webnovel

Kejutan

Hari ini kuliah dibatalkan, kabar terlambat dari grup WA kelas membuatku melepas malas di pembaringan, asyik rolling kanan-kiri. Curhat Arie tentang Uwak -Kakak ibunya- yang ditelantarkan istri muda dan kembali ke rumah istri tua dalam kondisi sakit serta harus bolak-balik cuci darah membuatku miris. Itulah pria saat sudah tidak bisa apa-apa kembali juga ke wanita pertamanya.

Aku pun teringat pada keluarga Acil Odah -adik ibuku. Saat itu aku masih SMP, Acil datang ke rumah menangis dengan mata membiru dan sebagian pipi terluka mengadu pada Nini. Suaminya menganiaya beliau, aku tidak tahu pasti apa yang terjadi, yang aku ingat Acil tinggal di rumah kami cukup lama. Saat aku bertanya ada apa dengan Acilku itu, Nini berkata padaku,

"Jika kamu menikah, segeralah punya anak."

Acil Odah wanita pekerja dan pernikahannya saat itu memang belum dikaruniai anak, kurasa itu yang membuat keluarga mereka tidak kokoh kesimpulan yang kudapat dari pernyataan nini. Namun, bukankah jika keluarga dibangun atas dasar cinta dua anak manusia, terdapat kerelaan berkorban segalanya untuk mempertahankan itu. Tidak perlu ada kekasaran dari suami pada istri. Akhirnya, memang suami Acil menikah lagi. Tak berselang tahun saat beliau sakit ditelantarkan istri mudanya, beliau kembali kepada Acil.

Pikiranku taksampai pada bahasan itu, tetapi aku memang menjadi takut berkomitmen jika membayangkan harus menikah dan hidup bersama dengan orang yang sama setiap hari, lalu tiba-tiba dikhianati, tiba-tiba menjadi sansak hidup bagi kemarahan, dan pada suatu waktu ditinggalkan begitu saja.

Tidak bisakah pernikahan itu layaknya dongeng Happyly ever After, long lasting Love life. Cinta kekal abadi selamanya?

Kulemparkan bantal ke langit-langit kamar dan kubiarkan jatuh menimpa dadaku, aku mengaduh. Meraih benda itu dan menutupnya pada wajahku. Menghentikan napas lalu melemparnya ke pojokan. Beranjak duduk menatap dua ponsel di meja kecil yang berkedip, tetapi kubiarkan.

Jika ada yang melamarku sekarang, haruskah aku bersedia? beranikah aku mencoba?

Kita tidak akan bisa berenang jika belum masuk ke dalam air. Orang-orang mungkin bilang gampang, nikmati saja rasanya. Terima saja romantisme.

Mas Dosen, Mas Lintang, Mas Krisna ... Jenis hubungan macam apa antara aku dan mereka.

Nuril bilang PDKT terus tetapi nggak jadi juga. Aku menggigit ujung bantal.

Lagu 'Relakan aku pergi menyeruak dari ponsel Korea milikku.

Kuraih untuk melihat siapa pemanggil yang tertera di sana, Uma.

Sebelum beliau marah karena aku lambat menjawab, telepon hrus kuangkat.

Setelah salam dan menanyakan kabar Uma, beliau menyahut dengan kalimat yang membuatku nyaris menjatuhkan handphone.

"Uma, sudah di bus Joglosemar, nanti jemput ya di pul, katanya jam 14.00 sampai Jogja."

"Sama siapa, Ma?"

"Jemput saja! Nanti kamu tahu."

Telepon ditutup begitu saja, tanpa aku sempat protes. Uma memang keras, sekeras batu dengan kemauannya. Jika sudah maunya Uma akan hadir bahkan ke ujung dunia. Tersisa 4 jam lagi sebelum menjemput beliau. Bagaimana aku menjemput Uma, pada siapa aku minta tolong?

Aku belum terima kabar kepulangan Mas Ndaru. Meminta tolong Lintang untuk menjemput uma menjadi sebuah pertimbangan besar bagiku. Apakah dia mau?

Selain itu, mengenalkannya pada Uma, akan jadi senjata baginya untuk mendesakku menikah.

Aku kurang suka mengenalkan calon pada keluarga jika belum pasti, sama dengan aku yang juga tidak bersedia dikenalkan jika belum yakin.

Siapa kandidat berikutnya?

Mas Dony atau Oom Frans?

