Kuperhatikan Josh yang sibuk memberi makan ikan emas di kolam belakang rumah. Dia duduk di atas batu pembatas dan melemparkan roti-roti kering dalam potongan kecil untuk diperebutkan ikan-ikan kesayangannya. Kulangkahkan kakiku menuju ayunan, beberapa meter di sebelah barat, Josh memunggungiku disana. Engsel ayunan berdecit ketika kupijakkan kakiku di atasnya, membuat Josh tercuri perhatiannya dan dia langsung menoleh ke arahku. Kusambut senyuman manisnya dengan cara yang sama diiringi lambaian tangan. Untuk beberapa saat, Josh memperhatikanku tapi kemudian beralih lagi ke ikan-ikan emas di dalam kolam. Senyumanku lenyap dan perlahan berubah menjadi kesinisan.
Aku benci dia. Josh Drew Payton yang kini menjadi Josh Drew Schoonhoven, kombinasi nama dan marga teraneh yang pernah kudengar. Entah bagaimana semburan kebencian ini bisa menyeruak di hatiku. Tak kurasakan prosesnya namun kini setiap kali kulihat dia, hanya ada satu tujuan yang ingin segera kucapai. Membuatnya menderita. Aku ingin dia merasakan apa yang kurasakan, ingin dia menebus semua waktu yang dia nikmati bersama Tuan Schoonhoven yang seharusnya menjadi milikku. Aku benci dia bisa mendapatkan semua yang seharusnya menjadi hakku. Atau mungkin, jangan-jangan Tuan Schoonhoven sengaja meninggalkan dan membuangku serta ibu karena tergoda oleh ibunya Josh?
"Ikannya bertambah satu Maudy!" seru Josh, dia mengejutkanku. Kualihkan pandanganku padanya yang memunggungiku, fokus memperhatikan ikan-ikan kesayangannya.
"Kemarilah," Kini dia menoleh, wajah cerianya begitu manis untuk dilihat, wajah yang selalu berhasil menyejukkan hatiku tapi tidak hari ini. Hanya ada benci mendesak setiap kali kulihat dia.
"Kau tidak tertarik ya?" tanyanya murung ketika dengan bermalas-malasan kulangkahkan kaki menghampirinya.
"Mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Terlihat dari wajahmu, maaf kalau aku mengganggumu," Lirih dia berbicara, diakhiri seulas senyuman. Josh kembali mengalihkan perhatian ke ikan-ikan, meremas sepotong roti kering untuk dia taburkan ke kolam. Ikan-ikan bergerak ke permukaan, berebut roti hingga menimbulkan riak-riak air.
"Maudy bolehkah aku bertanya?" Lembut suara Josh memecah keheningan, nada bicaranya selaras dengan suara air di kolam yang terkoyak.
"Apa aku menyakitimu?"
Segera kualihkan pandangan mataku pada Josh. Kami bertemu pandang, keteduhan mata coklatnya merasuk ke dalam diriku. Aku mampu melihat kejernihan hatinya, adanya ketulusan dari kata-kata yang diucapkannya.
"Menyakitiku?" kuulangi pertanyaannya.
"Beberapa hari ini kau bersikap dingin padaku, Maudy. Wajar bukan jika aku bertanya seperti ini? Maafkan aku jika aku melakukan kesalahan. Katakan padaku apa itu dan aku akan mencoba untuk berubah,"
Apakah jika kukatakan aku membencinya dia bisa mengubah hatiku? Membuatku mampu mencintainya lagi tanpa ada kebencian yang mengiringi rasa itu? Jika kukatakan aku iri padanya yang diangkat dan diperlakukan layaknya anak kandung oleh ayahku, apa dia mau kembali ke masa lalu dan mengembalikan semuanya kepadaku? Jika aku ingin dia lenyap dari dunia dan membiarkanku menjadi anak ayahku, apakah dia rela melakukannya?
