webnovel

Lamaran

𝐻𝑎𝑟𝑢𝑠𝑘𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 ℎ𝑢𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑚𝑎𝑟𝑎𝑛? 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑎𝑏𝑎𝑑𝑖 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑔𝑖𝑎. 𝑅𝑜𝑚𝑒𝑜 𝑑𝑎𝑛 𝑌𝑢𝑙𝑖𝑒𝑡 𝑚𝑎𝑡𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑟𝑎𝑐𝑢𝑛, 𝐿𝑎𝑦𝑙𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑄𝑎𝑖𝑠 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑎ℎ𝑖 𝑠𝑎𝑢𝑑𝑎𝑔𝑎𝑟 𝑘𝑎𝑦𝑎. 𝐶𝑖𝑛𝑡𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑛𝑔𝑠𝑎𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟𝑝𝑖𝑠𝑎ℎ𝑎𝑛, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑜𝑟𝑏𝑎𝑛𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑡𝑖. 𝑆𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝐴𝑐𝑖𝑙 𝑂𝑑𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑚𝑎𝑛 𝐼𝑠𝑢𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑑𝑎𝑚*, 𝑏𝑒𝑟𝑘𝑎𝑙𝑖-𝑘𝑎𝑙𝑖. 𝑆𝑒𝑝𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑎𝑏𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑢𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑈𝑚𝑎.

Uma dan Mas Arga sudah pulang, semua kembali aman. Langit Jogja kembali terang benderang dan aku balik ke aktifitas semula, kos, kampus dan makan malam gratis.

Sesuai janji Mas Lintang akhirnya mengajakku pergi ke Sikunir karena batal ke Prau, dia mengajak temannya saat kusampaikan akan mengajak teman, jadilah kami pergi berenam. Tiga lelaki dan tiga perempuan. Mas Lintang bersama Agung dan Karna, Aku bareng Arie dan Nuril.

Sikunir bukan lokasi yang dekat dari Jogjakarta, diputuskan untuk mendaki dari Desa Sembungan dan camping di sekitar Danau Cebong. Destinasi pagi berikutnya adalah napak tilas candi-candi di lingkungan Dieng.

Berangkat dari Jogjakarta menjelang magrib, sampai di kawasan Dieng sudah pukul lalu kami istirahat di Masjid besar alun-alun Wonosobo, lanjut ke kawasan Desa Sembungan yang tingginya 2.306mdpl., tak banyak pemandangan yang dapat dinikmati karena pekatnya malam, yang kurasakan hanya jalan yang menanjak dan hawa yang mulai menusuk tulang.

Kami mendirikan dua tenda berukuran sedang di camping gorund Danau Cebong, memilih lokasi tanah lapang sekitar area parkir. Langit tanpa cahaya bukan waktunya sang bulan menampakkan wajah. menunggu waktu mendaki. jemari mulai kaku dan membeku, kupluk dan sarung tangan yang kukenakan hanya sedikit memberikan kehangatan. Mas Lintang mendengar gemeletuk gigi dan bunyi mendesis dari mulutku, uap muncul setiap kali kami membuka mulut. Agung, Karna, Arie dan Nuril khusyuk mengelilingi kompor berselimutkan sleeping bag masing-masing mereka menunggu air mendidih untuk membuat kopi. Sesekali mereka tergelak bersama, anak-anak guide itu selalu bisa membangun suasana. Di mobil selama perjalanan takhabis mereka lontarkan humor agar kami takbosan. Hidungku mulai mampet sebelah, kucoba melegakan napas dengan menghirup inhaler yang kubawa sebagai cadangan p3k.

"Dingin?" Mas Lintang mulai menggeser tubuhnya mendekat. "Kita ikut mendekati api saja, yuuk!" Aku mengeleng lemah, napas mulai bisa beradaptasi. namun ada sedikit bunyi setiap aku menarik oksigen untuk dialirkan ke paru-paru.

