webnovel

Bab 4

Aku melenggang, melewati jalanan sore yang teduh dan sejuk. Sesekali aku melompat dan berputar, memainkan rokku yang lebar. Senyuman terkembang di sudut bibirku tak pernah lenyap sepanjang perjalananku menuju rumah.Kuharap tak ada orang yang berpapasan denganku atau memperhatikanku. Aku tak mau diteriaki orang gila.

Kupikir hari ini adalah hari terbaik yang pernah kurasakan. Josh memberikan hari-hari indah bagiku. Tak akan kulupakan saat dia berkata bahwa dia menyayangiku, awalnya kuharap dia akan berkata lebih, seperti: "Apa kau mau menjadi gadisku," tapi ternyata tidak, kata-katanya sampai disana. Terhenti.

Meskipun begitu, aku sudah sangat bahagia, kata-katanya telah mampu memindahkan taman bunga dari halaman belakang rumahnya ke hatiku.Suatu hal yang mendadak terlintas di otakku, membuat langkahku melambat. Ibunya Josh, ada apa dengan wanita itu? Dia bukan sosok ibu yang baik menurutku. Caranya menatap Josh mengisyaratkan kebencian, nada bicaranya juga tidak menyenangkan. Josh sendiri nampak canggung dan berhati-hati ketika bertatap muka dengan ibunya. Satu pemikiran membuatku tersentak, tapi segera kulenyapkan hal bodoh itu dari otakku. Seiring dengan datangnya angin yang berhembus, kembali kuringankan langkahku.

***

Kejutan yang mengejutkan. Kurasa hari ini memang hari terbaikku. Sempat terbesit di benakku, apakah orang yang berdiri di ambang pintu dan menawarkan pelukan itu nyata atau hanya imajinasiku saja.

"Ibu! Kak Rusli pulang!" seruku penuh semangat. Kebahagiaan mengiringi langkahku yang berlari-lari kecil melintasi pendopo rumah kemudian melompat untuk menyambut pelukan hangat kakak laki-lakiku yang kurasa sekarang semakin kuat dan berotot, dia sedikit mengangkat tubuhku dalam pelukannya.

"Matamu semakin indah," pujinya sembari menurunkanku dan tersenyum ramah, menunjukkan barisan gigi putihnya yang rapi. Membuat senyumannya semakin menawan.

"Aku tahu aku cantik,"

"Aku bilang matamu indah, sama sekali tidak berkata kau cantik,"

"Terserah, tapi aku tahu aku cantik," aku tersenyum, berusaha menyaingi senyuman kakakku, "Tas kakak besar sekali. Banyak oleh-oleh untukku ya?" kualihkan perhatianku pada sebuah tas besar yang tergeletak di lantai sebelah kaki kanan Kak Rusli.

"Banyak buku untukmu," jawabnya seraya mengangkat tas itu dan melangkah masuk. Aku membuntutinya,berlari-lari kecil mengikuti langkah lebarnya.

"Aku tidak suka buku,"

"Tidak heran kalau kau bodoh," ledeknya, aku mendengus. Aku tidak suka dengan ejekannya, tidak pernah suka. Dia orang cukup menyebalkan kalau sudah berkehendak.

"Rusli anakku!" seruan dari ruang dalam menghentikan langkahku dan Kak Rusli.

Ibu datang, ini adalah hal lucu karena di usianya yang sudah separuh baya dan dia memakai kebaya. Ibu berlari-lari kecil menghampiri Kak Rusli, memeluk putranya yang sudah setahun lebih berada jauh dari rumah. Kakak membalas pelukan ibu ketika air mata perlahan luluh dari pelupuk mata ibu. Kubiarkan ibu dan kakakku saling melepas rindu, beralih ke dapur untuk mengambil minum yang baru saja disiapkan oleh bujang kami di dapur. Singkong rebus di atas meja turut serta kubawa.

Tak lama setelah aku, Kak Rusli dan ibu duduk di dipan ruang tengah dan mulai menikmati teh hangat serta singkong rebus, ayah datang.Dia berhenti sejenak di depan pintu, memperhatikan Kak Rusli yang duduk di sampingku.

"Ayah lupa padaku?"

"Gagah kau sekarang nak," ungkap ayah seraya berjalan menghampiri Kak Rusli yang telah berdiri. Kak Rusli mencium punggung tangan ayah sementara ayah menepuk-nepuk bahunya. Kami pun duduk bersama, menikmati suasana kehangatan keluarga diterangi lampu teplok di dinding pojok ruangan.

