Tak ada hal yang hebat di tahun pertamanya di SMA, semuanya biasa-biasa saja, tidak ada piala, tidak ada skorsing karena membuat masalah, tidak ada drama, tidak ada pasangan. Hanya sekelabat kisah membosankan. Lalu di sinilah dia, duduk di kursi paling belakang, menatap kosong ke depan, memerhatikan seorang wanita dengan pakaian dinas lengkap berwarna coklat, menuliskan rumus-rumus yang sama sekali dia tidak paham. Sesekali dia melihat sekeliling, beberapa orang sedang fokus memerhatikan, sebagiannya lagi sedang asyik mengobrol diam-diam.
Di tahun keduanya ini, tepatnya di kelas 11 ini. Semuanya di mulai dengan orang-orang yang sama seperti tahun sebelumnya. Dia sangat berharap kelas tahun ini di acak, dan diisi oleh orang-orang baru, tapi hasil rapat guru tahun ini berkata lain. Kelas akan di acak di tahun selanjutnya, di kelas 12 nanti. Namun itu tahun depan, sedangkan ini baru seminggu setelah kenaikan kelas.
Menjalani aktivitas sekolah di kelilingi orang-orang ini selama setahun ke depan membuatnya muak dan juga lelah. Dia muak dengan permainan persahabatan palsu mereka. Namun, sebagian dari dirinya senang ketika melihat salah satu dari mereka saling menghianati satu sama lain. Menurutnya. Ini hidup, ini yang kau sebut hubungan, tali silaturahmi atau apalah itu. kau tidak tahu siapa yang akan menusukmu dari belakang, kau tidak tahu siapa lagi yang bakal menyebar tiap bait aib yang sudah kau percayakan kepada mereka.
Sudah setahun dia menghabiskan hari demi hari bersama orang-orang ini, ia tahu setiap sudut dari isi kepala mereka. siapa yang akan menghianati siapa? Siapa yang akan menyakiti siapa? dan Siapa yang benar-benar setia? Tidak banyak. Namun, setidaknya ada, walaupun mereka sedikit menjengkelkan dan juga merepotkan.
Dia tidak berharap banyak dengan kisah anak SMA pada umumnya, harapan itu ada namun dia kubur dalam-dalam, sesekali mencoba merangkak ke permukaan. Namun, ada perasaan yang begitu kuat menariknya kembali ke dalam, takut. Hari ini berjalan seperti biasanya tak ada masalah, hanya orang-orang yang cukup menjengkelkan. Setelah pelajaran selesai, rasanya begitu lelah memerhatikan rumus-rumus yang begitu rumit. Namun, nihil tak ada yang masuk ke kepalanya. Dia hanya ingin mengistirahatkan tubuhnya yang rentan mengantuk itu.
Perlahan kesadarannya hilang meninggalkan suara bising di ruangan kelas. Mereka tidak pernah kehabisan bahan obrolan tiap harinya, selalu ada yang bisa mereka ceritakan. Entah itu tentang keluarga mereka, pengalaman mereka, aib, cinta, pertemanan. Tidak dengan cowok yang sedang terlelap di belakang sana. Alih-alih keluar menghabiskan waktu bercengkerama dengan orang-orang, ia lebih memilih tidur dengan posisi yang terlihat tidak nyaman sama sekali.
"Dia gak bosan tidur apa?"
"Hampir tiap hari kerjanya cuman tidur aja," gumam Evy.
"Gue jarang banget loh ngobrol sama dia."
"Sama, gue juga."
Tak lama berselang, pembahasan mereka melompat ke segala penjuru jenis cerita, sesekali menggibah lalu berpindah ke topik cowok-cowok yang mereka taksir, yang membuat mereka kegirangan hanya karena bertatap mata di lorong sekolah, untuk seorang cewek hal seperti itu adalah hal yang spesial bagi mereka, saling bertatap mata dengan orang yang disukai itu sudah lebih dari cukup.
Cewek selalu suka membahas masalah hati, cinta dan asmara, entah mengapa mereka selalu saja kegirangan jika itu berhubungan dengan cinta. Di kursi barisan paling depan, ada 4 cewek yang sedang asyik dengan topik mereka sendiri, entah apa yang sedang mereka bicarakan sehingga salah satu dari mereka tertawa begitu keras. Suara tawa itu terdengar sangat mengganggu dan juga menjengkelkan dalam waktu yang sama. Temannya dengan rambut pendek mencoba memperingatinya namun ia tak bisa menahan diri.
