webnovel

Bab 7

Biarkan akoe berpegang pada hatimoe

Dalam genggaman lemboet jang koeat

Sembari menanti hari baroe oentoek kaoe dan akoe

Menikmati sedjoeknja oedara berhemboes dari boekit beraroma kopi

Hangatnja mentari sendja

Bertjahaja, temaram jang menenangkan

Bersamamoe, bersamamoe, bersamamoe

Selalu bersamamoe

Aku tersenyum geli ketika membaca bagian awal dari surat Josh. Sebuah puisi manis yang dia ukir di atas kertas putih. Tulisan tegak bersambungnya tidak serapi biasanya, ada banyak coretan tinta disana-sini meskipun begitu sama sekali tidak mengurangi rasa sukaku terhadap kata-kata yang telah dia rangkai. Kuakui, surat yang kertasnya sudah lecek karena ulahku sendiri tadi telah berhasil sedikit mengurangi panas di hatiku. Aku menjilat ludahku sendiri.

Hai Maudy, maaf atas kata-kata bodoh di atas. Sekali lagi maaf karena akoe soeka mengirimimoe kalimat menggelikan. Akoe memang boekan orang jang coekoep pandai menjoesoen kata-kata. Koeharap kaoe paham maksoedkoe menoelis semoea ini adalah karena akoe menjajangimoe.

Kubaca lagi lanjutan suratnya. Diterangi sinar lampu listrik yang membuat mataku leluasa untuk mengamati bentuk-bentuk tulisan Josh yang kuanggap unik.

Sebenarnja koeboeat soerat ini oentoek meminta maaf karena akoe haroes pergi dengan papa. Tak bisa koekatakan alasannja padamoe dan koeharap kaoe tidak menanjakannya saat akoe poelang nanti.

Akoe tahoe kaoe pasti marah dan ingin membakar kertas konjol ini. Tapi, koeharap kaoe maoe membatjanja sampai selesai. Maudy, akoe tidak bisa mengatakan kapan akoe poelang. Koeharap djangan marah, koemohon batjalah sampai selesai.

Kukerutkan keningku, surat macam apa ini? Dia terlalu banyak meminta maaf dan menunjukkan betapa dia dihinggapi rasa takut karena rasa bersalahnya. Josh, aku tidak dapat membayangkan betapa lucunya wajahnya saat menulis semua ini. Dia pasti sangat gugup sampai ada begitu banyak coretan di suratnya.

Sebenarnja akoe djoega tidak menghendaki akoe pergi, tapi keadaan memaksakoe dan akoe tak poenja pilihan lain. Semoga semoeanja berdjalan dengan baik dan akoe bisa poelang tjepat laloe menemoeimoe. Djudjur, sekarang sadja akoe soedah sangat merindoekanmoe. Kalaoe akoe bisa, akoe ingin kaoe bisa ikoet bersamakoe. Di sampingkoe oentoek mendjalani semoea ini.Maudy, akoe menjajangimoe.

Selesai, aku selesai membaca semua rangkaian kata-kata yang disusun Josh. Apa-apaan ini? Di suratnya, dia menyuruhku supaya tidak menanyakan apa pun padanya ketika dia pulang nanti. Tapi, pada kenyataannya, setiap pilihan kata dalam suratnya justru membuatku bertanya-tanya. Dia orang yang pandai membuat rahasia, menyimpan rahasia dan dia adalah orang yang paling menarik perhatian orang lain supaya berusaha mengorek semua tentangnya.

"Seharusnya ayah menuruti kata-kataku sejak dulu. Jangan pernah percaya pada rambut-rambut pirang itu!" Suara Kak Rusli dari ruang tengah mengusikku. Sepertinya pembicaraan ayah, ibu dan Kak Rusli mulai memanas. Tadi, aku memilih mengurung diri di kamar dan membaca surat dari Josh karena tidak mau mendengar apalagi terlibat dalam topik berat itu. Tapi, pada akhirnya aku harus mendengarnya juga. Heh, seandainya aku tuli untuk saat-saat seperti ini saja.

"Sekarang ayah lihat sendirikan? Kita hanya mendapat masalah, sudah kuduga semua ini sejak si Wilhem itu datang dengan senyum palsunya. Setiap permasalahan yang terjadi pasti akan dijatuhkn kepada kita. Lagipula apa yang ayah dapatkan?"

"Kita mendapatkan keuntungan dari panen dan juga memberikan pekerjaan kepada warga. Untuk apa kau perumit masalah kecil ini?"

"Ayah, kapan ayah bisa paham semua ini?"

Dari cara bicara Kak Rusli, aku tahu bahwa dia mulai frustasi. Mungkin sekarang dia sedang mengacak-acak rambutnya. Sejauh dari yang kudengar, sepertinya pembicaraan antar ayah dan Kak Rusli tidak akan selesai meskipun dilanjutkan sampai matahari terbit esok hari sekalipun.

