiri, bukan oleh yang lain, oleh takdir, atau oleh kebetulan semata.

"Waktu kamu ngusulin buat jalan seterusnya, kukira kamu udah tahu apa itu artinya."

"Kamu… sendiri… pe-rempuan… macam apa… yang—gak letih…"

"Makanya sayangi tubuhmu! Rutin jaga badanmu—jangan terlalu bertumpu pada otak. Harus ada keseimbangan."

Aku ingin sekali sependapat dengannya, namun jangan lupa ini semua juga tak bisa lepas darinya. Aku begini, karena dia juga. Jika dia perempuan normal berpola pikir lebih suka berada di dalam ruangan, pasti aku tidak perlu menanggung malu.

"Hihi, buat seorang yang merhatiin banyak hal, kamu ternyata bisa kecolongan juga," Amel menunjukkan fakta tak mengenakkan. "Tapi, ini sekaligus ngebuktiin kamu gak salah berhati-hati."

"Apa… lagi—itu?"

"Gak ngasih jawaban langsung—itu siasatmu. Iya, kan?"

"Oh, itu…"

"Yah, kamu betul sekali. Kita sama sekali gak cocok. Dan bukan itu aja, kenyataannya aku juga udah salah ngenilai kamu."

Menilaiku? Soal apa?

Ah, mungkin dia mengutip dirinya sendiri? Sebelumnya, Amel bilang dia ragu aku akan datang. Curiga aku mungkin ingkar janji, tak yakin aku akan memenuhi undangannya, takut akan kenyataan yang tak diinginkannya.

Dan, oleh sebab itu, kesimpulan pun terburu-buru diambil olehnya.

Terlanjur kecewa—hingga memantik kerisauan di hatinya.

"Aku kecewa sama diriku sendiri—terus kamu juga ngecewain. Itu dua hal saling gak bersangkutan, sih, tapi tetap aja. Benar-benar impas, hihi. Kiki…"

"A-apa, A-mel?"

Selain masih tertatih-tatih, aku pun tak menduga Amel akan memanggil namaku untuk kedua kalinya. Namaku yang, syukurlah, sempurna diejanya.

"Aku mau minta maaf. Rasanya aku terlalu lancang—atau terlalu sok akrab, menurut kamusmu."

"Sok akrab… Aku yang—"

"Enggak, ini bukan salahmu sendiri. Itu kekeliruanku juga," Amel mengoreksiku.

Kekeliruan—bukan kata yang kuprediksi keluar dari mulutnya.

Namun, bukan juga ujaran yang perlu dikritisi.

"Untuk sekarang, akan kuprioritaskan jadi temanmu dulu."

"Benarkah?"

"Ya. Nampaknya kamu perlu diberi pelajaran," tembak Amel, acak.

"Lho, kesalahanku apa?"

"Semua ini pasti jadi senjata makan tuan akibat ulahmu sendiri, betul kan?"

"Apa, kamu masih nyalahin aku? Begitu?"

"Tadi kan udah kubilang. Sejauh ini, kamu itu ngecewain."

"..."

"Tapi—kamu gak bikin aku kecewa." Entah mengapa Amel memutarbalikkan kata-katanya sendiri, lalu mengulitiku secara verbal, "Ini cuma akan kejadian kalau kamu belum pernah hang out bareng temanmu sebelumnya. Wajar sih, kamu kan gak punya teman. Makanya, aku bakal jadi sukarelawan buat ngasih kamu gambaran seorang teman."

"Apa-apaan itu!"

Uh, kenapa dia harus merusak ini semua usai memberiku seberkas harapan. Bukan harapan, sebetulnya, hanya sedikit kejelasan—tentang hubungan kami berdua ke depannya. Syukurlah, nampaknya aku hanya akan jadi temannya saja.

"Dan, aku juga bakal ngebantu mencarikanmu teman."

"Kamu juga mengasihani aku?!"

"Ah, jangan salah paham. Aku bukan lagi nyatain misi ambisius seperti mencarikan seratus teman buatmu. Aku gak sehebat itu."

"Siapa juga minta," tangkisku.

"Nah, habis itu—setelah kamu bisa berteman sendiri, sudah nyaman dan terbiasa, barulah aku mulai bergerak," dia kembali mengabaikanku.

"Seram! Kok, aku merasa sedang diancam olehmu?!"