Sebuah benda melayang dengan cepat di samping pipinya, berjarak beberapa centimeter saja dari telinganya, seketika tawanya memudar bersamaan dengan botol yang menghantam papan tulis di depannya dengan keras. Ke empat cewek itu terdiam gagu, si rambut pendek bahkan tidak berani menoleh ke arah botol itu di lemparkan. Mereka sangat yakin, botol itu terlempar dari arah belakang, hanya ada satu orang yang menghuni barisan paling belakang, cowok itu, yah cowok yang sedang tertidur lelap itu. cewek yang tertawa terbahak-bahak tadi sekarang diam membisu, dia sangat tahu botol itu harusnya mengenai bagian belakang kepalanya. Namun, ia beruntung hari ini, botol itu meleset. Namun, ia tidak lupa dengan hembusan angin saat botol itu melewati pipinya dengan cepat.
Ke empat cewek itu tertunduk bersamaan dengan suara langkah yang kian mendekat dari belakang sana. Keadaan hening, suara langkah kaki pun bisa kau dengarkan di tengah keheningan itu. Si ketua kelas dan juga wakilnya tidak bisa berkutik entah kenapa, hanya ada 3 cowok di dalam ruangan ini sekarang, si Ketua kelas dan Wakilnya dan juga cowok yang sedang berjalan dengan wajah kesal ke arah ke empat cewek itu.
"Berisik lu goblok!!!" ucapnya saat melewati mereka berempat, kemudian sosoknya menghilang saat melewati pintu.
"Gue bilang juga apa jangan berisik." Cewek berambut pendek tadi memang sudah menegur temannya itu berulang kali.
"Rese banget sih tu orang."
"Lu gak apa-apakan?" tanya seorang cewek yang masih membelalak heran dengan apa yang baru saja melayang melewati kepala temannya.
Hikma, mengangguk. Tidak ada apa-apa. Namun, ia shock, tak habis pikir.
"Lu sih dibilangin ... "
"Iya Rani gue tau, gak usah di ulang deh."
Hikma yang tadinya cerah sekarang terlihat kesal, entah ke mana tawanya tadi, tawa yang hampir membuat dia celaka.
Si rambut pendek bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana Aini?"
"Mau ke kantin beli cemilan, gak mau ikut Yun?" ajak Aini.
"Gue ikut," sahut Rani. lalu bangkit dari duduknya dengan sigap.
Hikma sudah tentu tidak ingin ikut, dengan wajah seperti itu, teman-temannya sudah tahu dia tidak akan mengiyakan ajakan mereka.Yuni menoleh menatap Hikma yang masih terlihat kesal.
"Hmm, gue di sini aja deh."
***
Dia berjalan dengan perasaan enggan dan juga kesal, harusnya 5 menit yang lalu dia masih menikmati tidurnya di dalam kelas. Tapi karena suara gelak tawa yang terdengar sangat jelek itu, menyadarkannya dengan paksa dari alam bawah sadarnya. Matanya memantau sekeliling dengan tenang, melewati lorong-lorong sekolah dengan sekumpulan cowok-cowok yang menganggap diri mereka keren di depan adik kelas, berjalan dengan angkuh. Tak ada ekspresi di wajahnya, tapi percayalah dia sangat muak dengan manusia-manusia seperti mereka. langkahnya makin menjauh dari kelas, melewati kantin lalu berjalan menuju ke arah gerbang.
Dari kejauhan dia sudah tidak asing lagi dengan seorang pria paruh baya yang sedang asyik menghisap rokok di bawah pohon mangga yang cukup besar. Di bawah atap pos satpam, ruangan dengan ukuran yang sangat sempit, lelaki paruh baya itu terlihat tenang. Cowok itu menyapa dengan sopan, lelaki paruh baya itu tersenyum gembira melihat kedatangannya lalu balas menyapa. Ia mengulurkan salah satu kursi.
"Gimana hari ini Pak Haris?"
Pak Haris menghembuskan asap rokok dengan pelan, itu isapan terakhir, kemudian menjatuhkan batang rokok itu tepat di sebalah kakinya lalu menginjaknya kuat-kuat. "Aman Dis, yah kek biasa."
"Kenapa Dis?"
Distian menoleh menatap Pak Haris yang sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya.
"Gak pak, lagi capek aja," jawabnya.
Entah kenapa Pak Haris senang menghabiskan waktu kosongnya bersama dengan pemuda ini, mereka bisa mengobrol berjam-jam. Sekarang pun mereka sedang asyik membahas masa muda Pak Haris. Distian jarang menghabiskan waktu dengan teman-temannya, Pak Haris bahkan berpikir, mungkin anak ini tidak mempunyai teman sama sekali. Namun, ia ingat pernah melihatnya satu dua kali mengobrol dengan dua orang siswa.
Pak Haris senang menghabiskan waktu dengan pemuda ini, setidaknya waktu kosongnya terisi dengan satu dua cerita membosankan tentang masa muda ataupun cerita tentang keluarganya. Namun, Distian selalu terlihat senang mendengarkan cerita Pak Haris. Mereka mulai akrab sejak Distian masih duduk di kelas 10.
