"Anak kita... kau tidak ingin melihat wajah mereka?" tanya Diego dengan suara lemah.
"Mereka adalah bukti cinta kita. Cinta sejati kita. Kalau kau pergi aku juga akan pergi. Tapi kau terus memaksaku untuk hidup. Lalu sekarang? Bagaimana bisa aku bertahan hidup jika alasanku untuk hidup sudah hilang, Irene?! Bagaimana bisa?! Bangunlah, Irene! Katakan sesuatu! Ku mohon!" Diego menangis keras setelahnya.
Namun, bertepatan dengan itu...
"Uhuk uhuk!" tiba-tiba Irene terbatuk, memuntahkan air dari dalam mulutnya sembari bergumam lirih.
Diego mengerjabkan matanya. Dia buru-buru memeluk Irene sembari mengecup pelipisnya berkali-kali. "Akhirnya kau sadar, sayang..."
"I-ini benar-benar kau, Diego?" tanya Irene terbata-bata. Irene mengira dia sudah mati, tapi sekarang Diego malah memeluknya.
Diego mengangguk. Matanya yang masih mengeluarkan air mata itu terpejam. Irene yang menyadari respon Diego pun ikut menangis.
Irene tidak mati. Dia masih bernapas. Kenyataan ini malah membuat Irene tidak bisa menahan lagi air matanya.
Tangis Irene pecah, langsung mengalunkan tangannya di leher Diego. Diego tersentak, makin memeluk Irene dengan erat.
"Hiks... Diego... aku takut sekali. Aku takut..." Irene menangis dengan tubuh gemetar tanpa daya. Dia menyenderkan kepalanya di dada Diego, memeluk lelaki itu sama eratnya. Berniat meredam rasa takut yang menjalar begitu kuat, Irene akhirnya menangis tersedu-sedu.
"Ssttt... Ada aku disini. Kau tak perlu takut," tukas Diego serak.
Diego berhenti menangis. Lelaki itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Dia ingin meledak. Rasa marah sudah mendidih di dalam darahnya. Diego marah terhadap dirinya sendiri. Dia menyesali keterlambatannya. Irene-nya hampir mati. Karena kelalaiannya Irene-nya dalam bahaya. Diego membenci dirinya sendiri. Dadanya sesak.
"Kau menyelamatkanku dan memelukku, itu mimpi yang indah bagiku. Aku kira aku sudah mati. Aku kira ini hanya mimpi. Mimpi buruk," gumam Irene lagi, dia mencium pundak Diego. "Tapi aku sangat takut jika mimpi buruk itu menjadi nyata. Aku takut, Diego...."
Kali ini Irene kembali menangis yang membuat Diego tidak mampu berkata-kata lagi.
Irene menggigil ketakutan. Diego yang melihatnya merasa teriris. Apalagi ketika dia merasakan tubuh Irene begitu dingin, rambutnya juga berantakan. Gaunnya yang semula indah kini bentuknya sudah tidak enak di lihat, juga banyak robekan. Diego tahu, dia sangat tahu betapa terlukanya Irene. Dia tahu bagaimana takutnya Irene.
"Hiks... hiks..."
Tangisan Irene memancing emosinya. Mulut Diego terkunci rapat. Kemarahannya sudah naik ke ubun-ubun hingga dia tidak mampu mengatakan apa-apa lagi. Tapi dia tidak boleh meledak, Irene-nya membutuhkannya. Yang bisa dia lakukan hanya memeluk Irene erat sembari berusaha menenangkan dirinya sendiri.
"Jangan takut, Irene. Mimpi buruk itu tidak akan terjadi. Aku berjanji." Diego membelai punggung Irene seperti kasih sayang seorang ayah.
Irene mempererat pelukannya di dada Diego. Kehangatan tubuh Diego melelehkan ketakutannya. Kenyamanan pelukan Diego mengeluarkan rasa sakit di hatinya.