"Aku hanya sedang memikirkan beberapa hal," kukatakan fakta umum tentangku tanpa membahas lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak mau membohonginya dan juga tidak terlalu gila untuk mengatakan kebenaran kepadanya.
"Mungkin kau bisa melupakan semuanya ketika berlibur nanti," Ujar Josh lembut sembari membelai rambut panjangku, "sayang mama tidak bisa ikut, padahal aku berencana untuk mengatakan hubungan kita kepada orang tuaku,"
"Josh," refleks kuraih tangannya yang menyentuh rambutku, kutatap dia penuh arti. Apa dia sedang melawak? Membongkar hubungannya denganku? Seberapa besar keyakinan dan keberaniannya sampai berpikir untuk bertindak sangat jauh?
"Kau serius?"
"Apa aku terlihat bermain-main?" Dia menggenggam tanganku, menatap manik mata biru safirku lekat-lekat seolah tak ingin melewatkanku sedetik pun,
"Bukankah dulu kau ingin aku untuk melakukannya? Aku hanya ingin memberikan apa yang kau minta, lagipula aku juga ingin kita lebih dari ini. Aku ingin kau tahu kalau aku benar-benar serius. Dulu kubilang pada Piet bahwa aku akan mengatakan hubungan kita jika sudah kutemukan waktu yang tepat. Aku sudah menemukannya dan akan kutepati kata-kata untukmu pada Piet,"
Sama sekali tak kutemukan keraguan dari sinar mata Josh. Dia jujur, tulus dan serius, tak ada sedikit pun kebohongan yang tersirat dari rangkaian kata-katanya. Sejenak waktu terasa berhenti, membiarkanku semakin larut dalam segala pemikiranku sendiri. Andaikan bisa kuulang waktu, tak akan kubiarkan hati ini berubah, tak akan kubiarkan gelombang dendam ini menenggelamkan cintaku padanya. Tapi, semua terlambat Josh, aku benci dia dan keberadaannya. Hatiku selalu mendesak agar dia memberikan posisinya padaku, otakku selalu mencari cara supaya aku bisa mendapatkan semua yang telah dia ambil. Bagaimanapun caranya lukaku harus terbalaskan . Sejauh ini, hanya dialah jalan untuk kubisa mendapatkan dan mencapai semuanya, hanya Josh.
"Jadi apa kau siap untuk mendapat kata ya dari papa?" Entah darimana datangnya, kuputuskan untuk mengangguk lemah dan memberikan senyuman kepadanya.
Kepada siapa harus kubagi kegalauan yang menderaku? Aku seperti sudah kehilangan diriku sendiri, dan ini membuatku frustasi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Berpindah dari satu ruangan ke ruangan di rumah ini awalnya kukira akan sedikit mampu untuk membuat pikiranku jernih tetapi ternyata semua bertolak belakang. Panas mendesak dada, amarah membuncah dan menuntut untuk diluapkan setiap kali mataku mendapati foto serta lukisan keluarga ini, Josh bersama Tuan Schoonhoven dalam dekapan penuh kasih sayang yang tak perlu diganggu gugat dan itu tidak mungkin untuk kudapatkan jika Josh tetap disini.
Bagaimana caranya? Aku sudah tidak tahan lagi hidup seperti ini. Tidak masalah Tuan Schoonhoven tahu kebenaran diriku atau tidak, yang kuinginkan hanyalah perlakuan Tuan Schoonhoven padaku dan ibu sebelas tahun lalu, waktu-waktu yang dia lewatkan, dan semua kesengsaraan ini terbayarkan semua. Tuan Schoonhoven harus merasakan kepedihan yang kurasakan, merasakan sakit hati dan betapa sulitnya hidupku selama ini. Selain itu, aku juga ingin merasakan kasih sayangnya sebagai ayah kandungku, aku ingin tahu seperti apa rasa bahagia ketika aku berada di dalam dekapan seorang ayah.
