Mbok Lasmi dan putrinya yang bernama Ajeng baru saja turun dari sebuah travel di depan kediaman megah Tuan Dennis Damara. Mbok Lasmi adalah pembantu yang sudah bekerja sepuluh tahun di rumah Tuan Dennis Damara. Seminggu yang lalu ia terpaksa pulang kampung begitu mendengar kabar bahwa ibunya sakit keras hingga akhirnya meninggal. Selama ini ibunya Mbok Lasmi-lah yang menjaga dan merawat Ajeng, putri semata wayangnya Mbok Lasmi. Sementara suaminya sendiri sudah meninggal ketika Ajeng masih kecil. Namun karena sang ibu juga meninggal, maka Mbok Lasmi pun terpaksa membawa anak gadisnya itu ikut bersamanya.
"Ini rumahnya Tuan Dennis Damara, Bu? Selama ini Ibu bekerja di sini?" tanya Ajeng yang tampak melongo menatap kediaman megah bak istana itu.
"Iya, kamu di sini harus jaga sikap, ya. Harus hormat dan patuh pada Tuan Dennis dan Nyonya Rossa, juga pada Tuan muda Kenneth. Mereka semua orang baik dan terpelajar, mereka sangat tidak suka dengan orang yang tidak sopan apa lagi yang macam-macam," terang Mbok Lasmi pada putrinya itu.
Mereka berdua pun memasuki rumah mewah itu dan langsung menghadap Nyonya Rossa yang sedang duduk di kursi santainya. Dengan canggung, Ajeng pun mengikuti ibunya untuk berlutut di depan sang majikan.
"Sudah balik dari kampung, Mbok?" ujar Nyonya Rossa.
"Iya, sudah, Nyonya. Sebelumnya saya minta maaf ya, Nya, saya terpaksa membawa anak saya ke sini karena sudah tidak ada lagi yang akan menjaganya di kampung," sahut Mbok Lasmi dengan kepala tertunduk.
"Ya, tidak apa-apa, Bi. Oh ya, saya turut berduka ya atas meninggalnya ibu Mbok Lasmi."
"Terima kasih, Nya."
"Oh ya, ini anak gadis Mbok Lasmi, siapa namanya?" Nyonya Rossa mengalihkan pandangannya pada seorang gadis berwajah lugu yang duduk di sebelah Mbok Lasmi.
"Sa-saya Ajeng, Buk … eh, maksud saya, Nyonya." Ajeng memperkenalkan dirinya dengan gugup.
"Ajeng?"
"Nama panjangnya Ajeng Sri Paramitha, Nya. Tapi panggilannya Ajeng," terang Mbok Lasmi.
"Oooh." Nyonya Rossa pun manggut-manggut. "Masih sekolah, kan? Kelas berapa?"
"Kelas dua SMA, Nya," jawab Mbok Lasmi lagi.
"Nanti Ajeng di sekolahkan di sekolah negeri dekat sini saja, Mbok. Nanti akan saya bantu mendaftarkannya."
"Terima kasih banyak, Nya," ucap Mbok Lasmi. Ia juga mencubit lengan Ajeng, memberi kode agar putrinya itu juga ikut mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih … Nyonya," ucap Ajeng.
Nyonya Rossa tersenyum. "Ya, sudah, kalian berdua boleh istirahat dulu. Pasti capek kan datang jauh-jauh dari kampung?"
"Baik, Nya. Sekali lagi terima kasih banyak ya, Nya. Kami permisi dulu."
"Ya, silakan."
Mbok Lasmi dan Ajeng pun bangkit berdiri dan menuju kamar yang telah disediakan untuknya, yaitu kamar pembantu yang letaknya di bagian belakang setelah dapur. Sepanjang menyusuri rumah megah itu, Ajeng tak berhenti mengagumi setiap hal yang ia lihat, mulai dari furniture-furniture mewah, pajangan-pajangan bagus, serta foto keluarga kaya raya itu.
"Buk, itu putra tunggalnya Tuan Dennis dan Nyonya Rossa ya, Bu?" tanya Ajeng sambil menunjuk sebuah foto berukuran besar di dinding.
"Iya, itu namanya Tuan Muda Kenneth. Kamu kalau bertemu dengannya harus panggil Tuan Muda juga, ya."
"Ganteng ya, Buk," gumam Ajeng sambil tersenyum. Seumur hidupnya baru kali itulah ia melihat laki-laki setampan itu, bahkan menurut Ajeng, paras putra tunggal keluarga konglomerat itu jauh lebih tampan dari pada bintang film dan sinetron yang sering ia tonton di televisi.
