Malam yang diatur telah tiba.
Monica telah mengenakan gaun panjang bermodel sabrina warna maroon dengan beberapa manik yang tersusun rapi membentuk sebuah gambar ranting berbunga di sisi bagian samping gaunnya yang terjuntai.
Ia juga menggunakan make-up yang sengaja dibuatnya tipis agar tidak terlalu mencolok untuk menyelaraskannya warna gaunnya yang sudah cukup menarik perhatian.
Walau ia menggunakan riasan yang tipis, hal itu tidak bisa menutupi kecantikannya yang alami. Ia sangat mempesona sehingga membuat banyak orang terpukau begitu melihat dirinya.
Tak terkecuali Bryan. Ia cukup terhentak melihat penampilan gadis itu malam ini. ia tahu gadis itu memang memiliki paras yang berada di atas rata-rata. Tapi penampilannya malam ini sukses mengundang adrenalinnya yang sudah sangat lama terkubur di bagian terdalam dirinya.
Bryan sempat terkejut dengan reaksinya ini. Ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya bisa sangat liar dan tidak terkendali bahkan hanya dengan melihat keseluruhan penampilan calonnya itu malam ini. Ini seolah bukan dirinya.
Tak hanya Bryan yang terkejut dengan penampilan pasangannya malam ini. Monica juga sama terkesimanya melihat penampilan Bryan. Dalam ingatan Monica, ia tahu bahwa Bryan termasuk dalam kumpulan wajah terbaik yang dimiliki seorang pria.
Dengan mata yang tajam, hidung yang mancung dan rahang yang terbentung sempurna. Laki-laki ini sukses membuat banyak pasang wanita menatapnya dengan takjub. Tak bisa dipungkiri, Bryan memang lebih tampan bila dibandingkan dengan Hendrik.
Walau selama ini Monica tidak pernah melihat seseorang pria hanya dari wajahnya saja. Tapi begitu ia melihat wajah Bryan, ia tak bisa memungkiri dirinya untuk tidak belama-lama memandang wajahnya itu.
Semua akan menjadi lebih lengkap jika saja pria itu memiliki sikap yang lebih kooperatif terhadapnya, tidak peduli seberapa tampan dan pintar dirinya di hadapan oranglain. Yaa... walaupun tentu saja, kecerdasan dan juga wajahnya itulah yang menjadikan alasan dibalik keangkuhan dan kesombongan pria itu di depan Monica.
Bryan menarik kursi dan mempersilahkan Monica untuk duduk begitu mereka sampai di meja makan yang telah di pesan. Monica menuruti dan dengan gusar melirik sekitarnya dari sudut matanya. Agaknya ia jengkel dengan sesuatu hal yang dirasanya tidak benar. Ia mainkan jari-jari kanannya di atas meja dengan tidak nyaman.
Lagi. Lagi. Dan lagi.
Ada beberapa orang yang mengawasi mereka. Dua di sudut meja ujung kanan Monica. Dan dua orang lain berada di sudut belakang kiri Monica. Ia menggerutu di dalam hati menyaksikan apa yang baru disadarinya itu.
Ditatapnya Bryan yang sudah mengambil tempat duduk dengan tenang tepat di depannya. Dan sama sekali tidak terganggu dengan banyak pasang mata yang mengawasi mereka. Pria ini jelas tidak mungkin tidak menyadarinya. Gerak-gerik mereka terlalu mencolok.
"Jangan menatapku seperti itu. Aku tidak pernah menyuruh mereka untuk mengawasi kita," ujar Bryan yang sudah mengerti apa kiranya yang akan dikatakan Monica, sebelum wanita itu mengatakannya.
Monica tak membalas. Ia jelas tahu bahwa orang-orang itu bukanlah orang-orang suruhan Bryan. Mereka jelas adalah orang-orang suruhan Kakek.
Monica benar-benar kesal. Apa Kakek perlu sampai melakukan hal ini? Dia bukan lagi seorang anak kecil yang berumur dua atau tiga tahun. Ia jelas adalah seorang wanita dewasa yang tidak perlu mendapat pengawasan yang seketat ini dari walinya! Apa Kakek takut dirinya akan kabur lagi?
Kakeknya jelas tahu ia sudah memegang kartu As-nya. Jadi tidak mungkin jika saat ini Monica melenggang dengan cantik pergi begitu saja tanpa mengkhawatirkan konsekuensi yang akan dihadapinya nanti.