Dia berlutut di depanku,

"Sebaiknya kamu tidur dulu, walaupun sikunir tidak tinggi tetap saja perlu tenaga ekstra untuk melakukan pendakian." Dia menepuk pelan lenganku. Aku bergeming. Jika aku tidur sekarang, aku takut tidak bisa bangun dan kebablasan.

"Di ... aku sudah mengenalkan kamu pada anakku, kapan kamu main ke rumah ketemu ibu? dan aku kapan dikenalkan pada ibumu?"

Aku bersedekap pada lutut, mencangkung mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Perkenalan keluarga. Urutan pertama sebelum jatuh kedalam hubungan yang lebih serius dari sekadar makan bersama, saling telepon dan bertanya kabar. Bisakah aku?

Bersama pria ini?

Kupandangi ia yang pernah mengikat janji sakral pada perempuan lain. Pria yang gagal karena keegoisannya sendiri bekerja jauh dari istri yang diselingkuhi kawan sendiri. Lintang, dia tumpuan keluarga sebagai anak lelaki satu-satunya atas dua orang adik perempuan dan satu ibu yang sudah tidak memiliki suami.

Aku menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan menikmati uap dingin yang kukeluarkan, tidak berniat untuk menjawab.

"Di ..."

"Aku belum siap, Mas."

"Kapan? berapa lama?"

Kusembunyikan wajah pada dua lututku mencari kehangatan semu. Sebuah ketakutan mulai menelisik hatiku. Dia pasti berubah jika aku jawab "kapan-kapan." Aku takut kehilangan kenyamanan bersamanya, tetapi juga belum sanggup jika harus menerima label sebagai pacar atau calon istri, atau apa pun sebutannya nanti.

"Atau kamu mau kita langsung saja resmikan hubungan ini? izinkan aku menikahimu."

Kedua tangannya memenjarakan telapak kakiku.

"Apaan sih, Mas!"

Aku mendadak berdiri. Pergerakanku membuatnya terhuyung ke belakang dan terduduk. Kutinggalkan dia di muka tenda, dan aku bergerak ke pinggir danau tergesa.

Lamaran, pernikahan. Kedua hal yang kutakutkan, keraguan demi keraguan menghantuiku. Tidak bisakah kita begini saja, saling mencurahkan kasih sayang dan perhatian, tanpa desakan harus terlibat dan terikat lebih dalam. Aku lebih nyaman begini.

Napasku mulai sesak lagi. Kuhirup inhaler yang kukeluarkan dari saku kiri, sedikit pedas namun cukup melegakan. Kuberbalik menuju keramaian di samping kompor.

"Dari mana, Mbak?"

"Mendengarkan bunyi air."

"Mas Lintang mana, Mbak?"

Aku mengendikkan bahu, tidak kulihat lagi sosok Mas Lintang, mungkin dia sudah berlayar di tendanya.

–––

Pukul 03.00 dinihari, kami bergerak menuju jalan pendakian. Puncak sikunir tidak terlalu tinggi, tetapi tetap saja diperlukan tenaga dan stamina yang cukup untuk mendaki. Beberapa kelompok sudah mulai bergerak, karena semua akan mengejar sunrise dari atas.

Sikunir dikenal dengan sebutan "Golden Spot Sunrise". Kita dapat melihat bagaimana matahari melepas peraduannya untuk menyinari bumi dengan gagah. Menurut penjelasan Karna –teman Mas Lintang– deretan Pegunungan Nganjir dapat dinikmati dari puncak Sikunir, kita akan berada di negeri atas awan. Kegagahan para gunung yang menentang langit akan membuat kita bersyukur atas penciptaan Tuhan pada alam semesta.

Perlahan satu demi satu tanjakan kami lewati, pagi ini banyak orang yang bertujuan sama dengan kami. Beberapa rombongan melewatiku, kami berenam berjalan beriringan, selang seling. Dikarenakan alat penerang yang kami punya hanya berjumlah tiga maka Karna beriringan dengan Nuril, Bayu diikuti Arie dan aku bersama Mas Lintang.

