Monica belum pernah melihat hendrik memohon dengan sangat seperti ini. Dirinya terdiam. Jika apa yang dikatakan Martha beberapa waktu lalu mengenai apa yang akan dilakukan Kakeknya itu terhadap masalahnya dengan Hendrik itu benar, maka yang harus ia lakukan adalah...
Monica menatap Hendrik dingin.
"Kau salah jika mengatakan ini padaku karena aku tidak akan memberikan perubahan apapun yang berarti. Jika apa yang kau katakan adalah benar, maka kau hanya perlu bertemu dan berbicara dengan Kakek secara langsung. Aku tidak ada hubungannya dengan masalahmu ini. Ini masalah di antara kalian. Karena itu hanya kalian berdualah yang bisa menyelesaikannya sendiri," seru Monica tanpa ampun.
Hendrik terkejut mendengarnya. Ia tidak menyangka bahwa Monica akan begitu bersikap dingin padanya seperti ini. Ia berdiri dengan lemas. Harapannya seketika sirna. Dan ia tahu ini adalah akibat dari perbuatannya sendiri.
Monica mengalihkan perhatiannya. Ia tidak ingin merasa iba dengan orang yang sudah sangat pintar dalam mempermainkan perasaannya. Karena itu ia memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka segera.
"Karena kau sudah selesai menyuarakan keinginanmu itu padaku. Maka aku sebaiknya pergi. Aku harap kau bisa segera mengatasi masalahmu dengan cepat. Dan satu hal lagi. Jangan menemuiku lagi dengan alasan apapun! Kau membuang banyak waktuku," seru Monica datar dan tanpa perasaan. Ia lalu melesat pergi meninggalkan Hendrik yang berdiri dengan tanpa daya.
Ini mungkin adalah hukuman untukmu dari Tuhan agar kau merenungkan semua kesalahanmu itu sedikit lebih lama. Supaya kau benar-benar bisa menyesalinya. Kau pria yang tidak tahu malu. Aku tak habis pikir, bagaimana aku bisa dengan mudahnya menyukai pria semacam kau selama 4 tahun?! Aku pasti sudah sangat buta sebelum ini...
***
Tanpa menunda lama, Monica melangkahkan kakinya keluar dari restoran diikuti oleh dua pengawal yang sejak tadi sudah mengikutinya bahkan saat ia sedang berbicara dengan Hendrik. Beruntung mereka mengawasi dari kejauhan tanpa membuat gerak-gerik apapun yang mengkhawatirkan.
Sementara, dua pengawal yang lain telah berjaga-jaga diluar resto, tepat di samping mobil Audi8 milik Bryan. Monica menatap keempat pengawalnya itu dengan kesal.
Setelah pulang, ia harus membicarakan masalah ini dengan Kakek. Kakek tidak bisa melakukan hal yang konyol ini padanya. Ia jelas bukan tawanan yang perlu dijaga ataupun dibuntuti. Jika Kakek tidak juga menghentikan kewaspadaanya itu segera, maka Monica akan sangat membuat Kakeknya itu jerah dengan cara apapun!
Dengan kasar Monica masuk ke dalam mobil putih yang sudah menunggu dengan manis di depannya. Dan setelah dirinya dipersilahkan masuk oleh kedua bodyguardnya yang bertubuh besar, ia duduk dengan gusar dan langsung melipat kedua tangannya di depan.
Tepat ketika itu, ada sepasang mata elang memperhatikannya dari samping. Monica bisa merasakan aura yang dingin dan tidak bersahabat dari sisi sebelah kirinya. Ia menolehkan kepalanya. Dan langsung mendapat tatapan lekat dari Bryan. Monica mengerutkan kening.
"Apa kau punya masalah denganku?" tanya Monica yang tetap tenang walaupun menerima tatapan mematikan dari teman seperjalanan pulangnya itu.
Monica tidak tahu apa yang menjadi pemicu laki-laki itu menatapnya tajam. Tapi jelas Bryan seharusnya tidak perlu menatapnya seperti ini. Tatapannya seolah mengisyaratkan bahwa Monica telah tertangkap basah melakukan suatu tindak kejahatan besar dan perlu untuk mendapatkan hukuman. Tapi, apa itu tidak salah?