Awalnya aku sempat berniat untuk berbagi cerita kepada Piet. Serdadu muda itu adalah satu-satunya orang yang kupercaya sekarang tetapi jika mengingat masalah ini, aku ragu untuk mengatakan kepadanya. Bercerita kepada Piet mungkin hanya akan menambah masalah.
"Hanya ini saja nona? Atau ada baju lain?" Suara Bu Darmi membuyarkan lamunanku. Kuperhatikan wanita berusia lanjut dengan rambut bersanggul yang sedang memasukkan pakaianku ke dalam kopor untuk dibawa pergi berlibur ke villa.
Masih berada di posisi berdiri di dekat jendela kamar, hanya sejenak kuperhatikan dia kemudian kulirik kopor kulitku yang hampir penuh.
"Tidak ada," jawabku datar, kualihkan penglihatanku keluar jendela lagi.
"Baiklah nona, saya bawa dulu kopor ini ke mobil. Permisi," Ucap Bu Darmi ramah dan sopan kemudian kudengar derap langkah kaki rentanya perlahan lenyap dan menyisakan keheningan dalam diriku.
Lenyap. Mungkin jika Josh tidak ada, dengan posisiku sekarang, aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan selama ini. Tuan Schoonhoven mempercayaiku, menyayangiku seperti anaknya meskipun pada dasarnya aku memang darah dagingnya. Jika Josh tidak ada dan aku tetap disini, Mavrouw tidak bisa memiliki anak, jadi apa yang bisa menghalangiku untuk mencapai keinginanku. Menjadi anaknya sekaligus membuatnya merasakan seperti apa sakit kehilangan orang yang sangat dia sayangi. Kusunggingkan senyuman miring di wajahku lalu kututup tirai kamarku, beranjak dari kamar.
***
Kuperhatikan jajaran pohon jati di sisi kiri jalan bergerak mundur melawah arah mobil yang aku, Josh, Tuan Schoonhoven serta Pak Dibyo, bujangnya Tuan Schoonhoven. Kami terus bergerak, nampak pintu gerbang kediaman keluarga Schoonhoven menciut ketika kulihat dari kaca spion mobil.
"Kau mau coklat Maudy?" Tawar Josh, dia membuatku mengalihkan perhatian kepadanya yang duduk di sampingku. Kami duduk di kursi belakang sementara Tuan Schoonhoven di kursi depan bersama Pak Dibyo yang mengemudi.
"Tidak akan membuatmu gemuk kok," terang Josh, disodorkannya sebuah kotak berisi coklat berbentuk bola-bola, "dan ini enak, manis," imbuhnya lagi sembari memasukkan sebutir coklat ke dalam mulutnya.
"Gemuk pun aku akan tetap lebih manis daripada coklat ini,"
Josh terkekeh mendengar kalimat balasanku, kuambil sebutir coklat dari kotak dan memakannya. Butir coklat pertama disusul butir-butir coklat berikutnya. Manisnya begitu menggigit dan benar apa yang dikatakan Josh, coklat ini enak.
"Bibirmu kotor," reflek kubersihkan sisa coklat di ujung bibir Josh, bersamaan dengan saat Josh hendak membersihkannya sendiri. Tangan kami bersentuhan dan aku terpaku dalam keteduhan mata coklat keemasannya. Sejuk merasuk dalam hatiku sama seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya. Tidak! Tidak bisa seperti ini, hilangkan dan berpura-puralah. Kedamaian sebenarnya akan menjemput beberapa saat lagi. Dekat dan hanya menunggu untuk digapai.
Ketika kugerakkan lenganku, Josh bergegas menarik tangannya. Dia melirik waspada ke arah Tuan Schoonhoven yang tertidur di kursi depan kemudian kembali melihat ke arahku, tersenyum malu-malu hingga pipi putihnya merona. Tuhan bagaimana mungkin aku bisa sangat membenci laki-laki yang awalnya sangat kusayangi lebih dari apapun? Kukatupkan bibirku rapat-rapat dan kutarik sedikit ke atas. Berusaha memberikan senyuman terbaikku sebagai balasan dari senyum mempesonanya.