Arie sudah bergerak duluan bersama Bayu, sesuai namanya dia melesat bagai angin dan hanya Arie yang mampu mengimbanginya. Nuril pun menghilang bersama Karna. Sedangkan aku masih terseok-seok menyeret kaki yang terasa sangat lelah. Persendian tidak mendukung keinginan, hanya semangat dan harapan yang membuatku sanggup terus bergerak. Aku harus sampai puncak.

"Kalau sudah begini, umur nggak bisa bohong, ya?"

Mas Lintang berbisik di telingaku. Badannya sudah dijadikan tameng jika aku sewaktu-waktu tergelincir. Posisi curam ini tidak menguntungkan, aku memilih minggir untuk beristirahat sebentar.

"Kamu masih marah dengan penawaranku tadi?"

Dia sudah ikut menyenderkan tubuhnya pada sebuah pohon tempatku bersandar. Beberapa pria melewati kami.

Aku hanya menggeleng. Marah hanya menambah lelah, begitu pikirku. Lebih baik aku membiarkan saja keinginannya, toh tidak ada ruginya bagiku. Hanya saja ...

"Yuk, jalan lagi. Puncak sebentar lagi."

Dia menarik tanganku dan menggandengnya. Aku mencoba untuk melepas pegangannya, tetapi kalimatnya membuatku urung melakukan itu. Kurasa dia hanya ingin aku percaya padanya.

–––

Mas Lintang memutar tubuhnya mencoba mencari di mana teman-teman berada, sedang aku semakin merapatkan tubuh mencari hangat. Akhirnya dia membuka ransel dan menyerahkan jaket cadangan padaku, termasuk sarung tangan baru. Namun, aku menolak, karena puncak dingin akan terjadi nanti menjelang subuh saat embun turun. Jika aku menggunakan jaket tambahan sekarang, nanti tidak akan berguna lagi.

Sebuah kode lampu mengenai wajah Mas Lintang, ternyata itu mereka. Di sana telah digelar matras dan plysheet anti air sebagai alas duduk. Nuril dan Arie saling berdekatan mesra. Aku bergerak dipandu lampu, mereka berdua lalu menyambutku.

"Mbak sama Mas Lintang belok dulu ya? Beli jajan atau ngerujak?"

Kalimat itu muncul disertai asap putih dari mulut Arie. Wajahnya memerah karena dingin kurasa dia khawatir. Kutepuk pundaknya gemas, menandakan bahwa aku baik-baik saja.

"Orang tua jalannya lambat," ucap Mas Lintang menjelaskan keadaan kami.

Mereka semua terkekeh, duh, ya, giliran menanjak begini alasannya pasti usia yang taklagi muda. Aku terdiam lalu mendadak limbung dan terkapar.

Arie dan Nuril lagi-lagi mentertawakanku, mereka bukan menolong. Kucoba menggeser tubuh mencari posisi yang pas, sebuah jaket disorongkan kepadaku.

"Pakai! Jangan ngeyel lagi!" Ketegasan dalam nada bicaranya membuatku bagai kerbau dicucuk hidung. Tanpa penolakan aku kenakan jaket melapisi hoodie yang kupakai.

"Sebentar lagi Matahari terbit. Pasti lebih hangat." Kali ini Karna bersuara dari sebelah Nuril.

Semburat jingga berlahan menyembul di antara dua jejer gunung, banyak orang berpindah mencari posisi strategis untuk membidikan kamera.

Momen ... hanya satu momen dan pastinya tidak lama. Momen yang tepat untuk mengabadikan keindahan tiada tara lukisan Sang Pencipta. Seperti itu juga hidup, ada momen yang waktunya terbatas.

Arie dan Nuril sudah bangkit mencari posisinya, aku masih mencangkung memeluk lutut. Merasakan sepi di tengah keramaian. Hanya kubisikkan rasa syukur tak terhingga dalam hati, bahwa aku bisa sampai ke sini. Akan tetapi, di sisi lain hati aku merasa kosong.

Mengapa momen ini tidak kunikmati bersama dia–seseorang yang menjadi tempat labuhan hati.

*madam - diam tidak pulang-pulang