webnovel

PENAWARAN

8/6/22

Happy Reading

***

"YA TUHAN, BOS JARVIS!!"

Laya benar-benar frustrasi menghadapi Jarvis, yang ternyata sifatnya random ini.

Setahu Laya, kalau di novel-novel yang pernah dibacanya jika boss-boss pemilik perusahaan itu memiliki sikap yang tegas, jantan, keren, dingin, jual mahal ... tapi ini?!

Ambyar, sudah!!

Dasar menyebalkan!!

"UANG ITU UNTUK BIAYA OPERASI TUNANGAN SAYA!!!"

"Heuh?" Dahi Jarvis berkerut tidak percaya.

"IYA!"

"Katanya hidup sendiri?" Jarvis melipat kedua tangannya didada. "Bohong?!"

"Tidak!" Laya menggeleng. "Saya memang hidup sendiri di kost." Dia menekan pasti kata kost. "Tidak mungkin kan saya tinggal di kosan putri dengan tunangan saya yang belum resmi menikah, Boss! Lagi pula tunangan saya itu dirawat dirumah sakit! Dia sedang sekarat! Kalau tidak secepatnya dioperasi dia bisa mati! Ada banyak alat-alat yang menempel di tubuh tunangan saya!"

Hishhhh!! Tangan Laya sampai harus bergerak kesana kemari— memberitahu letak dimana saja alat-alat medis itu dipasang di tubuh tunangannya.

"Tunangan saya harus segera dioperasi secepatnya. Ada pendarahan serius otaknya. Saya tidak tahu istilah medisnya apa. Yang jelas tunangan saya harus secepatnya dioperasi. Biayanya tidak sedikit. Gaji saya selama bekerja disini digunakan untuk biaya perawatan dia, dan lagi saya harus menabung untuk biaya operasinya," jelas Laya panjang lebar. Napasnya bersengalan kesal melihat bosnya yang sangat menyebalkan itu. "Gaji yang saya dapatkan tidak digunakan untuk foya-foya." Laya menarik napasnya panjang-panjang.

"Enam bulan lalu, tunangannya saya mengalami kecelakaan …." Laya berdehem kasar, ia tidak sanggup melanjutkan cerita hidupnya yang kacau balau ini.

"Eumm, cerita yang menyedihkan ternyata." Jarvis menghela napas panjang. Dia tidak mau percaya 100% dengan cerita klasik seperti itu. "Terus, kenapa kau masih baik-baik saja?" 

Ya Tuhan!!

"Saya tidak bersamanya saat terjadi kecelakaan itu, bos!!"

"Oh." Jarvis mengangguk paham. "Lalu orang tuanya?"

"Dia yatim piatu," jawab Laya terpaksa menjelaskan. "Orang tuanya meninggal saat dia berumur 17 tahun. Tepat dihari ulangnya waktu itu." 

Laya menghembuskan napasnya. Dia ada disana saat Vihan kehilangan orang tuanya.

"Eumm, kasihan juga nasib tunanganmu itu."

"Iyaa," ucap Laya, suaranya bergetar menahan tangis.

Jarvis bisa melihat kesedihan itu tapi ...

"Kenapa harus kau yang membayar semua biaya perawatan dan bertanggung jawab membiayai operasinya? Pasti tunanganmu itu punya keluarga, kan? Dimana mereka semua?" tanyanya penasaran. Tidak mau bersimpati lama-lama.

"Setelah kematian kedua orang tuanya, tunangan saya dibuang. Sama seperti saya, bos." Laya tersenyum getir. Sakit sekali hatinya jika mengingat kejadian enam bulan lalu, huh!

"Heuh? Sama sepertimu?"

Laya langsung mencelos. Tidak mau melanjutkan pembicaraan pribadi ini lebih lanjut lagi. "Jadi?"

"Apa?"

"Bos mau meminjamkan uang itu pada saya?" tanya Laya. Kali ini dia berusaha melembutkan nada suaranya.

"Ohhh, kembali ketopik lagi ternyata?" Jarvis mengangkat bahunya dengan acuh. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan, berjalan mendekati gadis itu.

"Bos, ayolah." Laya tanpa sadar merengek lelah. Sudah terlalu lama ia berada di ruangan Jarvis, pasti ia sudah dicari oleh Ibu Wati. 

Huh!

"Oke." Jarvis menghentikan langkahnya tepat 3 meter di depan gadis itu. Hem, manis juga ternyata. 

"Bos mau meminjamkan uang itu pada saya?" tanya Laya. Senyum sumringah terbit begitu saja di bibirnya.

"Oke, bagaimana cara kau akan melunasi hutang itu?"

"Eh?" Laya berkedip kaget. Ia tidak memikirkan hal itu. Tapi, "Bagaimana dengan gaji saya? Potong satu juta per bulan." Hanya itu yang bisa Laya janjikan.

"What?!!" Jarvis menggeleng tidak setuju. "Itu uang 350 juta. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Dalam waktu satu tahun, kau baru bisa membayar hutang itu 12 juta. Dalam dua tahun hanya 24 juta. Dua belas dikali ...."

Jarvis melihat Laya, yang sedang berkedip bingung. "Bisa bantu saya berhitung?"

"Hah, iya, bisa, boss." 