Sampai saat ini, Distian masih sering terlambat datang ke sekolah, Pak Haris kadang membantu Pak Farun menangani murid-murid nakal, tapi ia tidak pernah mendapati nama ataupun wujud Distian di dalam ruangan BK.
***
Dia mengintip ke dalam tasnya, mencari sesuatu, terpancar ekspresi bingung dan kesal. Kenapa pulpen yang seharusnya sudah tergeletak di atas meja yang seharusnya bersanding dengan bukunya sekarang hilang entah ke mana.
Gerak tubuhnya menandakan Dia menyerah, dia mengeluarkan tangannya, menyandarkannya di paha dengan malas. Menghela napas berat, memerhatikan sekeliling, seolah sedang mengharapkan sesuatu. Matanya berhenti, menatap lekat seseorang yang duduk tepat di samping mejanya.
"Asdar?"
"Hmm."
"Pulpen lu ada berapa?"
Asdar mengangkat pulpen yang sedari tadi sibuk berlenggak-lenggok di buku kusamnya. "Satu." Timbul rasa kecewa. Namun, tak tergambarkan di wajah Distian. Asdar menoleh ke arah Distian, wajahnya terlihat datar. Namun, sorotnya matanya masih mengharap sesuatu.
"Coba minjem ke Rani deh."
"Rani itu siapa?"
Akhirnya pertanyaan itu keluar. Asdar mengelus alisnya heran. Heran dengan seseorang yang sekarang sedang ia tatap dengan penuh pertanyaan. Sudah setahun Distian berbagi ruangan kelas dengan orang-orang ini, tapi ini faktanya.
Mungkin beberapa orang akan heran mendengar ini, atau mungkin akan berkata ini hanya omong kosong belaka, mungkin juga orang-orang akan berpikir kalau dia hanya berpura-pura menjadi karakter yang sok cuek di sebuah cerita masa SMA.
Tapi tidak dengan Distian, Asdar tahu persis ini bukan hal yang dibuat-buat hanya karena ingin dicap sebagai cowok dingin dan keren di sekolah.
Manusia macam apa yang tidak bisa mengenal 33 orang yang bersamanya selama setahun setiap hari, kecuali minggu, hari libur nasional dan libur kenaikan kelas.
Normalnya, semua orang bahkan akan mengenal semua teman sekelas mereka maximal dalam 3 sampai 6 hari di minggu pertamanya menjadi siswa baru.
Tapi tidak dengan manusia ini, yang sedang menatap bingung ke arah Asdar yang juga bingung dengannya. Distian benar-benar belum tahu semua nama-nama orang yang ada di ruangan ini.
Asdar menunjuk ke depan, mata Distian mengikuti arah telunjuk Asdar mengarah. Matanya tertuju ke arah 2 orang cewek yang sedang duduk berdampingan di meja kedua dari depan. Distian menanyakan apa benar dia orangnya, Asdar mengangguk. Ia bangkit dari kursinya melangkah pelan ke arah cewek itu.
"Rani?" ada rasa ragu di balutan suara itu. ia sama sekali tidak tahu siapa Rani di antara mereka.
cewek dengan rambut sebahu mendongkak menatap Distian, terselip perasaan cemas di wajahnya. Rani dan ketiga temannya saling melempar tatapan bingung.
"Ke-k-kenapa Dis." Suaranya parau, cemas entah kenapa. Di sisi lain Distian merasa lega.
"Gue mau pinjem pulpen boleh gak?"
"Bentar yah." Rani merogoh tasnya, melihat ke dalam, ia mendongkak menatap teman-temannya dengan mimik wajah menerka-nerka, kemudian ia membuka kantong tasnya yang kedua yang biasanya berada di sisi depan ransel.
Ia kembali mendongkak dengan ekspresi yang sama, menoleh ke arah Distian.
"Maaf Dis..." Ia berhenti sejenak. "Hmm, kotak pulpen yang biasa gue bawa gak ada, kayaknya kelupaan di rumah deh."
Distian mengangguk mengerti, kemudian berbalik menuju tempatnya.
"Gue ada kok." Suara itu menghentikan langkah Distian, tubuhnya berbalik dengan sendirinya menghadap ke suara itu. "Lu mau minjem?"
"Sini."
"Bentar."
Tak lama setelah kata itu, ia mengeluarkan pulpen dari tasnya, memberikannya kepada Distian, matanya dan mata Distian bertemu, tak ada senyum di wajah Distian, tak ada ekspresi, hanya tatapan kosong memerhatikan, hanya sejenak, beberapa detik saja, kemudian tangannya meraih pulpen itu dengan cepat dan kembali ke tempatnya.
92f65993123364a3f15252ed4bbca9b2I'm serializing this work on Webnovel. Head over to Webnovel for the other chapter updates! https://www.webnovel.com