webnovel

BERTEMU JARVIS

28/7/22

Happy Reading

***

Pukul 10 pagi di rumah sakit Fransisco Isamu ….

Semalam, setelah melewati berbagai aspek pemeriksaan kesehatan serta dinyatakan baik-baik saja dan siap melakukan operasi ….

Pada akhirnya tepat pukul 9.15 Vihan Mahendra dibawa ke ruang operasi untuk melakukan operasi besar di kepala.

Laya bersyukur akan hal itu. Ia tak ada hentinya mengucapkan rasa terima kasih atas semua kemudahan yang didapatkannya.

Apalagi …. 

Laya yang duduk di kursi tunggu ruang operasi berulang kali melihat pintu. 

Entah kenapa ia berharap ada seorang pria tampan yang muncul dari sana dan mengajak mengobrol sambil menunggu operasi Vihan selesai.

Tapi, hem, Laya tak berharap banyak hal itu. Pria itu adalah orang yang sangat sibuk. Pasti di jam seperti ini, pria itu sedang bekerja. 

Apalagi perusahaan yang dimiliki pria itu adalah perusahaan paling besar se-Asia dan paling berpengaruh di dunia. Jadi kemungkinannya hadir disini, bisa dibilang 0%.

Oke, tidak masalah.

Untuk menghilangkan rasa bosan yang dicampur rasa khawatir, Laya mengambil headset dari saku jaketnya kemudian memutar musik dari ponselnya. 

Memutar lagu kesukaannya. iKON.

Sesekali sambil menyanyikan dengan lirih lagu yang sedang diputar, kedua mata Laya melihat lampu indikator operasi, masih menyala di angka satu itu tandanya operasi masih berjalan sangat lama.

Laya menghembuskan napasnya.

Ia berharap lampu itu segera berubah menjadi warna hijau.

Tapi, kapan?!

Entahlah, semoga saja operasinya berjalan dengan lancar dan cepat selesai.

Kruyuk … kruyuk!

Haish!

Sejak kemarin sore sampai pagi menuju siang ini, sebenarnya Laya belum makan bahkan sejak tadi malam matanya ini pun belum terpejam.

Rasanya nano-nano saat ini. 

Yang jelas, ia sangat ngantuk, pusing dan kalau lapar … eum, tidak terlalu sih. Ia juga tidak terlalu nafsu makan karena terlalu banyak memikirkan operasi Vihan.

Laya menyandarkan kepalanya pada dinding. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan lalu kiri. Matanya merem melek menahan kantuk. Sayup-sayup dari telinga kanan yang tidak dipasang headset, ia seperti mendengar seseorang sedang mengobrol dengan nada suara rendah. 

"Ah, paling orang sakit juga," batin Laya tidak mau ambil pusing.

"Ehem?!" 

Eh?!

Laya langsung menegakkan kepalanya. Matanya berkedip kaget saat melihat sesosok pria tampan sedang mendekatinya.

"Operasinya berjalan lancar?" 

Heuh?

Setelah memastikan suara itu milik Jarvis— pria yang diinginkan kehadirannya— bibir Laya refleks tersenyum senang. 

Tanpa sadar, dadanya seperti ditumbuhi bunga yang sedang bermekaran dan dihinggapi oleh ribuan kupu-kupu warna-warni.

Ah, perasaan ini … selama bertunangan dengan Vihan, Laya sama sekali belum pernah merasakan perasaan seperti ini.

Ada Mor dibelakang Jarvis. Sepertinya pria setengah baya itu selalu ikut kemanapun Jarvis pergi.

Dengan segera Laya berdiri kikuk menyambut kedatangan pria yang … eum, selalu terlihat tampan itu.

Dan, jujur dari dalam hati yang terdalam. Ia sedikit pun tidak menyangka jika Jarvis akan datang kemari. 

Haha, padahal tadi hanya menghalu biru, ehh, orangnya datang beneran.

"Lancar," jawab Laya mengedipkan mata penuh binaran rasa senang.

"Oh." Jarvis tanpa aba-aba duduk dikursi yang tadi diduduki Laya.

