Sangat tenang, tidak ada suara apa pun yang terdengar tapi barisan pelayan yang ada di belakang mereka menunduk dengan perasaan tegang.
Mereka menunggu bersiap agar ketika tuan mereka butuhkan mereka langsung siap. Mereka bersikap sopan dan menunduk, walaupun begitu telinga mereka tajam dan cukup terlatih untuk masalah ini.
Di depan mereka Alexandra dan Lucian sedang makan malam bersama. Mereka berdua tidak terlihat banyak bicara, sesekali Alexandra melirik Lucian untuk mengagumi wajahnya yang terlihat sangat manis.
Lucian memasukan suapan terakhir dari daging yang ada di piringnya, dia mengunyahnya dengan pelan dan menelannya dengan sempurna.
[Cara makannya sangat sempurna. Dia pria yang luar biasa ...]
"Lexa, ada sesuatu yang ingin kamu katakan padaku?" tanya Lucian dengan menatap Alexandra. Ditatap seperti itu membuat Alexandra terkejut. Membuatnya jadi menatap seperti marah, wajah yang ditekuk dengan kening yang mengkerut.
Semua yang ada di sana menduga Alexandra marah.
Alexandra yang selalu berwajah keras dan bersuara besar itu telah sering mereka temui.
"Maaf kalau aku menyinggungku." Lucian tersenyum untuk menghilangkan amarah dari Alexandra.
Wajah Alexandra langsung kaku, dia sama sekali tidak marah, malahan di mengagumi keindahan di depannya. Hanya saja dia tidak bisa mengatakannya dengan baik hingga wajahnya menjadi kaku.
"Kalau aku membuatmu tidak nafsu makan, aku bisa tidak ikut makan bersama lagi bersamamu, Lexa." Lucian melihat piring Alexandra yang masih penuh, itu membuatnya merasa bersalah kalau wanita di depannya ini mendapatkan penghinaan dari para bangsawan lainnya.
Dia mendengar dari para kesatria tentang hadiah yang diterima Duchess Alexandra lebih rendah daripada Duke Everno yang ada di bawahnya.
Itu melukai harga diri bangsawan, dan dia mengkhawatirkan gadis berambut merah ini.
"Tidak!" tanpa sengaja Alexandra berteriak, yang membuat tubuh semua orang di sana terkejut. Sedangkan Lucian membelalakkan matanya. Dia menghela napasnya, dia tahu nilai dari dirinya.
"Maafkan aku yang tidak pantas ini, Lexa."
Alexandra langsung memegang tangan Lucian dengan gegabah, wajahnya yang memerah itu menatap Lucian dengan kepanikan yang membuat matanya terlihat berkilat seperti api yang menyala-nyala.
Dia menelan salivanya dengan gelisah.
"Kau sama sekali tidak mengganggu nafsu makanku."
Lucian melirik Alexandra yang terlihat gelisah, dia sedang menilai Alexandra yang ada di depannya. Dari sentuhan tangan Alexandra, dia bisa merasakan detak jantung Alexandra yang bertambah cepat.
Lucian duduk dengan tenang lagi, dengan perhatiannya masih pada Alexandra yang dia dengar telah bernapas lega.
"Jadi, kenapa kau tidak makan, Lexa?" tanya Lucian dengan suara lembut dan tatapan khawatir.
[Matanya membuat aku senang ... dia mengkhawatirkanku ....]
"Karena aku sedang memperhatikanmu."
Mata Lucian berpendar penuh rasa penasaran, orang sepertinya tidak seharusnya menerima perhatian besar dari seorang pemimpin wilayah besar seperti Rissingshire, dia juga hari ini menerima perhatian besar dari semua orang di kekaisaran Asteorene ini yang ingin tahu tentangnya, rupanya dan segala hal tentangnya.
Rasa penasaran besar yang bisa melahap segalanya
"Apa itu dalam hal yang baik, Lexa?"
Mata berkaca milik Lucian membuat Alexandra tergugah, dia selalu lemah dengan tatapan itu, menghanyutkannya hingga bisa melakukan apa pun untuk Lucian.
"Tentu saja dalam hal baik. Pertunangan kita telah disetujui oleh kaisar."
