webnovel

Dia Anakmu, Mas!

"Gugurkan! Dia bukan anakku!" "Apa?" "Kau tururti... Atau kita cerai!"

Pusparani_Surya · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
4 Chs

Keempat

Mas Imron membawa keluar koper keluar dari kamar, koper yang sama saat dia datang ke rumah ini sebagai suamiku.

Ada yang berdenyut nyeri mengenang semuanya. Kenapa begitu cepat semua berakhir?

Mataku memanas, perlahan air mata memburamkan pandangan. Segera kutepis semua rasa, ternyata hormon kehamilan berperan sekarang, sensitif. Kuusap air bening itu sebelum terjatuh ke pipi, tak ingin menyesali keputusan yang sudah kubuat sendiri.

Pilihanku tepat kan?

Mengabaikan permintaan suami yang meminta berbuat keji pada anaknya sendiri.

"Papa, mau kemana?" suara Elia membuatku menoleh dari melihat Mas Imron, pada gadis kecil itu yang kini menatap heran pada papa barunya.

Gerakan Mas Imron terhenti, menoleh pada Elia yang menatapnya bingung. Mas imron bersimpuh, melepaskan pegangannya pada koper yang tengah diseretnya, tangannya berayun meminta Elia mendekat.

Kembali sesak menekan dada, saat Elia dengan cepat memburu Mas Imron, dan memeluknya. Hatiku bagai dikerat sembilu. Perih. Sakit! Dia begitu hangat dan terlihat menyayangi Elia, kenapa tidak mengakui benihnya sendiri?

Aku harus menyelidiki semuanya. Aku akan bertanya pada adiknya tentang masa lalu Mas Imron.

"Ia, jadi anak baik ya? Jagain Bundanya, ya?" suara Mas Imron mengembalikan fokusku pada adegan penuh emosional antara dia dengan Elia. Elia yang sudah melepas pelukan Mas Imron, menatap papanya.

"Papa mau kemana? Kan sekarang udah ada Papa yang jagain Bunda, jagain Ia juga. Emangnya Papa mau pergi lama ya? Sampe bawa koper segala?" Mas Imron terlihat menghela napas dalam, membelai wajah Elia dengan penuh kasih sayang. Kembali sakit itu menyerang hati.

"Papa... Mau pergi dulu, ya? Papa... Tidak bisa tinggal di sini dulu." Mas Imron terlihat berat menjelaskan semuanya pada Elia, dia melirikku sekilas dengan tatapan yang... Entahlah.

Kuusap sudut mata yang sudah sukses mengeluarkan air yang sedari tadi kutahan keluar, "Ia... Sini, Sayang! Pap-a mau pergi dulu, Ia sama Bunda," Elia menoleh padaku, lalu menatap Mas Imron kembali meminta persetujuan laki-laki yang menatapku diam itu.

Mas Imron terlihat mengangguk, mengizinkan Elia untuk mendekat padaku. Kurengkuh Elia dalam pelukan, berbagi luka, mengharap sesak sedikit mengurai lega.

"Pikirkan lagi, Suci. Aku mencintaimu, menyayangi kalian. Lakukan apa yang aku perintahkan," Mas Imron kembali mencoba menggoyahkan pendirianku.

Aku menggeleng kuat, menolak kembali permintaan gilanya, "Aku akan mencari tau alasan dibalik penolakanmu pada dia, Mas!" ucapku yakin, Mas Imron mendengus kasar.

"Ternyata kamu keras kepala, Suci. Baiklah kamu sudah memutuskan. Aku pergi!"

Mas Imron mengambil pegangan koper, dan melangkah meninggalkan ruang tamu dengan langkah tergesa, mengabaikan panggilan Elia yang terasa menyayat kalbuku.

"Papa!"

"Ia!"

"Papa pergi, Bun. Papa marah sama Ia, ya? Ia nakal ya? Jadi Papa pergi ninggalin Ia seperti Ayah?" Elia mulai menangis saat Mas Imron membuka pintu, dan terus berlalu tanpa tersentuh oleh tangisannya.

"Ia, Sayang... Lihat Bunda!" ah, hatiku semakin sakit melihat wajah Elia yang tengah menahan tangis, dengan dada yang kembang kempis, dan mata mengkilap dengan air mata, "Elia, Papa mau kerja di luar kota sebentar, hanya sebentar."

Maafkan Bunda, Elia. Dan berharap saja memang itu nanti yang akan terjadi. Karena sebenarnya aku juga tidak menginginkan perpisahan ini, aku ingin rumah tanggaku bisa bertahan sampai maut memisahkan.

Entah kenapa aku tidak merasa ini semua salah, Mas Imron tidak menuduhku berzina, tapi dia menolak bayi dalam kandunganku, aku yakin ada yang tidak beres. Dan aku, akan mencari tau.

