Vena mendekati Cheril. Dia memegang dahi gadis itu. "Sudah nggak panas lagi. Cheril sakit apa, Mas?"
Faisal menggeleng. "Mas-"
"Sal! Kamu telepon Melani, nggak? Sampai sekarang kok belum datang!" sela Widya dengan nada tinggi. Dia heran, kenapa yang datang bukan Melani, malah mantan pacar anaknya.
Vena yang duduk di samping Widya terkejut, karena hentakan suara wanita di sampingnya.
"Dia ditelepon nggak diangkat. Lagi sibuk bersih-bersih rumah mungkin," jawab Faisal cuek.
Bibir Vena mengulum senyum. Reaksi Faisal sesuai yang dia harapkan. Tubuh ramping itu beralih berdiri di samping Faisal.
"Ngerjakan apa, Mas? Mau aku bantu?" Sentuhanya lembut pada bahu kekasihnya membuat Faisal mendongak.
"Cuma dikit. Nanti sisanya bisa dikerjakan Pak Soleh. Kamu duduk aja, temani Cheril."
Vena melirik gadis kecil yang berada di pangkuan Widya. "Beneran, nggak mau dibantuin? Biar cepet."
"Iya, nggak apa-apa." Faisal menatapnya penuh cinta.
"Eeh... Faisal sudah kadi suami orang. Kenapa pegang-pegang? Kamu nggak malu? Kamu bukan siapa-siapa Faisal lagi!"
Dulu Widya memang suka dengan hubungan antara Faisal dan Vena. Tapi setelah Faisal menikah dan Vena masih saja nemplok di sekitar anaknya, respek Widya berkurang.
"Perempuan kok kegatelan," lanjutnya.
Faisal mendengus keras. "Sudah lah, Mi. Hubunganku dan Vena sudah lama. Kalau putus, kan ga harus musuhan atau putus silaturahmi. Kami masih bisa jadi teman."
Widya mencibir. "Teman tapi nemplok kayak cicak."
Vena tersenyum kaku. Hatinya sakit dan berusaha untuk menebalkan wajah. Dia lupa kalau Faisal bukan lagi miliknya seutuhnya.
"Sudah lama, Te, dia panas?" Dia menggenggam tangan Cheril.
"Hm." Widya mengangguk sambil mengutak atik ponsel.
"Kasian Cheril nggak ada yang ngerawat. Mas Faisal pasti sibuk ya," ucap Vena lembut.
"Melani yang selalu merawat Cheril. Nggak pernah lepas dari dia. Tapi ayahnya aja tuh yang abai. Anaknya kejang-kejang baru dibawa ke rumah sakit." Widya menunjuk Faisal dengan dagu sambil mencibir.
"Mungkin Mas Faisal sibuk, Tante. Memang harus ada yang merawat Cheril dengan baik."
"Kamu nggak dengar tadi aku ngomong apa? Yang ngerawat Cheril ada banyak. Lebih-lebih Melani. Sudah anggap Cheril anak kandungnya sendiri. Perempuan mana yang bisa begitu? Tapi Faisal malah peduli sama orang yang bukan anggota kekuarga." Maniknya melirik Vena jengkel.
"Mi, sudah. Cheril sakit. Jangan berisik." Faisal mengacak rambut, memandang maminya, memohon pengertian.
Bibir Widya merengut. Sakit hati saat Faisal membela Vena. Yang dia heran, kenapa sih ada perempuan itu di sini?
Ponsel dari dalam tas cokelat tua berdering. Widya merogoh dan melihat pengirim pesan.
"Cheril mau sama Tante? Mungkin Uti capek."
Cheril menggeleng. "Ibu nggak ada."
Manik hazel Vena memutar kesal. Kesal kalau yang dicari malah orang lain.
"Iya, ibu tiri Cheril sibuk di rumah. Sekarang kan ada Tante yang gantiin ibu kamu." Dia mengatakannya menahan jengkel.
"Tapi tadi kata Uti, ibu ditinggal Ayah di rumah," lanjut Cheril melirik Widya yang sibuk dengan ponsel.
Anak kecil itu tidak sadar kalau Vena enggan meneruskan pembicaraan tentang Melani. Saingannya. Perlu digaris bawahi, perebut pacarnya.
Faisal menyadari situasi yang memojokkan Vena. Dia meletakkan pekerjaannya. Menatap Cheril lekat dari kursi kerjanya
"Ibu tidak bisa ka sini, Cheril. Soalnya di rumah banyak pekerjaan. Harus bersih-bersih kamar Cheril juga, biar waktu pulang, kamar jadi bersih."
"Nggak mau! Aku mau Ibu!" Cheril merengek menyebut Melani. Kakinya yang gemuk menendang-nendang paha Vena.
"Aw! Cheril berhenti! Sakit!" Wanita muda itu mendorong kaki Cheril. Hampir gadis kecil itu merosot ke lantai jika Widya tidak memegang tubuh cucunya.
"Heh! Siapa kamu berani bentak cucu saya! Kamu bukan siapa-siapa. Kalau sakit, ya pindah!" Suara Widya lebih melengking dari sebelumnya. "Sudah tua tapi nggak tahu diri!"
Vena menciut mendengar Widya marah. Rasa sakit hati dan sesak menyatu menjadi nyeri. Tapi dia tidak bisa membantah.
"Bu-bukan begitu, Tante. Ini sakit." Vena mengusap pahanya dengan wajah memelas.
"Tapi nggak perlu kasar juga! Untung dia nggak jatuh. Kalau jatuh, kamu mau tanggung jawab!"
Fokus Faisal lagi-lagi teralihkan karena keributan Widya dan Vena. Tanpa sadar, tangannya menggebrak meja.
Brak!