Diego baru melepas pelukan ketika Irene mulai tenang. Lalu ditatapnya dengan lekat wajah cantik Irene yang telah berhasil meruntuhkan arogansinya sebagai seorang pria.
"Mulai sekarang tidak ada yang berani menyentuhmu, Irene. Hanya aku yang boleh menyentuhmu," Diego merendahkan kepalanya hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. "Mereka yang melukaimu akan binasa. Aku akan menghancurkan mereka. Perlahan-lahan... sampai mereka memohon untuk mati." bisik Diego lembut namun tersirat kekejaman.
Irene merasa desiran hangat sekaligus takut secara bersamaan. Mata bening itu menatap sepasang mata biru yang berkilat menakutkan. Sangat tajam. Penuh ancaman. Seakan di dalamnya terdapat api yang menyala-nyala. Irene merasa jika Diego....
Benar-benar marah.
Diego-nya sangat marah. Sisi devil nya telah keluar. Irene langsung bergidik. Membayangkan apa yang akan dilakukan oleh iblis tampan itu terhadap sang pelaku. Pasti sangat menyakitkan.
•••
"Nona Mikhailova."
Suara rendah itu menembus tepat di telinga Mi Lover. Wanita itu menoleh, hanya untuk mendapat tatapan ngeri dari Hans. Di belakang Hans ada Christian yang berdiri. Mereka berdua menatapnya sinis.
Sejenak Mi Lover merasa gugup. Entah kenapa dia menjadi ketakutan seperti ini. Tapi tunggu! Kenapa mereka mengenalnya? Apakah penyamarannya....
"A-aku Irene, bukan Mi Lover. Ada apa dengan kalian?" suara Mi Lover bergetar, namun selanjutnya dia malah memekik ketika Hans berani menyentuh tangannya dan menariknya.
"Lepas! Lancang sekali kau menyentuhku!" pekik Mi Lover.
"Anda bukan nona Irene. Jangan terus bertingkah bodoh di depan kami, Nona Mikhailova yang terhormat! Ikut kami!" tanpa aba-aba Hans menarik tangan Mi Lover dan memaksanya untuk ikut dengannya.
Mi Lover langsung histeris. Dia pun berteriak. Lantas hal itu membuat perhatian para undangan teralihkan pada mereka. Hans menggeram. Dia menatap Mi Lover tajam lewat topeng peraknya.
"Ikut. Dengan. Kami." Hans menegaskan tiap kata yang di ucapkannya. Matanya menatap Mi Lover penuh peringatan yang tidak mampu di bantah.
Mi Lover dengan takut hanya mengangguk pasrah. Kemudian Hans menariknya cukup kasar, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyamai langkah Hans yang kelewat cepat. Mi Lover berkali-kali melihat ke belakang--tepat ke arah Christian. Matanya menatap pelayan setia itu seolah mengatakan 'tolonglah aku!'. Namun nyatanya Christian enggan melihatnya. Mi Lover meringis. Ada apa dengan mereka?
Apa jangan-jangan...
Tidak mungkin!
"Kalian mau membawaku kemana?" tanya Mi Lover pelan ketika dia sudah masuk ke dalam Limousine hitam yang ia yakini milik Diego.
"Kediaman mansion Alvaro." jawab Hans dingin ketika lelaki itu menduduki bangku kemudi.
Lalu Christian masuk, dia mengambil tempat duduk di samping Hans. Mi Lover menatap mereka lewat kaca depan. Dia mendadak gelisah. Mereka akan membawanya ke mansion Alvaro. Itu adalah tempat yang dulu pernah membuatnya nyaman melakukan apa saja, tempat dimana dia tumbuh besar bersama kakak beradik bernama belakang Alvaro itu. Tapi beberapa minggu yang lalu... tempat itu malah berubah menjadi tempat yang paling dia takutkan. Tempat yang menjadi saksi bisu akan history menyeramkan dalam hidupnya. Tempat yang pernah memberikan dia luka yang begitu besar. Tidak hanya hatinya, tapi juga fisiknya. Tidak... Mi Lover tidak mau kesana!
