webnovel

Dokter Ganteng

"Mba Di, anterin Arie ke dokter, ya!"

"Kenapa?"

"Udah dua minggu meleer terus tiap pagi."

Begitu rekaman pesan pada aplikasi bergambar telepon hijau di ponselku. Dengan Jupe —motor kesayangan— kubelah jalur Jakal-Pogung untuk menjemput Arie dan mengantarnya. Gadis itu sudah alpa di dua kelas pelajaran hari ini. Tidak bisa berlama-lama membiarkan dia merana. Gadis muda yang sepuluh tahun terpaut usia dariku adalah partner in crime yang menemani keseharian. Jika ia sakit, akan berimbas juga padaku.

Kami putuskan menuju K24 untuk berobat. Sebuah klinik 24 jam yang cukup lengkap di mana terdapat apotek dan dokter periksa. Bau obat bercampur karbol menyambut kami saat membuka pintu. Aku bergegas ke meja daftar dan menuliskan beberapa data di buku dipandu seseembak yang bertugas di pintu ruang periksa. Ternyata Arie sudah pernah kemari, aku tahu dari kartu data pasien yang diisi oleh seembak tadi.

Arie terlihat gagah, saat akan masuk ke ruang periksa, tapi tetap saja dia menarik lenganku untuk ikut. Seorang dokter mempersilakan kami duduk. Pria matang yang lumayan menarik, bisikku dalam hati. Kulirik papan nama kecil yang disematkan di atas saku bajunya. dr. Guntur Daniswara. Kutaksir usianya pada angka berkepala empat. Tubuhnya atletis dengan tinggi 170-an. Sempurna. Wajah yang masuk kategori sedikit di atas rata-rata pada angka 7.5 dalam kisaran nilai 1 hingga 10. Namun, ada sesuatu dibalik sosoknya yang membuatku terpanggil untuk mendekat.

Tidak kudengar percakapan antara mereka, pikiranku masih sibuk dengan maunya sendiri. Arie mencubit pahaku, membuatku tersadar dan kembali fokus pada kalimat yang disampaikan Mas Dokter. Aih, aku menggelarinya Mas.

"Mbak-nya sering sekali flu, kalau dalam dua minggu belum sembuh juga ..."

Mas dokter menggantung kalimatnya membuat Arie menyambar dengan pertanyaan kenapa.

"Obatnya yang paling jitu, ya, menikah," katanya dalam sebuah senyum gambaran iklan pasta gigi.

Sontak aku tertawa lepas, solusi jitu untuk seorang gadis yang terkena flu. Arie tersenyum malu-malu.

"Ya, nggak gitu juga, Dok." Kulihat Arie merah jambu.

"Virus flu kan sama dengan virus cinta, Mbak. Obatnya cuma satu, menikah."

Ia tersenyum lagi saat menuliskan resep. Ekor matanya melirikku dan kami sempat terjebak lima detik dalam pandangan hanya kamu dan aku.

Proses pemeriksaan selesai dan Arie diminta untuk menyerahkan resep ke loket obat.

Sebelum aku mengikuti langkah Arie yang lebih dulu keluar, dia sempat menyelipkan kartu nama di tanganku dan berbisik

"Tolong hubungi Saya, ya" sambil mengedipkan mata. Aku menatapnya sambil mengerutkan dahi kemudian menyusul Arie.

"Pak Dokter kenapa, Mbak?" tanya Arie, bertepatan dengan jatuhnya bokongku di kursi.

"Nggak apa-apa," jawabku masih dalam rasa tak percaya. Aku mencoba menyembunyikan sebuah kegugupan.

"Mbak Di, mukanya nggak bisa bohong kalau mupeng. Ganteng ya, Mbak?"

"Apa sih, Rie ..." Kucoba menyembunyikan kartu nama yang masih ada dalam genggaman. Arie mengulaskan senyum dan mengendikkan bahu.

Sambil menunggu panggilan penerimaan obat, Arie mulai asik dengan ponselnya dan aku meraih BB dari saku jaket setelah menyembunyikan lembaran kartu nama.

Kubuka beberapa pesan BBM. Ada lima 'ping di sana dan rentetan pesan dari Lintang.

[Dimana?]

[Sudah makan belum?]

[Dinner, yuk!]

[Sibuk, ya?]

[Bisa ketemuan kan?]

Kubalas pesannya dengan satu penolakan dan alasan masih sibuk.

BBM berbunyi lagi, pesan yang tertulis di sana,

[Acara ke Prau ditunda, sampai bulan Pebruari]

***

"Mba Di, kencan lagi semalam?" pertanyaan Arie, mengganggu aktifitas chatku pada pria baru. Hanya kugerakan bahu sebagai jawaban dan seulas senyum di bibir.

Sore ini, selepas kuliah Manajemen Dasar Kebencanaan, aku mengantarkan Arie pulang, hidungnya masih meler dan kepalanya agak pusing. Kondisi yang juga riskan untuk menularkan virus padaku. Tetapi, siapa lagi yang akan mengantarnya pulang selain aku paling Nuril yang bisa dimintai tolong. Hari ini Nuril sedang sibuk dengan kajiannya.

"Yang mana, Mba? Baru lagi? Pak Pengacara kemaren gimana? Mas Dosen? Mas Perjaka? Itu yang Guide Travel? Ya Ampun Mba ...  aku lho yang 25 tahun nggak bisa begitu tebar pesona, langsung dapat. Ilmu di bagi-bagi deh ..."

Si bawel teman kelasku dan patner in crime ini kalo sudah bicara macam martir saja.

"Apa sih, Rie? Kamu 'kan nggak limit menikah, aku sepuluh tahun lebih tua darimu." Sebuah alasan klise atas eksperimen yang aku lakukan.

"Tapi mba nggak takut ya? Ketemu orang baru, kalau diapa-apain gimana? dua tiga kali chat atau telepon, Mba langsung ketemuan gitu"

"Kan ada kamu!"

Ia sudah meringsek di sampingku, ikut membaca pesan yang kukirimkan pada aplikasi dating Beetalk.

Kadang Arie lah yang kuminta menjawab pesan-pesan di sana. Terkadang Nuril temanku lainnya yang kuminta menjawab. Gadis-gadis muda itu adalah tim tanggap darurat yang siaga menolong jika terjadi apa-apa pada kencan-kencan perdana yang aku lakukan.

Gadis itu bergerak membuka laptopnya di sampingku.

"Ciyus, Mba. Teman makan semalam siapa?" Alisnya menaut walaupun tatapannya kembali tertuju pada layar laptop miliknya. Sebuah tugas interpretasi daerah rawan bencana menyita perhatiannya. Ternyata ia masih saja penasaran pada kencan semalam.

"Oom Dokter Guntur, ngajakin aku nonton live music di Kafe... Biasa deh curhat oom-oom di tengah malam."

Arie ternganga di sebelahku. Tatapannya kuberi judul 'Gila, dokter gue, elu embat juga'