Hanna memegang sudut bibirnya yang terasa sangat perih. Dia menatap Edgar dengan mata berkaca-kaca.
"Aku benci kamu!" teriak Hanna.
"Benci saja aku sepuas yang kamu mau, tapi bukannya kamu sangat mencintai aku?" tanya Edgar dengan senyum mengejek.
"Kenapa kamu tega sama aku? Apa salah aku?" tanya Hanna.
Edgar mendekati Hanna hingga dia bisa merasakan deru napas perempuan itu yang sudah tidak teratur.
"Salah kamu itu adalah terlalu percaya pada pria yang kamu saja tidak tahu latar belakangnya apa," kata Edgar.
Edgar mensejajarkan tingginya dengan Hanna. Dia melihat perempuan itu ingin menendang kakinya langsung menghindar.
"Lepaskan aku!" teriak Hanna saat merasakan tangan kekar Edgar melingkar di pinggangnya.
"Jangan bermimpi," balas Edgar.
Edgar menarik tubuh Hanna hingga tubuh mereka tidak memiliki jarak sama sekali. Dia meminta Hanna untuk tetap tenang dan menurut jika tidak mau disakiti.
"Edgar, apa mau kamu?" tanya Hanna.
"Sayang, sihir apa yang kamu berikan pada aku hingga aku menjadi seperti ini? Aku sangat yakin aku hanya penasaran sama kamu, jika sudah tidak penasaran pasti aku sudah membuang kamu," kata Edgar.
Hanna memohon agar dilepaskan saja, tapi pria itu justru mencengkram wajahnya hingga dia berdiri.
"Edgar, sakit!" teriak Hanna sambil menampar pria itu.
Edgar hanya terkekeh. Dia mendorong tubuh Hanna hingga terlentang di ranjang, lalu dia mengambil sesuatu dari laci.
"Jangan!" teriak Hanna.
Hanna bergerak mundur, tapi kakinya mendadak ditarik dan diikat oleh Edgar.
"Tolong saya!" teriak Hanna.
"Sayang, tidak akan ada orang yang mendengar suara merdu kamu. Tempat ini sangat jauh dari perkotaan," balas Edgar.
Edgar menyeret Hanna hingga terjatuh ke lantai lalu membawanya ke depan pintu balkon yang sudah dikunci dan digembok.
"Lihat, di sana tidak ada siapa pun," kata Edgar.
Hanna melirik ke luar jendela hingga dia dapat melihat bahwa di bawah sana hanya ada pepohonan yang sangat rindang.
"Edgar, apa pun yang kamu mau akan aku berikan asal kamu membebaskan aku," mohon Hanna.
"Aku hanya mau kamu," bisik Edgar di telinga Hanna.
"Aku sudah bersama kamu, tapi aku tidak mau di sini," balas Hanna memalingkan wajahnya.
Hanna berusaha melepaskan diri dari pelukan Edgar, tapi tidak bisa. Tenaga dia tidak sebanding dengan pria itu.
"Sayang, duduk manis di sini saja. Aku mau angkat telepon dulu," kata Edgar saat mendengar suara ponselnya berbunyi.
Edgar mendorong Hanna hingga terduduk di lantai. Dia lalu mengangkat telepon dari papanya di luar.
"Papa, aku sudah melakukan rencana awal aku," kata Edgar.
"Bagus, segera buat dia tunduk sama kamu dan bisa dipekerjakan di klub kita," balas Oscar dengan tawa yang sangat mengerikan.
Hanna melihat pintu kamar terbuka menatap ke arah pisau yang ada di atas meja. Dia mengambilnya lalu menggesekan pisau itu ke tali yang mengikat kakinya.
"Berhasil," gumam Hanna saat melihat tali itu sudah terputus.
Hanna berjalan dengan pelan menuju pintu. Dia melihat Edgar masih sibuk menelepon seseorang mengambil sebuah vas yang ada di meja lalu melemparkannya pada Edgar.
"Hanna, jangan lari!" teriak Edgar sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
Hanna terus berlari tanpa peduli dengan Edgar yang terus meneriaki dia dan juga para pengawal yang mengejarnya.
"Nona jangan berani melawan. Mencari jalan keluar di tempat ini sama aja dengan mencari jarum di tumpukan jerami," kata Tobi.