Rupanya, aku masih belum aman. Amel—masih mengincarku!

"Senang bisa membantu."

"Woy!"

"Gak ngos-ngosan lagi?"

Kini dia memadamkan kekesalanku begitu saja, seolah rasa jengkelku tak lebih dari api sebuah lilin. Mungkin ini maksudnya tak dikecewakan olehku. Buktinya, dia masih cukup perhatian.

"Betul juga… Aku udah oke."

Setelah sepuluh menit beristirahat sejenak, aku merasa sudah terisi kembali. Bukan kembali sempurna seperti semula, melainkan pulih secukupnya. Jalan-jalan hari ini belum berakhir sampai di sini.

"Ngomong-ngomong, buat seorang yang gak sering nongkrong, pilihanmu ini mencengangkanku. Bahkan, walaupun pada akhirnya kamu terhuyung-huyung, aku masih tetap kaget ngelihat tempat yang kita datangi."

Lokasi yang kamu tuju ini, imbuhnya.

Apa itu artinya aku berhasil memberinya kejutan? Mungkin lebih baik lagi, apa aku mengejutkannya dua kali berturut-turut?

"Kenapa itu? Apa kamu pikir kita akan pergi ke tempat membosankan?"

"Ya dan enggak. Maksudku, tempat ini begitu biasa-biasa aja, aku dijamin muak dan minta segera pulang bila bukan kamu yang ngajak aku. Ini seperti mendengarmu pergi ke bioskop dua kali karena gak bisa ngajak siapa-siapa walau mengantongi dua tiket gratis. Sebagai yang mendengar, aku kasihan padamu."

"Kesepian sekali orang itu! Oh, maksudmu itu aku?!"

"Tapi, ya, untuk itulah aku bersedia ngebantu kamu."

"Bisa gak kamu ngulurin tangan aja, gak usah pakai nyindir-nyindir?!"

Telah menilaiku pulih seratus persen, Amel pun tancap gas bermain-main kata demi menyinggungku. Atau, sedang bermain-main saja dengan perasaanku.

Kami berdiri di teras sebuah gedung, menyenderkan punggung kami pada dinding di sebelah pintu masuk. Kuakui, rasanya kurang tepat menjadikan beranda gedung itu sebagai tempat singgah walau cuma sementara.

Ini bukan teras minimarket, perlu kuingatkan. Aku pun berubah pikiran di pertengahan jalan, karena aku tidak mau Amel menganggapku bodoh. Bayangkan saja, untuk apa jalan sepuluh kilometer jika hendak pergi ke toko swalayan saja?

Menyadari itu, aku pun sedikit mengubah ruteku—menggeser lokasinya ke sini.

Ke—pusat perbelanjaan.

"Mall—kukira kamu benci tempat kayak begini…"

"Jangan terlalu cepat nebak seleraku! Kamu sendiri bilang belum tahu apa-apa soalku," kukutip perkataannya di muka.

"Benar juga. Aku harusnya nganut asas praduga tak bersalah."

"..."

Jenaka—sekaligus menghibur.

Setidaknya begitulah Amel dari sudut pandang pengamat orang ketiga. Sayangnya, aku terkunci sebagai objek pelampiasannya, ehem, lawakannya.

"Tunggu apa lagi—ayo kita masuk! Aku mungkin terbiasa ngeluarin banyak energi, tapi bukan berarti aku gak ngerasa lapar."

"Oh, kita langsung makan, nih?"

"Iya—gak lucu juga kalau kamu nanti pingsan. Lebih baik sedia payung sebelum hujan!"

Sampai sini, dia masih menganggap ini semua salahku.

Namun, pada saat yang sama, dia tak mau bilang dia telah dikecewakan olehku. Amel mengklaim aku cuma akan mengecewakan orang lain selain dia. Aku sama sekali tidak mengerti apa maksudnya itu.

Mungkin dia sungguh-sungguh soal filosofi 'perjalanannya yang penting, bukan yang lain'.

Setelah berkeliling satu putaran di lantai pertama, Amel pun kembali memaksaku untuk menentukan pilihan. Tak punya rencana soal itu, aku akhirnya membawa Amel ke restoran terdekat dari posisiku berdiri. Kuhindari makanan cepat saji, untuk jaga-jaga.