"Kenapa tidak memberi kabar? Ayah bisa menjemputmu,"

"Maaf ayah, tapi saya sengaja ingin memberi kejutan,"

"Bagaimana sekolahmu disana?"

Percakapan terus berlanjut, berawal dari cerita-cerita Kak Rusli selama di Stovia, dosen-dosennya, teman-teman dan berlanjut ke gadis-gadis teman Kak Rusli. Aku banyak bicara untuk menggoda Kak Rusli di topik ini. Beberapa saat kami terdiam karena topik tak lagi menarik. Sampai akhirnya gelak tawa terpecah ketika kami mulai mengenang masa-masa kecilku dan juga Kak Rusli yang diwarnai kenakalan-kenakalan konyol. Kehangat keluarga yang selalu kusebut sebagai keberuntungan. Aku berharap ini selamanya. Aku sangat menyayangi kalian, ayah, ibu dan Kak Rusli.

Aku pamit terlebih untuk tidur di tengah-tengah perbincangan yang semakin seru. Mataku sudah tak bisa diajak berkompromi lagi. Rasanya seperti ada seekor gajah yang menduduki kelopak mataku. Aku pergi ke kamar untuk tidur, maksudku begitu tapi kenyataan berkehendak lain. Aku hanya berbaring, kantukku tadi lenyap entah kemana.

Kupandangi langit terang di atas kepalaku lewat dua buah genteng kaca disana. Cara ini berhasil dan memang selalu berhasil, perlahan kelopak mataku memberat. Terasa sudah keringanan tubuh, aku tertarik ke alam tidur.

"Ini langkah yang terlalu berani nak," baru sejenak aku dipeluk lelap, suara ibu justru tertangkap oleh indraku dan membuatku terusik meskipun sudah lirih nada bicaranya. Ada kecemasan dan ketidakpercayaan dalam kata-kata ibu. Sepertinya pembicaraan mereka mulai sangat serius.

"Saya sudah yakin dengan pilihan ini bu. Tekad saya sudah bulat. Saya tidak ingin bangsa ini terus menerus dibodohi, dijajah. Biarkan saya bergabung dalam perjuangan lewat organisasi ini bu,"

"Tapi ini langkah yang berbahaya, kamu akan terlibat masalah."

"Apalah pentingnya satu nyawa jika ada jutaan anak cucu kita yang berhak untuk bahagia?" sebuah kalimat dari mulut Kak Rusli membuat suasana menjadi hening. Jangkrik mengerik dari halaman rumah samping kamarku, menambah sunyi yang menyergap. Sunyi di luar, tapi tidak dengan bagian dalam diriku.

Apa pun itu, aku tak tahu organisasi apa yang dimaksud Kak Rusli. Tapi, kata-katanya tidak terlalu sulit untuk kupahami. Aku tahu, Kak Rusli hendak berjuang untuk menentang Belanda, menghancurkan kekuasaan kolonial dan mungkin tujuan akhirnya adalah untuk mengusir Belanda dari tanah ini. Ternyata tujuan pulangnya adalah permintaan izin memuakkan ini. Tidak! Aku berharap ini hanya sebuah mimpi. Aku pikir otak kakakku sudah tidak berfungsi dengan baik.

"Kau punya tujuan yang mulia Nak, berhati-hatilah. Doa kami bersamamu," suara ayah yang lembut tapi penuh ketegasan membuat jantungku berpacu lebih cepat, "kami bangga padamu, semoga kau berhasil,"

Aku tidak suka ini! Kenapa ayah mendukung Kak Rusli? setiap kalimat yang kudengar membuat dadaku seperti dihujami ratusan peluru panas.Sesak.

"Orang-orang Belanda dan segala hal yang mereka bawa, harus enyah,"

Tanpa kusadari tetes demi tetes air mata membulir di pipiku, aku benar-benar tertusuk mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Kak Rusli. Sulit bagiku untuk menerima semua ini. Kuharap Kak Rusli sedang tidak mengingatku ketika mengatakan hal itu. Kusadari siapa diriku dan karena itu aku menangis. Darah seorang laki-laki Belanda yang tak kuketahui namanya mengalir di tubuhku. Apa Kak Rusli juga membenciku? Ini terlalu menyakitkan jika Kak Rusli mengingat diriku saat itu.

Kuputar tubuhku dari telentang menjadi miring menghadap bayangan diriku sendiri yang terbentuk di dinding kamar. Kuremas-remas jemariku seolah menahan isakan, aku tak mau ayah, ibu dan Kak Rusli mendengar tangisku.