Jika aku diperbolehkan untuk angkat bicara dalam perdebatan antara ayah dan Kak Rusli, maka aku akan memilih berada di pihak ayah. Menurutku tidak ada yang salah dari kerjasama antara ayah dan pemerintah Belanda ini.

"Ayah ditipu!" suara Kak Rusli kembali melengking, memaksaku untuk mendengarnya terlebih dulu sebelum kukatakan pendapatku dalam hatiku sendiri dan untuk diriku sendiri, "Berapa golden yang ayah dapat? Apa ayah tahu berapa besar keuntungan mereka? Dan apa ayah pikir para pekerja itu mendapatkan hak mereka secara layak? Ayah,"

Dan bla-bla-bla alasan memuakkan yang diutarakan Kak Rusli, aku sudah hafal benar semua kalimat-kalimat itu dan aku sudah bosan mendengarnya untuk kesekian kalinya. Dia berbicara seperti orang gila yang kehilangan kendali, merasa bahwa dialah orang yang paling benar tanpa cela sedikitpun. Aku tahu dia pintar karena itu dia masuk di Stovia, tetapi sayang, dia tak pernah menggunakan kelebihannya itu setiap kali membicarakan orang-orang Belanda. Dia menanyakan berapa golden yang didapat ayah? Heh! Apa dia sedang menghitung berapa jumlah warisan yang akan didapatnya? Dia memikirkan apa pekerja itu mendapat penghasilan yang layak? Apa dia akan menanyai berapa gaji setiap pekerja di kebun tebu? Dan terakhir, dia membicarakan berapa banyak keuntungan yang didapat Belanda? Ayolah kak Rusli! Apa dia tidak melihat apa saja yang telah Belanda lakukan? Mereka membangun jalan, jembatan, irigasi, sekolah dan masih banyak lagi. Dia pikir dari mana datangnya uang-uang untuk itu semua?

"Kusarankan supaya sebaiknya kita putuskan hubungan saja dengan Belanda. Sudah cukup kita menghirup udara yang sama dengan mereka"

Kucengkram tepi meja belajar di hadapanku, dengan kuat hingga buku-buku jariku memutih. Napasku memberat seperti ada beban setiap kali aku menghirup oksigen. Tenggorokkanku seperti dicekat, membuat keadaan yang kurasa semakin tak karu-karuan. Seolah aku tak mampu berbicara sepatah kata pun karena pita suaraku terjepit di dalamnya.

Kulipat kertas surat dari Josh, menyelipkannya ke dalam salah satu buku di hadapanku, rapat-rapat seolah – olah aku menyembunyikan bangkai busuk. Aku tak mau Kak Rusli menemukan dan membaca surat itu, akan jadi masalah besar jika hal itu terjadi. Ada sedikit rasa syukur di hatiku atas kepergian Josh, kuharap dia akan kembali empat atau lima hari lagi ketika Kak Rusli sudah pergi ke Stovia lagi, jadi aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi mengingat keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertemu dengan Josh sementara aku masih belum mau menceritakan tentang Kak Rusli kepada Josh.

Kugeser kursiku ke belakang, aku berjalan menuju pintu sambil membawa korek api. Kuturunkan lampu minyak dari dinding lalu menyalakannya dan memasangnya lagi di tempat semula. Cahaya redup , lampu lampu listrik di atas kepalaku telah kumatikan. Kini yang ada adalah cahaya temaram , kemerah-merahan berbentuk kerucut yang bergoyang-goyang terusik angin malam yang berhembus sepoi-sepoi. Cahaya api kecil dari lampu minyak yang selalu berhasil memberikan sedikit perasaan tenang pada diriku. Kuseret kakiku, melangkah menuju ranjangku dan meringkuk seperti anak kucing kedinginan disana.

Aku sangat berharap malam ini adalah mimpi. Kurasa aku sudah berbaring disini cukup lama. Berjam-jam. Dari celah pintu yang gelap, aku sudah tahu bahwa pembicaraan di ruang tengah telah selesai, entah apa keputusannya. Malam semakin larut tapi mataku tak mau kupejamkan. Malam yang berbeda , ada yang aneh dari suasana ini. Bukan, bukan karena instingku yang kuat tapi karena memang ada yang aneh. Sejurus kutarik diriku dari ranjang tidurku.

Bayangan gelap di jalan gelap. Langkah santai tiga pasang kaki bersepatu, membuat tanah di bawahnya berderak. Dari pakaian dan cara berjalannya, aku hafal benar, aku tahu mereka adalah serdadu Belanda. Selama aku tinggal disini, baru sekali ini aku melihat serdadu Belanda berkeliaran malam-malam dengan berseragam lengkap. Bahkan seorang diantara mereka membawa senjata. Ada apa ini? Apa ini ada hubungannya dengan kejadian di kebun tebu? Perlahan kurapatkan lagi jendela kayu yang kubuka sedikit untuk mengintip sumber suara yang tadi mengusikku.