"Mas Dewa kenapa gak nolak perjodohan ini sih?"
Aku dan Dewa saat ini berada di gazebo belakang rumah. Niat hati mau tidur, tapi apa daya, kedatangan Dewa dan orangtuanya membuat kantukku hilang entah ke mana.
"Kenapa harus nolak?"
Aish! Menyebalkan.
"Mungkin Mas Dewa punya pacar. Atau punya calon istri idaman. Yang mungkin gak ada padaku."
Dewa terkekeh. Gak ada yang lucu, plis!
"Kalau Mas bilang Mas suka kamu, gimana?"
Aku melotot kaget. "Jangan bercanda!"
Dewa menahan kedua lenganku agar aku berhadapan dengannya. Tatapan matanya lurus menembus manik mataku.
"Mas gak pernah bercanda, Nin. Apalagi masalah hati."
Aku tersedak air ludahku sendiri. Dewa bicara soal hati? Gak salah? Aku kira dia gak punya hati. Habisnya dingin banget. Kayak balok es.
"Sejak kapan?"
"Apanya?"
"Mas suka sama aku sejak kapan?"
"Sejak kamu nangis di atas pohon jambu belakang rumah Mas karena gak bisa turun sendiri."
Aku memandangnya horor. Itukan sudah lama sekali. Kalau tidak salah saat aku duduk di kelas lima SD.
"Mas pedofil?!"
Dewa melotot ke arahku membuatku meringis.
"Bukannya menikah itu lebih baik jika dua orang yang saling mencintai?" tanyaku lagi.
Dewa mengangguk. "Benar. Tapi cinta gak menjamin apapun ke depannya. Yang paling dibutuhkan adalah nyaman. Karena secinta apapun dua orang kalau tidak ada kenyamanan, kebersamaan mereka gak ada artinya. Dan Mas nyaman sama kamu."
"Kok..."
Dewa tidak mengizinkan aku bertanya lebih lanjut karena bibir sialannya sudah lebih dulu bertindak. Dan aku hanya diam, pasrah, menerima dan membalas lumatannya. Murahan banget ini bibir. Ah!
***
"Anjir, lo serius mau nikah sama si Dewa-Dewa itu?"
Rasanya aku ingin mencekik Risa. Entah sudah berapa kali dia menanyakan hal yang sama. Benar-benar oon nya kambuh.
"Sekali lagi lo nanya itu gue kasih piring pecah lo."
Risa terkekeh. Menyebalkan.
"Kita kebagian dong jadi bridesmaid on duty nikahan lo."
Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Dewa kan kaya raya tuh, jadi gak masalah beliin teman-temanku seragam buat pesta pernikahanku yang katanya dua bulan lagi.
Padahal aku sudah melakukan negosisasi pada Ayah dan Bunda. Tetap saja paling lambat itu dua bulan dari acara lamaran kemarin malam. Dan paling cepat sebulan. Benar-benar tidak bisa ku percaya. Mereka, bahkan Dewa ikut kompak mengiyakan usulan Mama Eka.
Hell!
"Si Tika lama banget perasaan. Nyasar kemana tuh anak," gerutuan Risa hanya ku balas gelengan kepala. Tika memang selalu datang tidak tepat pada waktu yang ditentukan. Mungkin ketularan si Risa ini, ratu ngaret.
"Gue laper juga, Nin. Sekalian dong pesenin nasi goreng yaaa."
Baru saja aku mengangkat bokongku dari kursi kantin untuk memesan makanan, Risa sudah duluan menitipkan pengganjal perutnya.
"Yang katanya gak laper. Diet. Omong kosong ternyata," cibirku sambil berlalu.
"Es teh manis sekalian!"
***
Aku merebahkan tubuhku di kasur. Seharian di kampus membuatku lelah, apalagi ditambah tugas yang entah kapan akan berakhir.
Tiba-tiba ponselku bergetar, tanda pesan masuk di aplikasi WhatsApp. Kulihat nama Cindy tertera di layar ponselku.
[Kapar hehe] -Cindy
Aku mendengkus geli dengan panggilannya. Semenjak aku resmi menerima lamaran dari Dewa, abangnya, Cindy seenak jidat memanggilku 'Kapar' alias 'kakak ipar'. Hell!
[Ya, Depar wkwk] -Nindi
Aku ketularan sintingnya Cindy kurasa.
[Besok ke toko yee. Mamer suruh] -Cindy
Aku terkekeh, kurang kerjaan banget si Cindy sampai memanggil Mama Eka dengan Mamer. Kurang 'r' aja tuh di tengah, bisa jadi marmer. Huh, apasih!
[Oke Depar] -Nindi