***

Aku tak apa jika orang-orang di luar sana mengataiku. Memanggilku anak haram kompeni, mencibirku dan menyelipkan kata-kata kotor tiap kali mereka menyebutkan namaku. Aku sudah terbiasa dengan ejekan apa pun karena aku tak mampu menyebutkan satu huruf pun dari nama ayahku setiap kali teman-teman menanyakannya. Aku kuat menahan semua itu selama bertahun-tahun. Tapi, kenapa rasanya begitu sakit ketika aku harus mengetahui fakta bahwa kebencian itu juga datang dari kakakku.

Panas membakar otak dan hatiku. Kenapa mereka terlalu membeda-bedakan orang satu dengan yang lain. Orang Belanda dan orang pribumi, apa mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang terapit di tengah-tengah seperti diriku? Para pribumi berkata bahwa Belanda adalah orang yang tidak punya budi dan hati. Di belakang mereka seperti berteriak, meraung-raung layaknya harimau liar tapi di depan Belanda mereka begitu manis, menjadi kucing rumahan berkutu. Ini yang kusebut kemunafikan. Dan kakakku termakan kemunafikan ini, kakak terbawa arus untuk membenci. Pasti dia tidak sepenuh hati membenci Belanda yang telah membangun negeri ini. Ingin kukatakan pernyataan ini kepada kakakku, tapi aku tak punya cukup keberanian. Aku tahu siapa kakakku dan aku tidak terlalu bodoh untuk membuat masalah.

Sekarang kucoba untuk melupakan segala pemikiran bodoh dari otakku. Aku tidak mau menjadi konyol, lagipula Kak Rusli juga tidak mengatakan padaku bahwa dia membenciku. Seharusnya semalam aku berpikir seperti sekarang, menelaah seperti apa sosok Kak Rusli yang telah kukenal sejak dulu. Kak Rusli orang yang terbuka, bahkan sangat terbuka. Dia selalu mengatakan apa yang dia pikirkan. Kalau dia memang membenciku atau memasukkanku dalam daftar itu, seharusnya dia mengatakannya sejak dulu. Nyatanya, Kak Rusli sangat menyayangiku meskipun dia suka mengaturku dan memaksakan kehendak pada beberapa hal.

"Berhenti melamun Maudy!" seruan Kak Rusli mengejutkanku, nyaris membuatku jatuh terjengkang dari kursi goyang di pojok ruangan, tempatku duduk merenung. Merenung, bukan melamun seperti yang dikatakan Kak Rusli. Kulihat Kak Rusli yang cengengesan memperhatikanku dari pintu kamarnya, dia terlihat rapi dengan kemeja putihnya.

"Kau mau jalan-jalan tidak?" tawarnya sembari menutup pintu kamar.

"Kemana?" tanyaku, membenarkan posisi duduk.

"Ke pasar, mencari sesuatu yang menarik untuk dibeli." dia mulai melangkah menuju ruang depan.

"Mampir Toko Oen ya?" seruku padanya seraya melompat turun dari kursi goyang, bergegas ke kamar untuk ganti baju.

"Jangan terlalu lama berdandan! Pak Karim dan delmannya sudah tak sabar!" Kak Rusli memperingatkan.

Kunikmati angin sore yang berhembus sepoi-sepoi menyisir rambut kecoklatanku. Bunyi kleneng-kleneng bel delman menyemarakkan suara sepatu kuda yang menderakkan jalan di bawah kaki kami. Kami, aku dan Kak Rusli pergi berkeliling menggunakan delman yang kebetulan menganggur di rumah. Ayah pergi ke kantor wali kota menggunakan sepeda untuk mengurus penyewaan tanah hari ini.Awalnya Kak Rusli memprotesku yang memakai gaun putih selutut serta topi, dia ingin aku memakai kebaya seperti gadis lain. Dia menyebut nama Ratri tadi. Tapi dibandingkan dengan siapa pun, aku tetap tidak mau. Aku tidak suka, ini alasan yang tepatkan?

Sepanjang perjalanan, sesekali kuperhatikan Kak Rusli yang terlihat begitu serius mengamati keadaan daerah yang kami lewati. Wajah tampannya mengisyaratkan ketulusan dan kelembutan, sama sekali tak nampak bahwa dia menyimpan hasrat besar untuk menghancurkan sebuah kekuasaan yang telah kokoh memegang kendali tanah ini. Kira-kira apa yang dipikirkan Kak Rusli sekarang? Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dan menggelitik pikiranku. Mungkin saja dia sedang membuat rencana atau sejenisnya yang,

"Kau dulu jatuh parit itukan Maudy?" seru Kak Rusli disusul gelak tawa kecil yang mengejutkanku. Ternyata itu yang dia pikirkan dalam diamnya, aku salah besar.