"Beneran, Bun?" Elia meminta jawabanku, dan aku mengangguk pasti.

"Iya, nanti... Papa akan kembali, saat perut Bunda besar karena ada adiknya Ia di dalam sini." ada kehangatan menjalari hati saat aku mulai mengakui keberadaan dia di sini, buah cintaku dengan Mas Imron.

Bunda menunggu, Sayang!

"Adik? Ia mau punya Adik, Bun?" binar bahagia terlihat jelas di wajah Elia, mengganti raut sedih yang tadi nampak atas kepergian papa barunya.

Secepat itu rasa sedihmu berlalu, Nak?

"Iya. Ada adik Ia di dalam perut Bunda sekarang, Ia senangkan mau punya adik?"

"Senang, Bunda... Ia mau punya adik perempuan, biar nanti bisa diajak main boneka sama Ia." celotehnya riang, kesedihan tadi karena kepergian Mas Imron sudah tidak terlihat lagi, bahkan harapan untuk mendapatkan adik sesuai keinginannya pun terucap.

"Iya, Sayang. Mau laki-laki atau perempuan, Ia harus tetap sayang sama adiknya nanti, ya?" kuusap pipinya yang tadi sempat disinggahi air bening, gadis kecilku itu mengangguk cepat.

"Iya, Bunda. Ia pastinya akan sayang banget sama Dedek bayi." tangan kecilnya menyentuh perut, membelai sayang seakan tengah mengusap sang adik, "Dedek jangan nakal ya? Papa sedang pergi nggak bisa jagain Adek sama Bunda, tapi ada Kakak yang akan jagain Dedek... Seperti kata Papa barusan."

Haru itu menekan dada, menghimpit hingga tenggorokan rasanya tercekat, hingga suara tak dapat kuucap.

"Benar yang dikatakan Bapakmu, Suci?" aku menoleh saat suara Ibu terdengar dari belakang, menegakkan tubuh menghadap ke arah ibu.

"Bapak sudah cerita semua, Bu?" tanyaku tanpa menjawab pertanyaan ibu, melangkah mendekat ke sofa dengan tangan menarik lembut Elia, menghempas pelan di sana melepas lelah yang tiba-tiba terasa. Lelah hati lebih tepatnya.

Ibu menyusul duduk di sebelahku, mengusap lengan hingga aku merasa tetap terlindungi.

"Sudah... Ibu tidak habis pikir dengan pemikiran Suamimu." ibu mendesah pasrah, menatapku iba. Tak menyangka akan jalan hidup putri satu-satunya.

"Maafkan Suci, Bu... Sampai saat ini, belum juga bisa membahagiakan Ibu dan Bapak di usia tua kalian, Suci juga tidak menyangka Mas Imron sampai berkata seperti itu."

Elia yang ada bersamaku, menatap tak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh ibu dan neneknya.

"Jangan bicara seperti itu, Suci. Kamu anak kami, bagaimana pun keadaannya, kami akan tetap menerima dan menyayangimu, memberikan dukungan selama yang kamu perbuat tidak menyalahi aturan. Kami akan ada untukmu."

Aku mengangguk, tersenyum dalam hati yang pedih menahan luka.

"Nenek...!" Elia menyela pembicaraan.

"Apa, Ia?" ibu mengalihkan perhatiannya, membuatku mendapat kesempatan menahan desakan air mata yang ingin keluar.

"Kata Bunda, Ia mau punya adik." adu Elia dengan wajah berbinar ceria, melupakan kesedihan karena kepergian Mas Imron beberapa saat lalu.

"Iya, jadi mulai dari sekarang, Ia nggak boleh manja ya? Kan mau jadi Kakak. Kalau manja, kasihan Bunda. Paham, Sayang?"

"Iya, Ia janji nggak akan manja lagi. Mau jagain Bunda juga, biar Dedek bayinya cepet keluar dari perut Bunda."

"Iya, pinter. Ia memang cucu Nenek yang paling cantik!"

Elia tersenyum puas mendengar pujian Neneknya, "Tapi kalau Adek bayinya perempuan, berarti Ia bukan yang paling cantik lagi ya, Nek?" tanyanya sedikit merajuk, tampak ketidak relaan posisinya tergeser oleh mahluk yang bahkan belum berkembang itu.

"Ia tetap paling cantik, karena kalau Adik bayinya perempuan, dia itu manis. Bedakan?" kata ibu yang berhasil membuat Elia tertawa senang.

"Iya, Nek. Beda!"

Ternyata masih banyak kebahagiaan yang ada di sekitarku, tanpa harus berlarut memikirkan kesedihan karena penolakan ayah dari janin dalam rahimku.