Sepanjang perjalanan kami terdiam, kelengangan menguasai waktu dan membuatnya terasa berjalan lambat. Hawa dingin menyergap ketika jalan mulai menanjak, jalan terjal berbatu menggantikan aspal hitam. Kebun sayur terhampar di sisi kiri dan kanan jalan, tanah berbukit dengan sawah bersengkedan. Air mengalir dari sudut sawah, dari atas ke bawah. Beberapa petani turun membawa sekeranjang penuh sayur di punggung mereka. Dudukku selalu tak nyaman ketika mobil melewati bongkahan batu di jalan tanah yang lembab.
Roda mobil berhenti berputar. Mobil yang kami tumpangi dan dikemudikan Pak Dibyo parkir di halaman luas berumput hijau sebuah villa bergaya jawa kuno dengan aksen rumah panggung dan keseluruhan komponennya terbuat dari kayu berukir. Kubuka pintu mobil bersama-sama dengan Josh yang keluar dari pintu lain. Kurapatkan garbadin putihku ketika sepoi angin berhembus dari lembah bukit. Senyum merekah di bibirku ketika kusapukan pandanganku ke sekeliling. Tempat yang indah, rumput nan hijau terhampar sejauh mata memandang dengan bunga-bunga kuning kecil yang menyembul menambah kontras panorama. Pepohonan berjajar rapi sepanjang jalan di depan villa. Kulayangkan pandanganku ke sisi kanan villa, nampak perkebunan yang kami lewati, hijau permai dan mempesona, sengkedannya meliuk-meliuk di perbukitan.
"Tempat yang indah," gumamku kecil,
"Ayo masuk Maudy," tanganku digandeng lembut oleh Josh. Dia tersenyum ketika kami bertemu pandang. Apakah dia tidak bisa tidak tersenyum?
Berhentilah membuatku bimbang Josh. Aku takut dan aku tidak mau hatiku yang telah mengeras secara fantastis, perlahan-lahan melunak untuk kemudian menyiksaku lagi. Aku tidak mau hidup dalam kesendirian dan kesakitan setiap kali aku melihat Tuan Schoonhoven memberi Josh pelukan, ciuman, belaian kasih sayang yang seharusnya menjadi milikku. Aku tidak memiliki cara lain lagi. Hanya ada satu dan harus kulakukan. Aku kejam, dan dunia lebih kejam, memang harus ada yang dikorbankan dalam hidup ini.
Hari pertama liburan yang buruk. Hujan mengguyur secara secara tiba-tiba satu jam setelah kami menginjakkan kaki di villa. Akhirnya kami urungkan niat untuk pergi berjalan-jalan keliling kebun di sebelah timur villa, kebun sayur milik Tuan Schoonhoven yang kuyakini hasil rampasan atau mungkin juga hasil membodohi para pribumi. Memang, para meneer selalu mendapatkan harta dengan cara seperti itu. Dingin semakin menusuk dan memaksaku untuk duduk di depan perapian di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh hangat racikan seorang pembantu di villa. Aku tidak tahu Josh sedang apa sementara Tuan Schoonhoven tadi berpamitan untuk tidur.
Berlibur selama satu minggu bersama Tuan Schoonhoven dan Josh di sebuah villa di daerah sepi. Aku memiliki banyak peluang untuk melakukan hal yang kuinginkan. Jika hujan terus mengguyur sampai besok pagi, nanti malam ketika semua orang terlelap di dinginnya malam, aku akan membekap Josh untuk kemudian mengikatnya di pohon di tengah hutan. Josh itu penyakitan, aku yakin dia tidak bisa bertahan lama dalam hujan tapi apa iya dia akan mati?