Dari situ, barulah segalanya berjalan lancar. Atau berjalan layaknya kencan pada umumnya. Ehem, mungkin lebih tepat menyebutnya nongkrong atau mampir untuk makan sebentar daripada kencan, sebab sama sekali tidak tercium unsur romantis dari atmosfirnya. Begitu normal hingga tak ada seorang pun akan mengira kami sedang berkencan. Kami mungkin nampak seperti kakak beradik yang nyaris seumuran.

"Gimana?"

"Gimana?!"

Apa kamu bisa bertahan sampai hari ini selesai?"

Amel mengeluarkan pertanyaan yang terdengar bagaikan adegan film.

Oh, mungkin tidak. Mungkin itu benar-benar dicomotnya dari takarir film-film barat. Kalau tidak salah, ungkapan itu bahkan sering muncul di mana-mana.

"Jangan bilang seolah aku ini berada pada ujung tanduk! Aku cuma kecapaian—makan begini sudah pasti cukup sampai malam nanti."

"Oh, baguslah. Tadinya, semisal benar kamu akhirnya pingsan, aku mau sekalian bawa kamu pulang ke rumahku. Kencan ini rasanya kurang maksimal, jadi aku mau ngelanjutin ini pakai rencana nginap di rumahku," khayal Amel.

"Amel, menginap kan—"

"Atau mau sebaliknya? Aku nginap di rumahmu? Mana aja boleh. Lagian, memang kamu yang nentuin semua susunan acaranya. Hihi."

"Ide buruk! Lebih baik aku terus menyendiri daripada ngajak kamu ke rumahku!"

"Eh, ayolah, aku kan temanmu sekarang…" protes Amel.

"Bukan begitu sikap seorang teman!"

"Jadi, kamu ngelarang temanmu sendiri mampir ke rumahmu? Itu maksudmu? Aku udah minta kamu main ke rumahku, tapi kamu tolak—paling tidak, gantian sekarang."

"Kalau kubilang enggak, ya enggak," tandasku.

"Pelit! Untuk apa aku berteman sama kamu, kalau begitu?!"

"Oh, jadi itu yang sebenarnya kamu incar!"

"Bercanda lagi, bercanda. Apa kamu pikir aku serius? Lihat—kamu memang punya gejala akut kekurangan teman."

"Sekarang itu penyakit?!"

Aku sempat lega Amel bersedia mengurungkan permintaanya. Ditambah lagi, dia pun berubah haluan dan ingin berteman denganku dulu, meski dia lakukan itu semua setelah mengolok-olok keringkihanku.

Namun, sekali lagi, dia mengungkit-ungkit sesuatu yang mengingkari janjinya di muka—yaitu bersedia membantuku bersosialisasi. Tidak, bukan sekedar mengungkit, melainkan bertingkah kontradiktif. Atau dalam kamus awam, sekedar kurang ajar.

Mengesampingkan perasaanku, seharusnya Amel lebih bersimpati padaku mengingat dia sendiri telah berikrar menjadi temanku.

Di mana letak dukungannya sebagai teman?

"Oh ya, Amel. Mau pergi ke mana lagi kita? Kamu bilang aku mestinya nentuin semuanya—tapi aku cuma mikirin pergi sampai sini aja. Dari sini, aku belum kepikiran apa-apa."

Amel refleks mengangkat tangannya, menutupi mukanya sambil menggelengkan kepalanya perlahan. Dari ekspresinya, dia nampak frustasi.

Frustasi? Kukira dia telah menyangkalnya?

Atau ini berbeda—aku baru mengecewakannya pada saat ini juga?

Selain mengejutkannya kedua kali, kini aku mengecewakannya? Apa ini setimpal?

Amel berteriak, "Kiki—dasar bodoh!"

"Apa… ada apa?!"

"Jangan pernah sekali pun bilang begitu… Apalagi sama perempuan," Amel memperingatiku tanpa menerangkan konteksnya.

"Uh, apa salahku? Maaf, aku masih gak ngerti," balasku, seratus persen jujur.

"Hm, tadinya aku gak sungguh-sungguh bilang kamu itu antisosial."

"Mau serius, mau enggak, perasaanku tetap aja terpengaruh!"

"Hihi. Itulah teman, mereka saling menghina, tapi gak pernah tersinggung," seloroh Amel.

