[NOVEL INI SUDAH PINDAH KE APLIKASI BAKISAH DENGAN JUDUL YANG SAMA]
Ayah semakin menjadi, ia membawa selingkuhannya kerumah. Sedang aku. Masih tidak tau ibu ada dimana. Semua orang mengetahui perselingkuhan ayah dan aku tidak tau kenapa mereka bilang tidak masuk akal tentang ayahku. Sebab aku melihat kekasih ayah yang baru itu sangatlah muda, terlihat seumuran dengan abang. Dan juga gayanya lebih kekinian berbeda dengan ibu yang lebih sering menggunakan daster.
Yang tidak kupahami, kenapa semua orang dirumah berlakon tidak tau jika ayah membawa perempuan lain selain ibu. Yang aku tau dari mulut tetangga, mereka bilang ayah menduakan ibu. Katanya, itu artinya ayah sudah tidak menyayangi ibu dan kami berdua.
Kemudian ayah memperkenalkan kekasihnya padaku dan adik lelakiku, ayah bilang.
"Naya, Agha, kenalkan ini pacar ayah, namanya Maya."
Tentu aku dan Agha hanya menatap tidak paham, jika perempuan itu kekasih ayah lalu siapa ibu?
Jadi kemudian kami berdua diarahkan untuk duduk dengan perempuan bernama Maya sedangkan ayah masuk kedalam rumah mengatakan ingin membuat minum dan mengambil cemilan.
"Hei, adek udah makan belum."
Kekasih ayah berpindah tempat mendekati Agha dan tersenyum manis. Agha yang ditanya segera merengsek menjauh dan menatapku sambil memegang lengan.
"Ibu, Agha pengin ketemu ibu kak."
Mati kutu, perempuan bernama Maya itu tersenyum kikuk tidak setulus sebelumnya. Aku menatap tidak simpati kemudian paham situasi aku menarik Agha agar jangan merengek merindukan ibu jika tidak ingin ayah marah besar. Ayah itu jika marah menyeramkan, matanya melotot hampir keluar dan tangannya pasti akan menampar maupun memukul kami dengan kasar, ayah tidak pernah main-main pada kami.
Walau adikku baru berumur lima tahun, tetap saja tidak ada belas kasihan dari ayah.
"Kakak ada permen sama susu, Agha mau?"
"Nggak mau, orang Agha pengin ketemu mamah malah dikasih susu sama permen. Kakak gak jelas banget."
Agha membalas dengan ketus karena perempuan bernama Maya ini belum menyerah merayu adikku.
"Oh...Yaudah."
Aku melihat wajahnya keruh setelah Agha menjawab sarkas dengan cara bocah cilik, Maya tidak mencoba mendaki Agha lagi dan aku juga tidak bersuara hanya melihat dan menarik Agha mencoba memperingati.
Ayah datang dengan wajah cerah sekali sampai aku bertanya dalam hati.
Apa ini benar ayah yang selalu membentakku?
"Hei... kenalin bang, ini ka Maya. Udah salaman belum?"
Ah, mungkin ini memang hari sial aku dan adikku, karena ayah memperkenalkan kekasihnya pada Agha yang tidak suka. Aku bisa memperkirakan hal buruk akan terjadi jika Agha menjawab dan aku tidak segera menutup mulut kecil nakalnya.
"Agha sangat suka kak Maya, ayah. Apa aku boleh keluar bawa Agha main?"
"Oh, yaudah. Kamu bawa adik kamu main dan ini sekalian bawa Agha jajan, ya."
Oh, baik sekali ayah dihadapan perempuan bernama Maya ini. Tidak biasanya ayah memberikan uang dua puluh ribu untuk jajan aku dan adik, biasanya kami diberi sepuluh sampai lima ribu untuk jajan berdua.
Padahal tetangga bilang, ibu selalu berpesan untuk minta uang ke ayah sebab ibu sudah mengirim uang untuk jajankami berdua. Lalu, kemanakah perginya uang pemberian ibu untuk kami?