Walau bingung setengah mati, akhirnya Laya jadi ikut-ikutan berhitung. Karena tidak ada ponsel, dia jadi menghitung menggunakan ilmu awang-awangnya, dan bossnya pun sepertinya juga pakai ilmu perkiraannya. 

Setelah ketemu hasilnya ....

"Ya Tuhan!" Laya terkejut dengan hasil yang didapatnya. "Dua puluh sembilan tahun saya baru bisa melunasi hutang-hutang saya!!"

"Salah." Jarvis menggeleng tidak setuju. 

"Salah?!" 

Alih-alih menjawab, Jarvis justru melebarkan telapak tangannya.

"Tidak ada apa-apa?" Laya bergumam bingung.

"Hitunganku … 30 tahun." Jarvis menunjuk telapak tangannya. "Disini tertera, 360 juta."

"Lho? Saya pinjamnya 350 juta, bos."

"Tapi kalau 29 tahun hanya 348 juta. Itu Kurang 2 juta. Anggap saja 12 jutanya itu adalah bunga. Bagaimana?"

"Rentenir," gumam Laya kesal.

Jarvis melebarkan daun telinganya. "Kau sebut saya renternir, oke … sebaiknya kau pinjam saja ke rentenir. Bagaimana?" 

Ya, elahhh!

"Oke, maaf, bos." Laya mendengus, susah juga ternyata meminjam uang dari bosnya ini. "Jadi? Deal, kan? Saya bisa meminjam uang itu?"

Jarvis menggeleng. Dia balik badan, melangkahkan kaki menuju ke meja kerjanya lagi.

Oke, cukup sudah ia menilai penampilan luar dari wanita itu dari dekat. 

"Kalau saya setujui ... bisa-bisa saya mati duluan nanti," kata Jarvis, yang sudah duduk di tepian meja lagi.

"Ha-hah?"

"Ya … bisa kau bayangkan tidak? Dalam waktu 30 tahun kedepan, saya harus mengawasimu untuk membayar hutang. Pekerjaan saya sangat banyak dan hidup saya tidak hanya untuk mengurus hutang-hutangmu itu dan lagi, dalam kurun waktu 30 tahun, hidup mati saya dan kau tidak ada yang tahu, kan? Kalau kau mati duluan sih, enak. Jadi hutang itu akan lunas dengan sendirinya. Saya tidak mungkin menagih pada orang mati, kan? Nah, kalau saya yang mati duluan? Tidak mungkin juga arwah saya yang menagih hutang itu? Untung ruginya, kau yang lebih diuntungkan dalam hal hutang berhutang ini."

Harghhhh!! Laya menjerit di dalam hati. Astagaa!! 

Sabar ... sabar ... sabar!

Bosnya ini ternyata pandai sekali dalam hal negosiasi!

"Iyaa, saya tahu! Tapi, kan perusahaan milik Anda dan lagi, Anda tidak perlu turun tangan sendiri untuk mengurus hutang saya."

"Ohh, jadi kau mau semua orang tahu, kalau kau pinjam uang sebesar itu pada saya?" 

"Eh, anu itu, hisshhh!" Laya mendengus. Kalah telak. Memang tidak ada yang tahu sama sekali tentang keadaan Vihan selain Savita. "Maaf."

"Ya, tidak masalah." Jarvis tersenyum penuh kemenangan.

"Sebagai pemilik perusahaan sebesar ini ... eum, apakah Amda tidak bisa meminjamkan uang itu pada saya dengan mudah? Saya janji sebelum waktu 30 tahun itu, semua hutang saya akan lunas."

Deg? Eh? 

Kenapa suasananya mendadak jadi sehening seperti ini? Terus, kenapa wajah Jarvis langsung ditutupi mendung seperti itu. 

"Ada apa? Apa aku salah bicara?" Laya, bertanya-tanya dalam hatinya.

"Oke, kau boleh pergi." Jarvis berdiri— kembali duduk di kursi kepemimpinannya.

"Lho? Terus? Bagaimana kelanjutan peminjaman uang ini, bos?" tanya Laya, dengan kebingungan yang sesungguhnya.

"Eumm, cari lah cara yang cepat dan tepat untuk melunasi uang yang akan kau pinjam itu dari saya. Paham?!"

Laya mengangguk antara paham dan tidak paham dengan apa yang dikatakan Jarvis. 

"Kalau sudah ketemu caranya, kau boleh datang lagi kemari. Temui saya," kata Jarvis, mengenakan kembali kacamata minusnya. 

Apa sih, maunya Jarvis ini?

"Lalu lakukanlah penawaran yang tepat dengan saya."

"Heuh?" Laya mengerutkan kening. "Penawaran?"

Jarvis mengangguk.

"Lalu apa yang Anda inginkan dari saya?"

Jarvis mengedikan bahu.

"BOS!"

Jarvis tersenyum penuh arti. "Pikirkanlah sesuatu yang menguntungkan untuk peru ... em, maksud saya, lakukanlah penawaran  yang bermanfaat untuk saya."

Bermanfaat untuk Jarvis? Apa?

"Ingat untuk saya bukan untuk perusahaan!" 

Ingat untuk saya bukan untuk perusahaan ….

***

Salam

Busa Lin

Terima Kasih ●.●

Busa_Lincreators' thoughts