Kugenggam erat cangkir tehku supaya kehangatannya merasuk ke dalam diriku dan mampu menjernihkan pikiranku. Apa yang baru saja kupikirkan? Rencana gila macam apa tadi itu? Aku bukan seorang pembunuh dan jika aku memang harus menjadi pembunuh, kenapa harus Josh? Tidak! Aku tidak boleh melakukan itu, pasti ada cara lain supaya Tuan Schoonhoven menderita. Membunuh Josh adalah pemikiran terburuk yang pernah melintas di otakku.
Aku mencintai Josh, senyuman manisnya selalu menyejukkan hatiku, keteduhan sinar mata coklat keemasaannya selalu membuatku nyaman. Dia memberiku cinta yang indah, memberiku kebahagiaan. Josh harus tetap ada di sisiku seperti hatinya yang telah terpaut di hatiku. Kau harus menemukan cara lain Maudy, cara lain tanpa perlu kehilangan Josh. Tapi apa?
Seseorang memelukku dari belakang dan membuatku terkejut, untung saja aku masih bisa mengendalikan diriku jadi cangkir di tanganku bisa kukontrol dan aku tidak perlu berteriak histeris seperti orang gila. Napas hangatnya menggelitik telingaku. Kulirikkan mataku ke belakang dan kudapati wajah manis Josh yang dia sandarkan di atas bahuku.
"Apa yang kaulakukan?" Tanyaku padanya yang memejamkan mata, nyaman sekali dia berada di bahuku, wajahnya terlihat sangat manis. Inilah kebahagiaan Josh yang ingin kujaga. Aku ingin dia terus bahagia.
"Josh kau baik?" kuimbuhkan satu pertanyaan lain ketika kurasakan tangannya yang menyentuh punggung tanganku terasa begitu dingin. Apa dia sakit lagi?
"Aku baik, aku orang yang sangat baik," Jawaban yang bodoh untuk melucu. Aku tidak suka dia sebaik ini padaku.
"Josh," geramku,
"Baiklah, tubuhku terasa aneh," Akhirnya dia mengaku. Tubuhnya terasa aneh? Apakah dia akan mati tanpa perlu kubunh? Dia mati dengan sendirinya? Tangan Josh dingin, sedingin es. Akan terdengar baik jika Tuhan mendahuluiku dan aku tidak perlu menjadi seorang pembunuh yang bahagia.
"Kau sakit?" tanyaku lembut, aku berharap dia menjawab iya dan mengaku dia merasa seperti akan mati, maka aku akan mengamininya.
Tidak! Apa yang baru saja terlintas tadi itu. Bukankah tadi aku ingin Josh bahagia? Josh adalah kebahagiaanku dan aku adalah kebahagiaan Josh. "Aku akan melakukan apapun supaya kau bahagia. Apapun itu asal kau bahagia Maudy, aku juga akan bahagia," kalimat yang pernah Josh ucapkan dulu kembali terngiang di telingaku.
Aku adalah kebahagiaannya Josh. Dia akan bahagia jika aku bahagia, dan aku akan bahagia jika dia juga bahagia. Bukankah hal yang mungkin akan bisa menjadi kebahagiaanku adalah jika kudapatkan Tuan Schoonhoven sebagai ayahku sekaligus membuat ayah angkat Josh itu menderita? Josh akan bahagia karena aku bahagia, aku akan membuang dia dan bahagia. Jadi dia juga akan bahagia bukan?
"Aku akan lebih baik jika kau berada di dekatku," ungkap Josh sembari melepaskan pelukannya padaku kemudian beralih duduk di sampingku. Membutuhkan beberapa detik sampai akhirnya dia menarik napas lembut sebelum dia kembali berbicara, "Maudy, apa kau tidak suka jika kukatakan semua ini pada papa?" pertanyaan Josh memicu munculnya kegusaran dalam hatiku. Harus kujawab dengan kata apa? Aku sendiri masih diliputi kekalutan yang terus membuatku bingung harus berbuat apa.