"Ah, kamu ini. Ya, jelaslah dia ganteng, namanya juga Tuan Muda. Tapi kamu jangan berpikir macam-macam, ya, apa lagi kalau sampai naksir sama Tuan Muda Kenneth. Ingat, kita ini di sini cuman pembantu," ucap Mbok Lasmi.
Ajeng pun langsung memonyongkan bibirnya. "Iya, Buk..," sungutnya. Ajeng masih ingin berlama-lama menatap potret Tuan Muda itu tapi Mbok Lasmi sudah lebih dahulu menarik tangannya untuk memasuki kamar pembantu.
"Ajeng, ini adalah kamar kita. Kamu kalau mau tidur dan beristirahat, harus di kamar ini ya. Jangan tidur-tidur di ruang tamu, di ruang ke luarga, apa lagi di sofa-sofanya empuk yang ada di ruangan itu. Ranah kita hanyalah seputar dapur dan tempat cuci saja. Kalaupun untuk ke ruangan yang lain, itu hanyalah untuk bersih-bersih saja. Kamu juga nggak boleh asal menyentuh barang-barang di rumah ini. Nanti rusak atau pecah, kan Ibu yang jadi tidak enak. Pokoknya tugas kamu di sini adalah sekolah, kalau pulang sekolah baru bantu ibu. Mengerti?" terang Mbok Lasmi panjang lebar.
"Ya, mengerti, Bu," sahut Ajeng sambil menganggukkan kepalanya.
***
Pukul setengah dua belas malam, Mbok Lasmi sudah tidur, tapi Ajeng masih terbangun. Mungkin karena tempat itu masih terasa asing baginya, Ajeng jadi sulit untuk memejamkan mata. Selain itu, ia juga degdegan karena besok akan sekolah di sekolah yang baru. Ajeng takut tidak bisa berbaur dengan teman-teman barunya nanti.
Tiba-tiba, Ajeng merasa haus. Ia pun mengambil minuman di dapur. Saat hendak kembali ke kamarnya, pandangan Ajeng kembali tertuju pada potret keluarga Tuan Dennis Damara, fokus utama Ajeng tentu saja pada Tuan Muda Kenneth. Gadis tujuh belas tahun itu tersenyum sendiri melihat paras Tuan Muda Kenneth yang tampan. Ia juga tidak sabar ingin melihat paras itu secara langsung. Dari pagi tadi, Ajeng memang belum bertemu dengan Tuan Muda itu sehingga membuat Ajeng semakin penasaran.
Ting! Nong! Tok! Tok! Tok!
Ajeng terkejut mendengar suara bel dan pintu utama yang digedor-gedor. Karena suara bel itu terus saja berulang, Ajeng pun langsung berinisiatif membukakan pintu. Tiba-tiba ia melongo saat melihat tubuh jangkung seorang laki-laki berwajah tampan berdiri di hadapannya. Tuan Muda Kenneth! Jantung Ajeng berdegup kencang, ternyata Tuan Muda Kenneth jauh lebih tampan dari pada yang ia lihat di foto. Mata Ajeng pun sampai tidak berkedip menatapnya.
Mata Ken menyipit menatap seorang gadis kecil di hadapannya. "Bibir yang bagus," cetusnya sambil meletakkan telunjuknya di atas bibir Ajeng yang merah muda, lantas mengusapnya secara lembut. Degupan di jantung Ajeng pun semakin menjadi-jadi, di saat yang bersamaan dia juga mulai merasa takut.
"Oooh … aku suka sekali bibir ini," cetus Ken lagi sembari mendekatkan kepalanya ke wajah Ajeng. Seketika itu juga Ajeng langsung menarik wajahnya mundur, ia juga menyadari sesuatu, majikannya itu dalam keadaan mabuk.
Tapi sikap Ajeng yang mengelak itu justru membuat Ken tersinggung. "Hei, apa maksudnya? Kau menolakku?"
Ajeng gemetaran. "Ja-ja-ja-jangan, Tuan—"
"Tuan? Oh, aku suka sekali mendapat panggilan hormat seperti itu. Ayo ikut denganku, dan teriakkan Tuan Kenneth lebih keras lagi." Ken menarik lengan gadis kecil itu menuju kamarnya.
Dengan sekujur tubuh yang gemetaran karena ketakutan, Ajeng masih berusaha berontak. Ia ingin berteriak tapi mulutnya dibungkam oleh sang majikan.