Mi Lover menatap ke sekeliling. Pintu Limousine belum terkunci. Itu membuat dia berniat untuk kabur, tapi, baru saja dia menyentuh pintu tiba-tiba saja dua orang pria bersetelan formal langsung masuk dan duduk tepat di kedua sampingnya. Oh Jesus! Mereka berdua menahannya. Kini dia duduk di tengah-tengah dan itu malah membuatnya tidak bisa berbuat apapun.
"Kenapa keringatmu banyak sekali, nona? Bukankah kau senang sekali bisa masuk ke mansion tuan Diego?" tanya Hans geli.
Mi Lover menggertakkan giginya. Dia merasa Hans sedang menyindirnya. Kurang ngajar sekali pelayan itu!
"Diam kau!" peringat Mi Lover tajam.
Hans hanya terkekeh pelan setelahnya, dia melanjutkan jalannya dengan tenang menembus jalanan kota Hamburg yang mulai sepi karena malam sudah larut. Sedangkan disana, Mi Lover tidak bisa menormalkan detak jantungnya. Dia ketakutan. Sepertinya akan terjadi sesuatu yang buruk padanya.
•••
At ALVAROS Mansion. Berlin--Germany. 12:00 AM. (Tengah malam)
"Argh!" rintih Mi Lover setelah tubuhnya terhempas ke lantai. Kasar. Hans membanting tubuhnya begitu dia masuk ke dalam mansion.
Dengan kuat Mi Lover berdiri meski merasa rasa nyeri di lututnya. Hans dan Christian menatapnya dingin. Mi Lover tersenyum sinis. "Apa kalian tidak takut jika Diego membunuh kalian? Kalau dia tahu kalian berlaku kasar padaku maka ka-"
BRAKK!
Ucapan Mi Lover terpotong oleh suara pintu yang di buka dengan kasar. Mi Lover menelan ludahnya susah payah menyadari jika hal buruk akan benar-benar terjadi. Dengan cepat dia membalikkan tubuhnya. Di depannya sekarang berdiri sosok pria yang sangat dia cintai. Mi Lover langsung meraba wajahnya, syukurlah dia masih memakai topengnya.
"Baby?" tanya suara dingin yang membuat Mi Lover merinding bila mendengarnya.
"Di-diego?" Mi Lover balik bertanya tidak gentar, ia meredam ketakutan dalam dirinya sendiri.
Diego menyeriangi dengan sangat menyeramkan pada Mi Lover.
"Sepertinya kau masih bermain-main denganku, baby. Kemari, lepas topengmu dulu." pinta Diego.
Mi Lover mematung di tempat, pikirannya melayang pada ucapan Hans ketika dia hendak dibawa oleh lelaki itu. Hans memanggilnya dengan sebutan Mikhailova. Tentu saja itu sangat aneh baginya. Mi Lover padahal sudah menyamar semirip mungkin dengan Irene, bahkan Diego tidak dapat menyadarinya. Tapi sepertinya kali ini berbeda. Melihat dari cara Hans memperlakukannya, itu berarti.... Demi Tuhan! Apa dia baru menyadarinya sekarang? Jelas-jelas mereka sudah mengetahui penyamarannya! Tapi kenapa dia bertindak bodoh dengan mau di bawa ketempat ini? Itu sama saja dengan dia menyerahkan dirinya untuk mati! Oh Jesus!
Mi Lover kemudian menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau mati secepat ini. Diego sangat kejam! Dia tidak mau mati di tangan pria yang dia cintai.
"Dari sekian orang ku lenyapkan. Mereka tidak menyadarinya. Tapi sepertinya kau langsung bisa menyadarinya, baby."
"Kau sangat kejam, Diego." lirih Mi Lover sembari melepaskan topengnya. Kini wajah barunya itu nampak di mata Diego.
"Kau memang paling mengenalku, baby."
