webnovel

Terjebak Rahasia

Wanita itu bergegas bangun dari pembaringan yang ditidurinya semalam. Pria pasangannya masih lelap berkubang mimpi dengan senyum puas. Ditariknya selimut tinggi untuk menutupi dada telanjang si ganteng berhidung bangir.

Ia bergerak ke kamar mandi, membasuh wajah, menyegarkanya sedikit. Kemudian mengenakan baju semalam, ia lupa bawa ganti karena kencan dadakan kali ini. Dipaskan kerudungnya untuk menyamarkan chabi, meniup bagian atas untuk membuatnya tegak.

Tanpa membangunkan pasangannya, gadis berkerudung ungu pasta itu membuka kamar hotel pelan, memesan taksi online untuk mengantarkannya kembali ke kos saat dalam perjalanan menuju lift.

"Jakal km. 7 Pak! Gang masuk belakang Gardu"

Begitu pesannya pada pengemudi taksi, lalu asik memainkan benda segiempat merk Korea berteknologi tinggi.

Dibukanya grup hijau kampus, untuk mengecek jadwal kuliah hari ini, seingatnya, kuliah sosiologi bencana dimulai pukul 10.00 nanti, masih ada waktu untuk kembali tidur sebelum memulai pelajaran.

Taksi mulai memasuki gang depan kos, berhenti tepat di depan alamat yang diisikannya pada aplikasi. Disodorkannya uang pas, dengan mengucapkan terima kasih.

Ia membuka pagar. Tiba-tiba ...

"Mba Divi, baru pulang? Nginap di mana?" Suara ibu kos yang tidak terlihat mengagetkan Divi yang baru saja menutup pintu pagar.

"Nginap di kos Lita, Bu," sahut gadis itu sopan, tak ingin memanjangkan percakapan ia berpamitan, tanpa berani memandang ibu kos yang menatap punggungnya dengan heran. Anak gadis pulang pagi. Tak elok.

Divi membuka pintu kamarnya, tubuhnya lelah. Ia merebahkan bagian tubuhnya pada pembaringan tipis di lantai kamar kos berukuran 3x3 yang sudah empat bulan ini dihuninya. Niat untuk kembali memejamkan mata terhalang pikiran yang berkelana kemana-mana.

"Kamu takut 'kan menemani Saya untuk menginap di hotel?" Pria di hadapannya tersenyum menantang, "obrolanmu hanya mutar-mutar, tapi intinya menolak."

Ia menyeruput gelas cola-nya.

"Kenapa harus takut? Seorang wanita dewasa, tidak perlu takut untuk menerima tantangan."

Divi memutar gelas di depannya, ia tidak yakin dengan kalimatnya sendiri.

"Jika begitu, setelah nonton kita bermalam di hotel." Pria itu tersenyum, menunjukkan deretan gigi seri yang rapi dan gingsul kiri yang manis.

Divi mengangguk, kemudian berdiri. Ia mendengar pengumuman bahwa teater 3 telah dibuka, film yang akan mereka tonton sebentar lagi tayang.

Aaarrrrgghh... Ia menyesali keputusannya semalam. Dan kini ia hanya menggulang-gulingkan badan lelahnya tanpa bisa terpejam. Lebih baik Ia mandi. Kucuran shower memberi sedikit kewarasan. Ia memeriksa setiap inci anggota tubuhnya takut ada tanda merah yang menjadi jejak ketidakwarasannya semalam.

Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dan rok denim serta kerudung marun sebagai pelengkap atributnya hari ini. Pukul 09.30 Divi mengurai kemacetan jalan kaliurang menuju kampus. Lima belas menit sebelum kelas dimulai ia sudah duduk manis di kelas. Divi tidak ingin Bu Dewi menolaknya masuk, ibu dosen yang terkenal disiplin itu bisa menendang mahasiswanya keluar ruangan.

"Mba Di, udah ngumpul tugas?" tanya Arie yang duduk di kanan

"Paling lambat tadi malam 'kan?"

"Betul! Pastilah Mba Di udah kirim, nggak mungkin deh kalau telat."

Kali ini Nuril yang menyahuti. Kebetulan ia duduk di sebelah kiri Divita.

"Tapi, Mba. Katanya hari ini bukan Bu Dewi, tapi dosen muda. Kabarnya baru pulang dari Jerman."

Obrolan mereka terhenti, saat seorang pria berbaju batik dan berkacamata memasuki ruangan, meletakkan tasnya di meja. Ia berdiri tegak dan mengeluarkan suara,

"Selamat Pagi, hari ini Saya akan menggantikan Bu Dewi. Sebagai pengantar pertama, Saya ingin berkenalan dengan kalian semua. Bisa saya minta lembar presensi?"

Agung sebagai ketua angkatan, bergerak menyerahkan daftar hadir yang biasa diisi setiap kelas selesai.

Divita menatap lekat-lekat sosok di depan kelas. Ia merasa mengenalnya, suara itu, tubuhnya, tapi ... Pria ini berkacamata, berbeda dengan ...

"Divita Kalinda ..." Panggilan sang dosen muda membuat Divita menegakkan tubuh dan mengangkat tangannya.

"Hadir, Pak!"

"Asli mana Mba? Sudah bekerja? Status?"

"Mba Di, kepala suku Pak! Asli Kalimantan, Status Bujangan!"

Sebuah suara dari pojok kelas disambut dengan koor tawa. Dasar mahasiswa labil. Kebanyakan teman kelas Divita adalah Mahasiswa fresh graduate yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang master berbeda dengan dirinya yang memang sudah bekerja dan dikuliahkan lagi oleh instansinya.

"Oh, begitu rupanya. Jadi yang sudah bekerja di kelas ini ada tiga."

"Kami semua sudah di absen, tapi bapak belum menyebutkan nama dan memperkenalkan diri." Arie begitu berani menanyakan

"Termasuk status dan jumlah istri, Pak!" Kali ini Kak Ana dari belakang Divita yang bersuara.

"Saya Djati Prabandaru, status Lajang belum memiliki istri."

Divita terkesiap, mendadak teringat nama itu. Ndaru - Pribandaru - adalah nama Pria yang menantangnya semalam untuk menginap di kamar hotel yang sama.

Dosen muda itu menatap Divita nanar, dengan senyum semringah dan mata yang menyimpan ketengilan semalam.

Divita tak mampu menatap dengan bangga seperti semalam, pagi ini ia hanya menunduk lesu. Kartu As telah dipegang oleh dosen di depan.

Hingga pelajaran usai, Divi tak berani menatap ke depan. Beberapa kali pertanyaan untuknya hanya sanggup ia jawab pelan atau gelengan tak tahu.

"Ok, kelas selesai! Divita ikut saya ke ruangan ..."

"Cieee, Mba Di ..." ejekan Arie, mengiringi kepergian Divita bersama sang dosen muda.