"Kenapa kau kemari, bos?" tanya Laya yang pada akhirnya duduk disamping Jarvis. "Kau tidak kerja? Tidak sibuk? Tidak ada rapat? Tidak urusan? Tidak tidak sedang sakit, kan? Kenapa kau terlihat lemas sekali? Kau sudah makan?"

"Hem." Jarvis menghembuskan napas dengan berat. Kupingnya mendadak tuli sesaat mendengar pertanyaan Laya yang beruntun itu. 

Melihat hal yang sangat menggemaskan itu, membuat Mor menahan tawa gemasnya.

"Ahh, maaf aku banyak tanya," kata Laya, tersenyum salah tingkah. Melihat Mor yang sedang mengalihkan matanya. Ia yakin Mor sedang menahan tawanya.

"Hem." Jarvis mengerutkan hidungnya. 

Dan hal itu sukses membuat Laya semakin gemas— sangat lucu— ingin ia mencium hidung Jarvis yang berkerut manja itu. 

Eh, hish! Kau apa-apaan sih, La!!

"Pertanyaanku tidak mau dijawab?" Laya bertanya sekali lagi.

"Pertanyaanmu yang mana yang harus kujawab," jawab Jarvis heran sendiri. "Pilih salah satu saja."

"Oke." Laya tampak berpikir sejenak. "Kenapa kau datang kemari?" 

"Aku hanya penasaran," jawab Jarvis.

"Penasaran? Untuk?" Dahi Laya mengernyit dalam. Mendadak bingung sendiri. Ini orang benar-benar aneh. Tiba-tiba datang tanpa memberi kabar, eh, pas ditanya, jawabnya hanya penasaran. "Penasaran akan?"

"Sesuai dugaanku." Jarvis menghela napas panjang. 

"Apa?!"

"Ternyata kau sendirian." 

"Ohhh." Laya mengerutkan hidungnya dengan sebal. 

Hish, menyebalkan!

"Aku yatim piatu dan dia pun yatim piatu. Kita berdua tidak memiliki orangtua dan—"

"Keluarga?" Jarvis memotong dengan pasti perkataan Laya lalu menatap mata wanita itu dengan sedikit kesal. 

Ya, kesal! Kenapa Laya harus menderita seorang diri? Apalagi tunangannya itu?! Hish, menyusahkan sekali!

Laya menggeleng ragu, menatap mata Jarvis dengan bingung. Artinya, ia tidak mau berurusan lagi dengan keluarga besarnya. 

Tapi ada yang aneh disini. Tumben sekali Jarvis menanyakan hal seperti ini.

"Oke, kalau Vihan yatim piatu itu tidak masalah, itu memang sudah jadi nasibnya." Jarvis menatap mata Laya dengan serius. "Tapi kau, setidaknya kau masih punya keluarga, kan? Dimana mereka? Tidak mungkin orang tuamu tidak punya saudara. Tidak mungkin orang tuamu tidak punya sahabat yang bisa diandalkan. Tidak mungkin … ck!" Jarvis menghentikan ucapannya. Ia mendecih. 

Kenapa juga harus ikut campur urusan pribadi Laya?!

"Hesh, sudahlah." 

Laya sedikit bingung. Tapi …

"Aku dibuang," ucapnya kemudian, menundukan pandangannya dari Jarvis yang terlihat menyeramkan. Kedua jari telunjuknya tertaut gelisah. "Mereka membuangku tanpa alasan. Aku juga tidak tahu dimana keluarga, kerabat dan sahabat orang tuaku."

Salah satu alis Jarvis terangkat sinis. "Cih! Gadis secantik dirimu saja dibuang, bagaimana kalau kau jelek? Aku yakin kau sudah jadi pembantu lusuh tak berguna." 

Laya mengangkat kepalanya—hampir tertawa mendengar ucapan Jarvis. 

"Aku yakin mereka akan rugi dunia akhirat."

Hihihi! Tuh, kan. Orang ini memang aneh. Ada saja lawakannya. Apalagi muka tampan itu terlihat sangat menggemaskan jika sedang emosi seperti ini.

Uhhh, anak siapa sih ini sebenarnya? 

Selera humornya lucu. Hihihi! Pasti, Jarvis dibesarkan dikeluarga yang sangat harmonis dan penuh canda tawa.

"Ikut aku." Jarvis beranjak dari duduknya.