Baby. Rasanya Mi Lover ingin menangis mendengar panggilan itu. Panggilan kesayangan Diego untuknya. Tapi kali ini situasinya berbeda. Panggilan itu justru terasa ngilu untuk dia dengar, Diego seperti sengaja hanya untuk membuatnya ingat bahwa dia bukan siapa-siapa lagi karena ada Irene yang sudah menggantikan perannya di hidup Diego. Semuanya karena Irene! Wanita sialan itu telah menghancurkan hidupnya! Mi Lover tidak terima.
"Namaku bukan Mi Lover jika aku tidak mengenalmu, Diego. Sekarang lihatlah wajahku. Aku telah merubahnya." Mi Lover menyentuh wajahnya yang basah karena air mata yang sudah mengalir entah kapan.
"Semua ini karena kau. Kau merusak wajahku." Mi Lover benar-benar terpukul. Dia tidak sanggup menahannya lagi. Keinginannya untuk menangis sangatlah besar. "Dan kau sama sekali tidak merasa bersalah. Dimana hatimu, Diego? Dimana?! Kenapa kau tega melakukan ini padaku?!"
Diego hanya diam. Matanya memandang Mi Lover rendah.
"Kita tumbuh besar bersama. Kau, aku dan Dilan bermain bersama di taman belakang. Lalu sorenya kita berenang dan main air. Malamnya kita nonton film horror sambil makan popcorn. Saat pagi kita tiba-tiba sudah ada di kamarmu. Kita bertiga tidur sambil berpelukan. Manis sekali. Aku masih ingat dengan jelas. Bukankah kenangan itu sangat sayang jika dilupakan, Diego?" tanya Mi Lover lagi. Suaranya terdengar lirih dan putus asa. Mi Lover tidak sanggup lagi. Dia ingin Diego-nya kembali.
Mi Lover ambruk. Dia jatuh ke atas lantai. Air matanya tidak bisa dia bendung lagi, kali ini dia benar-benar menangis.
Tangisan Mi Lover sangat kencang. Sampai-sampai membuat Sean dan Jasmine--orang tua Diego terbangun dari tidur lelap mereka. Kini mereka sudah ada di belakang Diego. Ikut menatap Mi Lover yang duduk di lantai dengan air mata yang berlinang.
Sean sangat muak melihat wanita ular itu. Heh, pintar sekali aktingnya--pikir Sean. Sementara Jasmine, wanita paruh baya itu menatap Mi Lover sedih. Mata birunya menatap seorang anak perempuan yang dulu sangat ia sayangi, sangat ia cintai melebihi kedua anak laki-lakinya--Diego dan Dilan. Dulu sekali, Jasmine pernah memarahi kedua anaknya habis-habisan karena membuat Mi Lover kecil terjatuh dari pohon. Jasmine masih ingat dulu ia pernah menggendong Mi Lover kecil sambil menyuapinya makan. Tapi semua itu seperti dihancurkan dengan kenyataan bahwa Mi Lover adalah perempuan jahat yang sangat licik! Perempuan itu adalah ular! Raut wajah Jasmine seketika berubah, tatapan ibanya berganti menjadi nyalang.
"Kau tidak pantas berada dirumahku, Lovelyn Mikhailova." ucap Jasmine dingin, sedingin wajahnya.
Mi Lover yang mendengar suara familiar itu langsung mendongak.
"Ibu...." gumam Mi Lover sedih.
"AKU BUKAN IBUMU! ENYAHLAH DARI HADAPANKU, WANITA JAHAT!" maki Jasmine di sertai emosi yang meledak. Persetan dengan semua orang. Demi Tuhan! Dia membenci wanita ini!
Mi Lover kaget bukan main. Jasmine tidak pernah membentaknya sekasar itu. Apalagi sampai memelototinya dan mengusirnya seperti ini.
"Diego!" panggil Jasmine dengan lantang.
Diego yang tengah menahan senyum itu lantas menoleh. Menatap ibunya. "Yes, Mommy?"