"Kau adalah wanita yang sungguh hebat! Pria itu jelas menemuimu dengan maksud tertentu, tapi kau justru menerimanya dengan tangan terbuka. Apa kau biasa menghadapi orang-orang yang sudah menjahatimu dengan sikap yang seperti ini? Mengizinkannya mengatakan omong-kosongnya kembali?" Bryan sukses membuat Monica terkejut dengan pernyataan yang begitu panjang yang dilontarkan pria itu tentang masalahnya.
Sejak kapan dia begitu peduli dengan urusan pribadinya dan menjadi cerewet? Apa ini dirinya yang sebenarnya? Pria yang suka mencampuri urusan oranglain?
"Apa yang dikatakannya padamu?" tanya Bryan lagi dengan sikap menyidik karena tidak sabar menunggu jawaban Monica yang tidak kunjung didapatkannya.
Monica mengangkat sebelah alisnya.
"Apa menurutmu aku perlu untuk menjawabnya?" Monica menbalas dengan malas. Ia merasa dirinya sama sekali tidak perlu menjelaskan apapun tentang apa yang dikatakan Hendrik padanya barusan. Hal ini jelas tidak ada hubungannya dengan Bryan.
Bryan menyunggingkan seulas senyum devil dibalik bibirnya yang tipis.
"Apa dia memintamu kembali?" tanyanya datar tapi Monica yakin pertanyaannya itu penuh dengan nada merendahkan.
Monica menatapnya sinis, "Itu bukan urusanmu."
Bryan mengangguk. Itu memang bukan urusannya. Tapi ia merasa perlu untuk tahu apa kiranya yang dikatakan mantan pacar calon tunangannya.
"Ah, aku tahu. Itu jelas tidak mungkin 'kan? Laki-laki itu pastinya cukup pintar untuk tidak memintamu kembali. Dia terlihat sangat tidak menyesal telah meninggalkanmu. Dan setelah melihat sifatmu ini, dia jelas telah sangat bersyukur sekarang."
"Kau..!!" Monica melototinya dengan tajam. Emosinya mulai naik.
Apa-apaan pria ini? Apa dia sudah gila? Berani sekali dia membangunkan amarah singa betina yang sekarang sedang sangat-sangat sensitifnya?? Apa dia mau cari mati?!
Monica menghela napas panjang, berusaha mengontrol emosinya. Percuma berdebat dengan makhluk Saiko satu ini. Lebih baik ia mengabaikannya demi kesehatan jiwa dan raganya yang saat ini sudah banyak terkikis. Ia memalingkan wajahnya keluar jendela dan berpangku tangan. Tatapannya langsung kosong.
Bryan terdiam.
Kenapa wanita ini hanya diam dan tidak membalas? Apa ucapannya barusan keterlaluan?
Ia terus menatap Monica dari sudut matanya, tapi wanita itu tidak kunjung membalasnya. Sejujurnya Bryan cukup merasa bingung dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya ia menjadi peduli dengan drama kompleks yang terjadi di sekitarnya. Terlebih lagi dengan orang yang bahkan baru dikenalnya.
Bukankah itu sedikit aneh?
Bryan mengerutkan bibirnya, "Apa kau benar-benar tidak akan mengatakannya?"
"Hem.." Monica hanya ber-hem ria.
Ini jelas menunjukkan sikap anti bicaranya yang tentunya tidak akan pernah berubah sekalipun mendapatkan bujukkan apapun. Monica sama sekali tidak punya niatan apapun untuk menceritakan masalahnya pada orang yang tidak diinginkannya.
Melihat itu Bryan memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut dan mengalihķan pandangannya ke tempat lain.
***
Monica dan Bryan akhirnya sampai di kediaman Anggoro dengan selamat. Tentu saja selamat karena keduanya terus mendapatkan pengawasan yang ketat dari keempat pengawal Kakek yang sudah membuntuti mereka di belakang sejak mereka keluar dari restoran menuju ke rumahnya.
Apapun itu, yang penting saat ini Monica akhirnya bisa bernapas lega karena setidaknya ia tidak hanya bisa lepas dari sekumpulan penguntit konyol itu, tapi juga pria gila yang entah bagaimana bisa menjadi calon tunangannya itu.
Monica belum pernah begitu sangat bersukacita saat ia sampai di depan rumahnya seperti ini. Serasa ia telah menemukan tempat mata air kehidupan ketika dirinya berada di tengah-tengah gurun pasir yang sangat kering dan gersang.
***