Hanna tetap berlari hingga dia berhasil menemukan pintu keluar, tapi mendadak dia berhenti saat melihat ada anjing yang menghalangi jalannya. Dia sangat takut dengan anjing.
"Apakah kamu mau dimakan sama anjing?" tanya Edgar yang baru saja sampai di hadapan Hanna.
"Aku membenci kamu. Aku tidak mau ada di sini!" teriak Hanna.
Suara anjing menggema di halaman rumah itu membuat Hanna ketakutan.
"Keluar saja dari sini kalau berani," kata Edgar tersenyum licik.
Hanna bergerak mundur saat merasakan seekor anjing menggigit gaun tidur tipisnya. Dia berlutut di hadapan Edgar sambil menangis tersedu-sedu.
"Gadisku sangat nakal, kamu harus kembali ke kamar sebelum aku melakukan hal lebih di hadapan semua orang," kata Edgar.
"Edgar, sakit!" teriak Hanna saat merasakan Edgar menjambaknya.
Edgar menarik Hanna kembali ke kamarnya tanpa peduli dengan suara perempuan itu yang terus meminta tolong dilepaskan.
"Sekarang kamu harus menerima hukuman dari aku," kata Edgar ketika mereka sudah sampai di kamar.
Mata Hanna seketika melotot saat mendengar suara ikat pinggang dilepaskan.
"Sakit!" teriak Hanna.
Hanna menangis tersedu-sedu ketika tali pinggang berbahan dasar kulit itu mengenai bongkahan bulat miliknya.
"Aku minta kamu menurut," kata Edgar.
Edgar mendengar suara tangisan Hanna makin kencang menarik perempuan itu ke dekapannya.
"Jangan menangis, aku ada di sini," kata Edgar membelai lembut punggung Hanna.
Edgar mendengar Hanna yang meringis kesakitan memeluk perempuan itu.
"Sakitnya akan hilang. Aku akan mengambil obat, jangan berusaha kabur lagi dari aku," balas Edgar.
Hanna hanya diam saja saat melihat Edgar mengambil obat untuknya.
"Sakit," kata Hanna.
"Aku akan pelan-pelan," balas Edgar.
Hanna sesekali meringis kesakitan saat kapas yang sudah diberikan obat merah mulai menyentuh kulitnya.
"Apa salah aku hingga kamu tega melakukan ini pada aku?" tanya Hanna dengan mata berkaca-kaca.
Edgar menatap Hanna dengan tatapan nanar.
"Kesalahan kamu adalah saat bertemu dengan aku," jawab Edgar.
Edgar yang sudah selesai mengobati Hanna mendadak tangannya digenggam perempuan itu. Mata mereka saling bertatapan membuat Edgar seketika melemah.
"Apakah kamu tidak mencintai aku?" tanya Hanna.
"Cinta? Tidak ada cinta di dunia ini, Hanna. Hal itu hanya sebuah ilusi saja," jawab Edgar.
Hanna menitikkan air matanya. Dia tidak menyangka pria yang selalu dia puji ternyata tidak tulus mencintainya.
"Kenapa kamu begini?" tanya Hanna.
"Hanna, jangan membuat aku marah. Ini sudah malam, lebih baik kamu istirahat," balas Edgar.
"Aku khawatir sama keluargaku," kata Hanna.
"Aku akan mengurus semuanya," balas Edgar.
Edgar mengeluarkan ponsel Hanna yang ada di saku celananya. Dia meminta perempuan itu untuk mengirimkan pesan pada keluarganya.
"Aku tidak mau. Aku mau menelepon mereka," kata Hanna.
"Kamu harus menuruti semua yang aku minta atau aku akan menghabiskan semua keluarga kamu," balas Edgar dengan wajah datar.
"Kamu egois!" teriak Hanna.
"Aku tidak peduli semua yang kamu katakan," balas Edgar.
Edgar melihat Hanna hanya diam saja melempar ponsel itu tepat di hadapan perempuan itu.
"Apa kamu mau pengirim pesan?" tanya Edgar.
Hanna terisak. Perlahan dia menganggukkan kepala. Dia tidak mau keluarganya dilenyapkan hanya karena dia.
"Pintar," kata Edgar.
Hanna memegang ponselnya. Dia langsung mengirimkan pesan ke keluarganya.