"Kalau kau tidak mau, aku tidak akan melakukannya. Tapi kumohon katakan padaku apa alasannya. Apa kau takut dan belum siap? Kau tidak percaya padaku, begitukah Maudy?"
Sejurus kualihkan pandanganku pada Josh yang fokus pada jilatan-jilatan lidah api di tungku perapian. Bagaimana dan kenapa Josh berpikiran seperti itu? Apa sikapku berubah dan dia menyadarinya? Mencurigaiku? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Sejenak kemudian dia menatapku, mata coklat keemasaan itu membiaskan kilat-lilat merah api perapian di depan kami. Mata itu menuntut jawaban dariku,
"atau kau punya alasan lain?" imbuhnya lagi. Kutundukkan sedikit pandanganku, tak mau terlalu lama bertahan di sorot mata yang selalu berhasil melumpuhkanku.
"Maudy katakan sesuatu," Josh kembali mendesak dengan suara paraunya.
Apa harus kukatakan kalau aku ingin melenyapkannya dari muka bumi ini? Menyingkirkannya untuk mendapatkan hal yang kuinginkan selama ini? Apakah dia akan terkejut jika kukatakan hal itu? Lalu dia mencabut pisau untuk membunuh dirinya sendiri karena dia terlalu kasihan padaku atau prihatin pada dirinya sendiri yang mencintai gadis sepertiku?
"Tanganmu dingin Josh," kugenggam tangan kanannya, "minumlah," kusodorkan secangkir tehku kepadanya tapi dia sama sekali tak menyambut.
"Maudy," geramnya mulai jengkel kepadaku.
"Aku berlibur kesini untuk menikmati hariku bersamamu," akhirnya kutemukan sebuah cara untuk mengalihkan topik pembicaraan ini, membuat jawaban berupa kamuflase yang menyentuh hati,
"Aku merasa kita berada di situasi yang sangat jauh berbeda dengan saat pertama kita bertemu. Aku tidak mau terus terjebak dalam kebahagiaan statis seperti ini Josh. Aku ingin kita kembali seperti dulu. Tertawa dan bahagia bersama, bukan bertanya apa kau baik-baik saja, apa kau marah padaku, kenapa kau bersikap aneh serta pertanyaan lain yang seolah-olah kita tidak saling memahami. Aku tidak suka seperti ini Josh. Cukup dengan aku tidak memiliki ayah dan ibu dan aku tinggal bersama kalian. Aku ingin semua tetap sama. Aku ingin menjadi Maudy dan kau menjadi Josh yang mengenalku dan kukenal," Sejurus Josh menarikku ke dalam pelukan hangatnya, tepat di saat kalimatku terhenti dan tak kumiliki lagi persediaan kata di otakku. Aku bahkan tak tahu apa yang sudah kukatakan.
Josh mengeratkan pelukan lengannya di balik punggungku, membuatku begitu larut hingga membalas pelukannya. Petir di luar sana menyambar dan membuat ruangan remang-remang kami menerang dalam hitungan detik.
"Aku mencintaimu," Bisik Josh tepat di telingaku, suara seraknya begitu lirih dan sedikit tersendat,
"Aku mencintaimu," sekali lagi dia mengatakannya dengan ketulusan yang begitu jelas kudengar.
Apa yang bisa kukatakan? Aku tidak mau terus seperti ini. Aku sudah tidak tahan dengan kebimbangan yang bergejolak di hatiku. Josh, apa yang bisa kulakukan jika aku tetap berada di sampingmu? Aku tidak bisa hidup dan menghabiskan waktu dengan napas kebencian tak terbalas seperti ini. Harus ada penyelesaian dan kau adalah penyelesaian terbaiknya Josh. Aku ingin mendapatkan kebahagiaan, bukankah kau akan bahagia jika aku bahagia? Aku tahu jawabannya iya, meskipun kau tak mengatakannya.
***