Kuikuti arah pandangan mata Kak Rusli, ya! Dulu saat aku kecil, aku memang jatuh di parit itu. Jatuh dari pohon mangga yang kupanjat lalu terperosok ke parit. Itu cerita lengkapnya.

"Kapan pulang Nak Rusli?" seorang pria tua berpeci melambaikan tangan dari atas sepeda yang dia naiki. Sepedanya dan delman kami berhenti dalam waktu bersamaan. Kak Rusli bercakap-cakap dengan bapak-bapak yang kuketahui sebagai guru di gerakan kepanduan itu dalam waktu beberapa menit. Awalnya hanya sekedar basa-basi tapi lama-lama aku mulai tak tahu apa yang mereka bicarakan. Nama-nama yang tak pernah kudengar mereka sebutkan.

"Hati-hati pak, salam buat adik-adik di kepanduan," kata Kak Rusli menyudahi percakapan mereka. Delman kembali berjalan, kami mulai memasuki jalan beraspal, pasar sudah dekat. Kalau tidak ada bapak tadi, pasti aku sudah sampai sejak tadi.

Pak Karim menarik tali kekang kuda, kami berhenti di emperan sebuah toko pakaian. Aku dan Kak Rusli turun dari delman, mau masuk jauh lebih ke dalam. Akan sulit kalau memakai delman karena jalan selalu ramai di sore hari apalagi di hari libur seperti hari ini.

Aku berjalan di belakang Kak Rusli. Kuedarkan pandanganku kepada para pedagang yang menggelar dagangannya di emperan toko. Kuperhatikan mereka yang memperhatikanku dengan aneh, aku tahu kenapa mereka seperti itu.

Kak Rusli berhenti sejenak memperhatikan bibit lele yang dijual sementara mataku tak mau lepas dari tatanan gethuk lindri yang dijual seorang nenek-nenek. Ingin aku menikmatinya tapi ketika aku berniat meminta pada Kak Rusli supaya dia membelikanku, kakakku itu justru sudah melenggang cukup jauh di depan. Kukira dia mau membeli bibit lele.

Aku berlari-lari kecil mengikuti Kak Rusli, kenapa dia tidak memberitahuku kalau dia melanjutkan langkah lagi?

"Dia siapa?" mendadak dia berhenti, hampir saja aku menabrak punggungnya tapi untung aku cukup piawai untung mengendalikan kakiku sendiri. Mungkin aku akan terpental kalau aku benar-benar menabraknya.

"Apa dia meneer baru disini?" lanjut Kak Rusli. Kualihkan pandangan mataku ke arah yang sama dengan matanya.

Tuan Schoonhoven dan Josh, mereka duduk di atas kereta kuda yang baru saja berhenti di depan sebuah lumbung padi. Puluhan warga berkumpul disana. Ketegangan semakin nampak mencekam ketika Tuan Schoonhoven menjejakkan kaki beralas sepatu putihnya di tanah. Turun dari keretanya sementara Josh masih di posisinya. Tuan Schoonhoven mengucapkan beberapa kalimat dengan raut penuh amarah memicu ekspresi ketakutan di wajah orang-orang yang kini berdiri menunduk di hadapannya. Seorang pria tua membuka mulutnya, menjelaskan sesuatu dengan berkapurancang.

"Inlander!" kutuk Tuan Schoonhoven, aku nyaris melompat karena terkejut. Benar-benar mengejutkan meskipun jarak kami lumayan jauh. Kualihkan pandanganku dari Tuan Schoonhoven yang masih menghujat menjadi ke arah Josh. Laki-laki itu duduk dengan tenangnya di atas kereta kuda. Memainkan jari-jarinya, tak sedikit pun dia memperhatikan ayahnya.

"Kau tahu siapa namanya?" pertanyaan Kak Rusli meluncur tepat bersamaan dengan saat Josh menoleh ke arahku, kurasa dia melihatku.

"Ayo kita pulang Kak," tak kujawab pertanyaan Kak Rusli, segera kubalikkan badanku dan mulai melangkah cepat dan lebar, pergi dari tempat itu. Kutarik juga tangan Kak Rusli supaya dia bergegas mengikutiku dan tidak berlama-lama disini.

Terimakasih yang sudah baca sampai bab ini. Tunggu bab 5 tanggal 6 Juli 2022 ya.

NarnieJanuarycreators' thoughts