"Mi, sudah dong. Itu masalah sepele. Jangan marah-marah." Lalu tatapannya berubah garang pada Cheril. "Cheril, kamu nggak boleh gitu sama Tante Vena. Kalau kamu nakal lagi, Ayah nggak mau ajak Cheril jalan-jalan."
Gadis itu merengut. Dia berbalik badan menghadap perut Widya. "Ayah jahat!"
Widya menepuk bahu Cheril. "Iya, ayah kamu sudah kerasukan jin. Sebentar lagi Ibu datang. Sabar, ya."
Faisal menghela napas panjang. "Jangan membohongi anak kecil, Mi."
Widya mencibir. "Siapa yang membohongi? Bukannya kamu yang membohongi kami?" Kepalanya melengos.
Pintu ruangannya diketuk. Faisal tersentak. "Itu petugas lab-nya datang. Masuk!"
Pintu terbuka lebar. Dua pasang mata melotot pada sosok yang muncul. Sementara dua pasang mata lainnya terlihat girang.
"Ibu!" Cheril terduduk.
Melani langsung memeluk anak tirinya. Memberikan ketenangan.
"Kamu lama banget, Mel. Cheril dari tadi nyariin kamu." Widya lega, menantunya datang di waktu yang tepat.
"Iya, Mi. Macet."
Vena merengut. Siapa yang nyangka ada istri Faisal di sana. Sekilas dia mencium bau tidak enak. Dia beringsut ke kursi lainnya sambil menahan napas.
"Kamu istri Faisal?"
Melani melepas pelukan Cheril. Manik hitamnya menelusuri wanita yang mirip manekin boneka. Rambut blonde, mengombak indah. Badan hampir mirip angka delapan. Lalu wajah dan kulitnya. Siapa saja pasti minder jika berdiri di sampingnya.
"I-Iya. Mbak siapa ya?"
Vena tersenyum dibuat-buat. Pandangannya menatap rendah Melani. "Aku Vena. Dulu pacarnya Faisal." Dia memberi jeda. "Sampai dia nikah nggak bilang-bilang."
Glek!
Mendadak Melani jadi ciut sendiri. Dia menatap tubuhnya. Membandingkan tubuhnya dengan boneka hidup di hadapannya.
"Kamu ke sini nggak mandi? Repot banget ya ngerawat Cheril?"
Melani menganga. Ada orang baru dikenal, tiba-tiba tanya sudah mandi apa belum. Halo? Dia siapa?
"Mandi." Melani menjawab bingung.
"Kok bau?" Vena masih memandang jijik saingannya.
Faisal menahan tawa di balik meja kerjanya.
Diam-diam Melani mengendus tubuhnya. Padahal dia hanya bau asap. Tidak mungkin bau parfum kalau macet-macetan di tengah kota dengan naik sepeda motor.
"Ya maklum, aku kan naik sepeda motor."
Sudah sering Melani bertemu orang cantik, tapi mulutnya mirip cabe busuk. Melani mencakar kulit semulus porseline atau menarik rambut indah yang membuat wanita itu tampak seksi. Tapi sayang, itu hanya khayalan.
Hanya harga diri yang dia punya. Jika harga dirinya juga hancur, tamat hidupnya.
Pintu diketuk lagi. Membisukan ruang kerja direktur. Kali ini petugas lab mengantarkan hasil tes darah. Faisal mengambil dan membaca hasil.
"Mel, kamu mandi sana. Kasihan Cheril kamu peluk." Faisal berdiri dari kursinya. "Ayo Cheril ke kamar. Dia kena demam berdarah."
Melani menggembungkan pipi. Bahkan suaminya membela si mantan pacar.
"Sal, kamu ini aneh-aneh aja. Disaat darurat kok suruh Melani mandi. Cheril butuh Melani," kata Widya membela.
"Kan ada aku, Mami dan Vena. Cukup kalau buat menjaga Cheril."
Widya berkacak pinggang dengan manik mirip mamak kunti. "Ya ngapain Vena ada di sini? Mending dia yang pulang. Dia nggak ada hubungannya dengan...."
"Mami," sela Melani. "Nggak apa-apa. Melani bisa mandi dulu."
"Memang kamu bawa baju ganti?"
Melani menggigit bibir. Dia lupa tidak bawa baju ganti. Sama saja tetap bau debu meski sudah mengguyur tubuh.
"Sudah, aku bawa Cheril ke rawat inap." Faisal tiba-tiba menggendong Cheril. "Ayo siapa yang mau ikut, ikut aja. Kalau nggak, bisa pergi."
Vena berdiri. "Ayo aku temani, Mas." Dia dengan cekatan mengimbangi langkah Faisal ke luar dari ruang direktur.
Widya melotot. "Mel, kamu jangan mau kalah sama Vena. Dia jelas-jelas nyatain perang sama kamu. Kamu itu istrinya. Tadi harusnya dia bisa habis Mami omelin."
"Mi, ada Cheril. Dia masih kecil dan lagi sakit. Kasihan kalau dengar orang bertengkar."
Widya melepas napas dengan kasar. "Lain kali, kamu jangan mau kalah. Terus nih," dia mengambilkan beberapa uang. "Beli baju di mall depan. Sekalian beli parfum. Kalau bisa cari parfum yang bisa bikin perempuan itu minggat."
"Nggak usah, Mi. Aku ada uang."
"Kamu dikasih uang sama Faisal?"
Melani menggeleng. Dia baru sadar, Faisal tidak memberinya uang sama sekali. Padahal suaminya adalah pemilik rumah sakit terbesar di kota.
"Aku punya uang sendiri."
Widya mengambil tangan Melani dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah.
"Beli baju yang bagus. Nanti Mami bisa minta Faisal. Uang dia masih banyak. Biar Mami kuras."
***