Ah, mereka berdua terlalu berisiko untuk dikenalkan dan belum tentu mereka mau.

Ya ampun. Bodohnya aku. Ada Mas Krisna, dia 'kan tidak suka perempuan, cukup aman.

Tetapi ... apa dia punya mobil? Aku tidak tahu banyak tentang dirinya. Kupertimbangkan untuk menyewa mobil demi menjemput Uma.

Arrrggh, kenapa sih Uma harus datang ke Jogja, bukannya aku sudah bilang akang pulang saat libur nanti, baru delapan bulan aku di Jogja, pengungsi Kelud saja belum pulang.

Kuputuskan untuk mendatangi Mas Krisna di Kafenya. Ini taruhan besar karena bisa saja dia tidak di sana. Aku hanya berdoa dia ada dan mau menolong. Jika tidak maka Lintang, calon berikutnya.

Kurapikan diri, kemudian mengenakan tunik dan pantalon krem berkerudung hijau muda, yang kurasa padanan yang pas. Menyapukan bedak, celak dan maskara, merubah rona wajah.

Dalam sepuluh menit aku sudah sampai di Kafe.

Langsung mencari dan menyeret Mas Krisna ke pojokan, kukesampingkan malu menjadi SKSD.

"Mas, kamu harus tolongin, aku!"

Dia bergeming dengan wajah penuh tanya.

"Mamaku datang kemari, minta dijemput, dan aku nggak mungkin jemput pake motor, bisa mas temenin jemput pake mobil? Kita bisa sewa atau pinjam mobil dulu, yang penting Mas temenin aku, dan supirin. Aku nggak bisa nyupir."

Kalimatku sudah kayak martir dalam satu tarikan napas memuntahkan semuanya.

Dia bukan menjawab malah menarikku duduk di sebuah kursi,

"Ok, pelan-pelan. Jam berapa jemputnya? di mana?"

"Mas mau nggak?" Aku menjadi taksabar, karena waktu terus berjalan. Jika dia tidak bisa aku akan meminta yang lain.

"Iya, tapi aku nggak ada mobil lho ..."

"Ya udah kita sewa."

"Hmmmph, memang mamamu harus dijemput pake mobil? Motor aja gmn?"

Aku mendengkus, menyandarkan badan ke kursi. Sedikit lega karena dia bersedia. Selanjutnya tinggal menunggu kendaraan yang akan kami gunakan.

"Mas yang sewa mobilnya, ya?" Dengan mata yang kukedip-kedipkan, dan wajah memuja. Dia malah meninju lenganku, lalu tertawa.

"Iya ... Jam berapa?"

"Jam 2 di Joglosemar Jamal."

"Ok. Hadiah buatku apa?"

"Siap jadi freelance di sini seminggu."

Dia terkekeh,

"Pramusaji setua kamu, nggak bikin kafe laku!"

"Ngarang! Nantangin nih?"

Kutinju bahunya. Lagi-lagi dia tertawa.

"Aku ganti baju dan siap-siap dulu, sekalian ngambil mobil. Kamu nunggu di sini aja. Mau makan dulu, nggak?"

Aku menggeleng. Pria memesona ini sejak malam itu menjadi andalan nomor satu. Entah kenapa hatiku merasa nyaman saat bersamanya, atau meminta tolong padanya. Aku merasa aneh juga.

Satu jam lebih aku menunggu, jam sudah menunjukkan pukul 13.00, Mas Krisna belum juga datang, aku mulai ketar-ketir.

Memainkan ponsel dan beranjak menuju meja layanan.

"Mas, no HP Mas Krisna berapa?"

tanyaku pada seorang barista yang sedang menyusun cangkir-cankir kopi.

Dia menyebutkan sederet angka. Baru saja selesai aku menyimpan nomornya, sosok itu ada di sana. Di pintu masuk. Tampilannya sudah berbeda, sangat rapi persis dengan gambarannya pada profil IG. Rambutnya dikucir dalam kondisi wet look, lengan kemejanya digulung setengah dan dia tampak habis mandi.

"Nggak usah ngiler gitu, Vi ... Ganteng, ya?"

Tuhan, ini beneran makhlukMu yang paling seksi. Dia menepuk bahuku yang masih berdiri kaku.

"Ayok! Udah jam satu lewat!"

"Selamat kencan, Boss!!"

Kudengar salam dari barista yang kutanyai tadi.