"Kenapa seolah kamu ini berteman denganku hanya untuk manfaatin hal-hal kayak begitu?"

"Habis, kalau aku pacarmu, dan bilang sesuatu yang nyakitin perasaanmu, bukannya itu berisiko, ya?"

"Logika tak terbantahkan…"

"Aku gak mau mutusin kamu gara-gara itu."

"Lho, kamu yang mutusin?!"

"Tenanglah, Kitkat… Kita ini teman, ingat? Bukan sepasang kekasih," gurau Amel.

Kurasa, di mana pun kami berada, di perjalanan menuju kemari atau di tempat tujuan, serta sedang apa pun kami, Amel tetap saja akan bicara melebar begini.

Daripada bilang ini terkait dengan latar belakangnya, bukankah ini salah satu kecenderungannya saja? Gaya bahasa bukan sesuatu yang dipengaruhi oleh pola aktifitas seseorang.

Dengan logika yang sama, dapat disimpulkan Amel benar-benar salah memanggil namaku. Entah itu atau tidak punya niatan sama sekali.

"Ah, jadi ke mana-mana kan!"

"Siapa yang ngomongnya berkelok-kelok?! Itu salahmu sendiri," timpalku.

"Kembali lagi, jangan bertindak seolah kamu itu gak peka."

"Kurang peka—kurang peka apanya?"

"Haduh," Amel pun akhirnya berkeluh kesah. "Belum kepikiran apa-apa—itu sama aja bilang 'Terserah kamu aja, deh. Aku gak peduli.'"

"Sesignifikan itu, ya…"

"Ya, sesepele itu."

"Uh, tunggu, apa?"

"Buatku itu cukup penting, tapi terlewat olehmu. Ingat, kamu kurang bergaul, kan? Kurang pekanya kamu itu bukan kejutan," ujar Amel.

"Oh, terima kasih, A—yang terakhir itu gak perlu!"

Sama seperti efek samping kegemarannya berlari trek, mustahil untuk memastikan keabsahan pernyataannya. Lagi pula, sesuatu semacam ini biasanya sekedar preferensi seseorang saja. Amel boleh tidak keberatan dipanggil namanya begitu saja, namun bukan berarti dia akan mengangguk selamanya.

Dengan kata lain, aku bukan kurang peka, melainkan Amel terlalu peka. Kepekaan kami saling bertentangan, sebut saja perasaan kami nyaris tak miliki kesamaan apa-apa. Tidak cocok, seperti yang dikatakannya tadi.

"Terus aku harus apa? Jujur, setiap kali aku ke mall begini, aku cuma datang buat belanja ke supermarket aja. Kamu udah tahu, aku bukan tipe yang menyantap di tempat, apalagi bersantai di kafe atau bersenang-senang ke game center."

"Saat ragu, pilih acak!"

"Wah, solusi spektakuler! Bukan! Kamu sendiri—perempuan kan punya seleranya sendiri, mana mungkin aku tahu soal itu."

"Simpel, jangan coba untuk cari tahu," cetus Amel, berlagak pandai.

"Hah, itu kan—"

Kontradiktif, aku ingin bilang begitu. Namun, aku pun memilih restoran tempat kami makan juga tanpa pikir panjang. Mungkin, aku cuma merasa tidak enak saja. Membuat pilihan acak terasa seperti curang, atau bahkan ceroboh.

Kembali lagi, bila tindakanku dianggapnya kurang pantas, maka mungkin saja cara tersebut memang lebih baik. Atau lebih peka…

Tak sabar menunggu, Amel pun serampangan mendahuluiku, "Kamu ini. Kutanya lagi, apa pendapatku soal acara hari ini?"

"Uh, kamu… gak kecewa?"

"Bukan, sebelum itu."

"Hehe, aku lupa," aku pun angkat tangan.

'Perjalanannya yang penting, bukan prosesnya', kutipnya kembali. Amel menukil kalimatnya sendiri. Atau berdasarkan konteksnya, dapat diparafrase menjadi, 'Kepekaanlah yang penting, bukan toko atau kedai atau kiosnya'.

"Oke. Tapi, minimal, boleh kasih aku saran? Nanti aku urus sisanya."

"Es krim," dia mengatakannya tanpa bimbang terlebih dulu.

Dia ini anak kecil atau apa?