Lucian mengangguk, baru kali ini dia mendengar berita itu dari mulut Alexandra, sebelumnya dja mendengar dari mulut orang lain yang begitu heboh. Mereka mengatakan kalau kaisar yang takut dengan keberadaan Rissingshire sengaja menerima Lucian sebagai tunangan Alexandra agar posisi kaisar tidak ada yang mengancam.
"Ada banyak ucapan selamat untuk kita, dan kau tahu, kita akan segera melakukan pesta pertunangan."
Lucian terdiam mendengarnya. Pesta pertunangan selalu menjadi perhatian para bangsawan, mereka akan berbondong-bondong datang untuk melihat pilihan Alexandra, dan tidak hanya itu, akan selalu ada persaingan secara implisit di dalamnya.
Peraturan tidak tertulis.
Itu berat tapi sebagai identitas keluarga.
"Aku tidak bisa berdansa, Lexa," ucap Lucian meminum wine yang ada di depannya. Dansa? Dia akan melakukannya dengan sangat kaku dan membuat Alexandra lebih malu.
"Kebetulan sekali, aku juga tidak bisa berdansa. Aku sering menghabiskan waktuku di Medan perang." Alexandra melihat telapak tangannya, bukan seperti lady biasanya yang tangannya sangat mulus dan lembut, tangannya penuh dengan kapalan akibat mengayunkan pedang ribuan kali.
Lucian melihat Alexandra dengan tatapan prihatin, dia menyadari kalau Alexandra tidak menikmati masa mudanya dengan baik. Harus memikul beban keluarga di usianya yang masih muda, dan mempertahankan kekuasaannya.
Membayangkan Alexandra, sang Lady yang seharusnya ada di pesta teh malah di pertempuran itu sedikit ironi. Alfo selalu sedih dengan itu, dia sering menangis dan menguatkan Alexandra di masa paling beratnya.
Para lady mengenakan gaun terbaru, yang dirancang oleh desainer terbaik di kekaisaran ini dengan bahan terbagus. Sedangkan Alexandra menggunakan armor berat dengan tubuh kotor jarang mandi.
Apalagi dia tidak memiliki teman di sana, dia kesepian.
Lucian menganggukan kepalanya pada Alexandra. Tangan Alexandra yang memenggalnya, dipegang oleh Lucian. Tangan kapalan yang menurut para tuan muda bangsawan sebagai hal yang hina bagi para Lady, bagi Lucian ini adalah sebuah kebanggan hebat.
"Kalau begitu mari kita berlatih berdansa bersama, Lexa. Aku tahu kau pasti sangat kuat biasa ketika berdansa." Lucian memberikan senyuman terbaiknya, yang manis dan melelehkan Alexandra.
Dia mengagumi lady yang bisa memainkan pedang ini.
Degup jantung Alexandra tidak beraturan. Seperti sesuatu yang dipukul dengan gerakan yang sangat cepat sekali.
[Apa ini?]
Ada rasa hangat yang mengalir dari jantung dan seluruh tubuhnya, semakin lama dia melihat Lucian, dia semakin terlihat luar biasa hingga dia harus mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.
"Kau tidak mau?" tanya Lucian dijawab Alexandra dengan gelengan kepalanya.
[Aku mau sekali, Lucian!]
Lucian bingung dengan reaksi Alexandra yang menurutnya sangat banyak sekali. Dia sulit menebak suasana hati Alexandra, walaupun dia tersenyum, Alexandra terkadang menatapnya tajam dengan mata yang berapi-rapi.
"Lucian, aku mau berlatih dance. Kalau kau yang sebagai pasanganku, kurasa akan baik-baik saja."
Alexandra memegang erat tangan Lucian, dia juga merasakan kapalan di tangan Lucian. Kapalan adalah sebuah kebanggan sendiri bagi mereka yang terbiasa dengan pedang.
Bodoh sekali mereka yang mengatakan kalau Lucian tidak bisa memegang pedang, dia memiliki keahlian yang membuat Alexandra menjadi penasaran dengannya.
"Tentu, mereka pasti akan melihat betapa luar biasanya kau dalam berdansa, Alexandra. Kau sosok yang selalu membuat mereka iri."
Lucian tersenyum dengan cara yang khas miliknya, dia menyukai pilihan Alexandra walaupun dia sendiri gelisah.
Sedangkan Alexandra yang sejak tadi tangannya memegang tangan Lucian tenggelam dalam pikirannya sendiri tentang berdansa bersama Lucian.