"Kau bawa wanita itu keluar! Meskipun wajahnya berubah aku masih sangat membencinya! Aku tidak mau melihat wajahnya!" erang Jasmine kesal sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
Melihat itu Mi Lover makin menangis. Dia menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Ibu... jangan membenciku. Ku mohon!" Mi Lover menyatukan kedua tangannya.
Jasmine tidak peduli. Dia sama sekali tidak mau peduli dengan wanita itu lagi! Sudah cukup dia dibodohi!
"Kau tidak berhak untuk meminta sesuatu dariku. Keluar darisini! Cepat!" Jasmine makin marah, dia berkacak pinggang sambil terus menunjuk ke arah pintu keluar.
"Diego yang membawanya kesini, sayang. Anakmu pasti tidak akan mengizinkannya keluar." sahut Sean.
"Diego?" Jasmine mendekati putranya yang sedari tadi hanya diam mendengarkannya.
"Ini sudah malam. Kalian beristirahatlah. Aku akan mengurusnya." ucap Diego dengan lembut sambil mengelus bahu Jasmine.
Perlakuan Diego membuat Jasmine sedikit merasa tenang. Karena itu dia langsung pergi bersama Sean sebelum memberikan tatapan bencinya pada Mi Lover. Dia juga sempat meminta pada Diego untuk segera mengeluarkan ular itu dari rumahnya. Jasmine tidak sudi bernapas dengan udara yang sama dengannya.
Sementara itu, Diego kini memusatkan penuh perhatiannya pada wanita yang masih duduk tak berdaya di bawahnya itu.
"Kenapa? Kau ingin membunuhku? Bunuh saja aku! Dasar manusia iblis!" maki Mi Lover tidak tahan karena tatapan Diego yang seakan ingin menghabisinya.
"Kau sangat berani, Mi Lover."
"Aaaaa....." Mi Lover merasakan lehernya di cekik oleh tangan besar milik Diego. Begitu sesak seperti ada yang menyumbat rongga parunya.
Ssakiiit! Rintih Mi Lover dalam hati.
Diego tersenyum menyeriangi ketika melihat air mata yang mengalir kembali di pelupuk mata Mi Lover.
Seringai ejekan dari Diego seperti kekuatan untuk Mi Lover. Dengan kekuatan yang tersisa, Mi Lover berusaha menarik tangan yang mencekiknya.
"DIEGO!" teriak Irene dengan teramat keras yang ketakutan ketika melihat kekejaman Diego tepat di depan matanya.
Dug!
Irene kehilangan kesadarannya ketika kepalanya mendadak pusing tujuh keliling. Irene terlalu shock depan apa yang dia lihat.
Irene pingsan.

To be continued.
HOLAA! AKHIRNYA INA UPDATE WKKWKW
Maaf ya gais atas keterlambatan+kelamaan aku:'( Inanya bener-bener sibuk minggu ini. Karena Ina sedang melaksanakan Ujian Sekolah. Ina juga nanti mau siap-siap buat uprak. Trus pemantapan UN trus UNBK deh! Nah baru UTBK! Kalo Ina udh ngelewatin semua itu... Ina jamin Ina bakal rajin update! Tapi, ya gimana ya, kadang susah buat bikin story disaat situasi di real life Ina sendiri lagi ribet-ribetnya. Ngurusin inilah itulah, belajarlah segala macemnya juga. Huft! Pokoknya Ina harus semangat!
Semangat buat ngetik Diego & Irene untuk chapter-chapter berikutnya yang so pasti bikin kalian jedag jedug+penasaran tingkat dewa. WKWKWKWK🤣 INA NIH PEDE BANGEDD SIH EW:'v
Eh jangan lupa ya buat LIKE, KOMEN+SHARE ke TEMEN KALIAN! BIAR RAME! WKWKW
Go follow Instagram mereka!
@diego.alvaro01
@bae.irene01
@nainaarc
Okeeee, terimakasih sudah membaca!
See you bye bye!
Salam manis dari Ina!♥️