"Kau ingin memesan apa?" tanya Bryan membuyarkan lamunan Monica.
Tiket keluar jika bisa, batin Monica.
"Apa saja terserah. Aku tidak terlalu bernapsu untuk makan. Jadi kau boleh pilihkan aku makanan apapun untukku," jawab Monica seadanya tanpa menyuarakan pikirannya itu.
Bryan melihat sekilas menu di daftar menu lalu memanggil salah seorang waiters dan menyebutkan beberapa pesanan. Waiters itu mencatat dan mengulang pesanan untuk memastikan pesanan itu benar, kemudian pergi.
Bryan melihat Monica yang masih terlihat cemberut. Ia melirik ke arah 4 pengawal yang mengawasi mereka.
"Apa kau sungguh tidak merasa nyaman?" tanya Bryan datar tanpa menunjukkan emosi apapun dalam nada bicaranya.
Monica tidak menjawab.
"Sepertinya Kakekmu sangat menjagamu dengan ketat. Atau mungkin ini karena kau cukup badung dan susah untuk diatur sehingga kau perlu mendapat perlakuan ekstra?" ucapan Bryan memancing emosi Monica.
Lihat orang yang selalu di sanjung Kakek. Monica yakin orang ini perlu untuk belajar di kelas etika secepatnya. Pria ini selalu saja senang menyulut emosinya kapanpun dan dimanapun.
"Melihat kau masih bisa emosi seperti ini, aku rasa sekarang kau sudah baik-baik saja setelah apa yang beberapa hari lalu terjadi padamu. Hari ini kita tidak akan memesan anggur atau wine jadi aku yakin kau tidak akan mabuk atau mengacau seperti waktu itu. Kau tidak mungkin membuat Kakekmu malu lagi 'kan?" Bryan berkata lagi dengan sengaja. Entah mengapa ia menjadi senang memprovokasi calonnya itu dengan hal-hal yang memalukan.
Monica mencoba mengabaikan semua omong kosong Bryan. Menurutnya, tidak ada gunanya bila ia berdebat dengan pria yang sudah mengetahui segala hal yang buruk dan memalukan tentangnya hanya dalam satu malam.
Ia hanya menyayangkan wajah tampan pria itu yang sekarang sudah tersimpan rapat diotaknya yang tipis dalam mengingat wajah orang. Aku akan mengingat semua perkataan memalukanmu ini padaku, Tuan Bryan Ardiora Lemus. Aku akan pastikan aku akan membalas ucapanmu itu suatu saat nanti.
Ya, suatu saat dan bukan sekarang.
"Kau bebas mengatakan apapun padaku saat ini. Karena menurutku, ucapanmu tidak lebih penting dari apa yang akan kukatakan padamu," ujar Monica tanpa sikap tidak peduli yang dibuat-buat.
Bryan menatap Monica ingin tahu. Monica membalas tatapan itu dengan wajah serius.
"Apa yang harus aku lakukan agar kau membatalkan pertunangan ini?" tanya Monica dengan tanpa berkedip. Ia perlu tahu bagaimana bernegosiasi dengan lawan. Dan cara tercepat adalah mengetahui apa yang diinginkan lawan.
Bryan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia seolah berpikir.
"Kau bertanya padaku apa cara agar aku mau membatalkan pertunangan kita?" tanya Bryan mengulang ucapan Monica. Monica mengangguk.
Ada sekelebat percikan cahaya yang tersirat dalam tatapan Bryan saat memandang Monica.
"Entahlah... aku belum berniat untuk membatalkan perjodohan ini mengingat aku tetap akan mengikuti perjodohan yang lain, jika tidak denganmu," serunya dengan ekspresi yang gelap.
Monica tidak bisa membaca arti dari ekspresi Bryan. Ia lebih terfokus dengan apa yang dikatakan pria itu padanya. Itu jelas perkataan yang mengisyaratkan bahwa dirinya belum atau bahkan sama sekali tidak menginginkan pertunangan ini dibatalkan.
***
Hy dear.. jangan lupa kirim power stone kalian dan dukung cerita ini dengan memberikan review n coment kalian juga ya..
( kalau koin klaian berlebih boleh mengirimi sya gift juga.. hhe )
selamat membaca untuk karya Author kedua..
arigatou gozaimasu~