"Ke-kemana?" Laya jadi ikutan berdiri. "Aku harus menunggu operasi Vihan, bos."

"Kau bilang ini operasi besar, kan?"

Laya mengangguk.

"Kau mau menunggu operasi tunanganmu itu selama 4 atau 5 jam disini?"

"Eh?" Laya celingak celinguk. Melihat pintu ruangan lalu melihat lampu indikator operasi yang belum berubah warna.

"Kita lakukan hal yang berguna."

"A-apa?"

"Ada hotel di sekitar sini, kan?!"

"Ehhh?" Laya berkedip kaget. "Ho-hotel?" Ia melihat Jarvis yang sudah berjalan meninggalkannya. "A-anu?"

Disaat seperti ini? Mau melakukan itu lagi? I-ini 'kan masih siang? Masa iya, di situasi genting seperti ini, ia melakukan hal seperti itu.

Hish!!

"Nona Laya." Mor berjalan mendekati Laya yang hanya diam saja bagai patung. Syok, terkejut, haha! "Tuan Jarvis hanya bercanda. Beliau mau mengajak Anda sarapan bersama," ucapnya dengan sopan.

"Eh?" Mata Laya berkedip kaget. "Sa-sarapan? Ah, iya, dihotel 'kan ada restaurant." Laya memukul kepalanya sekali. 

Sialan, bikin otak travelling saja!

"Tuan Jarvis sengaja belum sarapan tadi pagi. Dia baru saja melakukan peninjauan lapangan di sekitar sini lalu datang kemari setelah menyelesaikan semua urusan pekerjaannya, nona." Mor menjelaskannya dengan hati-hati.

"Ahhh!" Laya melongo tak percaya.

"Silahkan nona Laya pergi dengan tuan Jarvis. Biar saya yang menjaga tuan Vihan. Kalau ada hal yang mendesak, saya akan menghubungi nona atau kalau tidak tuan Jarvis."

Laya mengangguk samar.

Mor tersenyum senang, tangannya da da gemas saat melihat Laya berlari-lari kecil mengejar Tuannya itu.

"Hahh, semoga saja kedatangan gadis itu membawa Tuan Jarvis kembali kejalan yang lurus."

*

*

*

"Kalau mau ngajak sarapan bisa kan ngomongnya to the point, bos?!" Laya mendengus, tertatih mengikuti langkah Jarvis dari belakang.

Jarvis tidak menanggapi pertanyaan Laya. Ia tetap berjalan— yang tujuannya entah kemana. Disini ada hotel tidak, sih? 

Tadi Laya sudah menawarkan untuk makan di kantin saja daripada di hotel. Tapi, ia tidak mau. Sekali-kali ingin makan diluar, tidak dihotel tidak masalah tapi ….

Setelah keluar dari rumah sakit.

Uwahhh, panas sekali. 

Jarvis berjalan ke arah trotoar dan dengan dengan setianya Laya mengikuti Jarvis dari samping. 

"Mau sarapan dimana, bos?" tanya Laya yang gemas sendiri. Melihat mata bulat itu yang menyipit karena silau.

Jarvis menggeleng bingung. Ia tidak paham dengan daerah sekitaran rumah sakit Fransisco Isamu. Kalau ke hotel pasti sangat jauh jika berjalan kaki.

"Kalau di hippomart?"

Jarvis langsung menghentikan langkahnya. 

"Disana," kata Laya menunjuk ke arah supermarket. Diseberang jalan sana. "Harus nyebrang. Lampu merahnya disana."

"Oh, makanan instan?"

Laya menggeleng. "Bukan hanya makanan instan, ada masakan rumahan juga. Pilihan menunya juga banyak."

"Kau mau?" Jarvis balik bertanya.

Laya mengangguk dengan cepat. Jujur saja, sebenarnya, ia sangat Lapar. 

"Oke, baiklah." Jarvis meraih tangan Laya. Merapatkan Laya ke samping tubuhnya. Berjalan ke lampu merah, menunggu traffic lamp berubah jadi merah. 

Ini mau menyebrang jadi harus lebih hati-hati.

Eh?! 

***

Salam

Busa Lin

Terima kasih ●.●

Busa_Lincreators' thoughts