.
.
Baiklah, disinilah aku sekarang. Duduk diatas kursi pantry dengan abang yang duduk dihadapanku dengan pakaian kasual yang terlihat segar, harum tubuhnya kurang dari satu meter sudah dapat aku cium. Dan aku juga memakai pakaian baru yang abang belikan, jika kalian berpikir aku dibelikan pakaian seperti wanita dalam cerita dalam novel dengan harga selangit dan mewah.
Kalian salah besar, karena sekarang aku hanya memakai sweater rajut yang tebal dan celana traning bewarna abu-abu muda, semuanya serba panjang. Disebelah kami berdiri seorang lelaki yang abang panggil Deden, sekretarisnya.
"Pengacara sedang menyiapkan berkas pak. Mungkin belum rampung tapi bisa disahkan lebih dulu."
"Hm. Kamu boleh keluar."
Dan tinggallah kami berdua yang duduk berhadapan dengan abang yang anteng sekali makannya, cara makannya sangat elegan dan terlihat begitu keren. Aku membicarakan hal yang nyata, kamu tau cara makan chef Renatta ketika mencoba makanan peserta kan?
Begitulah kira-kira versi laki-lakinya, dengan lengan kokoh seperti Chef Juna. Kamu pasti akan merasa canggung seperti diriku. Gugup sekali aku sampai makanan pun tidak terasa nikmat, padahal dapat kulihat jika sarapan pagi ini terlihat mahal dan mewah. Bolehkah aku membungkusnya untuk kubawa pulang dan memakannya bersama Agha.
"Makan dengan benar, atau perlu aku suapi kamu?"
"Ah?"
"Makan dengan benar!"Ulangnya kemudian dengan tatapan tajam yang membuat sekujur tubuhku kaku meremang."Kamu ini memang budeg, ya?"
"Hah?"Aku tidak paham, tapi dari tatapan mata abang kemudian aku mengerti.
Dan menunduk untuk kembali fokus pada makanan milikku sampai semua bak film yang hilir mudik dikepalaku, ketika tangan kekar abang memeluk dan membelai tubuhku. Aku mendongak untuk menatap abang, bibir itu menciumi hampir seluruh tubuhnya seringan bulu sampai tubuhnya kembali meremang menyenangkan.
Tidak, aku nggak boleh mengingat apapun tentang semalam. Bagaimana tentang pekerjaanku semalam? Eh, tidak, kan sudah ada pak Yazid mungkin sudah izin dengan bosku.
Uh, keluar dari sini aku yakin teman-teman kerjaku akan mengolok-ngolok diriku. Sialan, karena abang semalam aku malah pasrah menikmati. Ya tuhan, aku tidak seharusnya begini. Tapi aku tidak menyesalinya, itu menyenangkan dan aku merasa bebas. Untuk pertama kalinya. Jadi, apa aku kini sudah kehilangan harga diriku?
"Gimana kabar kamu selama ini. Kenapa bisa sampai bekerja disini?"
Aku segera mendongak untuk melihat abang yang sedang bertopang dagu menatapku, aku yang gugup malah balik terpaku menatap abang. Seriusan, abang begitu mengintimidasi hanya dengan pandangan tajam matanya.
"Yara, Abang bertanya."
"Eh... A-aku bekerja disini sudah selama lima tahun kurang lebih."
"Kenapa, kenapa harus disini."
"Kenapa abang perlu tau?"
"Oh, tidak usah diberitahu jika kamu memang tidak mau memberitahu."Ucap abang sambil meneguk minumnya.
"Karena kebutuhan, Agha perlu uang sekolah dan kami perlu tempat tinggal baru jauh dari ayah."
Dengan sadar aku malah menjawab pertanyaan abang.
Dan abang kembali memfokuskan pandangannya padaku sambil tersenyum tipis sekali, sejujurnya sedari kecil aku tidak bisa menahan diri untuk selalu memberitahu abang tentang sesuatu yang aku alami ataupun yang aku lakukan.