webnovel

12. Pelarian

Celine, aku, dan Rose sudah bersusahpayah untuk membujuk dua perempuan di kamar Ari. Kuakui memang susah bahkan mustahil untuk merecoki Jessica yang sedang focus dengan buku-buku. Namun bagaimana dengan Ari? Kukira dia sedang tak sibuk apa-apa, justru menolak, apa karena pengaruh Jessica? Entahlah, yang jelas kami bertiga akan keluar malam ini, bagaimana pun caranya. Itu menjadi tugas kami selanjutnya. Celine memimpin penuh percaya diri,

"Kita bisa keluar lewat jendela gudang belakang yang langsung terhubung dengan jalan setapak, pastikan jangan membuat suara sekecil apapun, kita akan memikirkan cara mengecoh petugas nanti,"

Aku dan Rose mengangguk. Intinya kita akan kabur lewat jendela gudang, dan selanjutnya bagian mengikuti Celine. Dia yang menjadi otak dalam rencana ini.

Derapan langkah kami sudah berusaha untuk tak berisik sama sekali. Celine memimpin di depan, kemudian Rose, dan aku. Konyol, berusaha kabur hanya untuk makan malam, tetapi tak apa, itu akan menjadi hiburan tersendiri. Pintu gudang dibuka pelan-pelan, sebisa mungkin agar tak ada yang mendengar, termasuk cicak sekalipun. Ruangan itu cukup gelap, berkas cahaya sedikit pun jarang dijumpai, aku meraba bagian dalam saku celana. Ya, untungnya baterai ponselku masih cukup dan senter berhasil dinyalakan. Namun, sebuah tangan datang untuk menyingkirkan cahaya. Detak jantungku terlanjur berpacu cepat.

"Jangan nyalakan itu!" kesal Celine tidak setuju. Apa kita akan berjalan dalam gelap? Oh, tolong jangan begitu.

"Kenapa? Tak ada cahaya satu pun disini,"

"Pssstt..." Celine menempelkan jemari telunjuk di bibir, "cahaya sentermu jelas akan memancing para penjaga di luar,"

Keningku berkerut, ia merebut ponselku seenaknya dan mematikan satu-satunya sumber cahaya yang kumiliki.

Langkah kami kembali berlanjut, tanpa berkas-berkas cahaya tangan kami bertautan untuk menuntun jalan. Entah setajam apa penglihatan Celine hingga tak sekalipun kami menabrak sesuatu, sebab ia yang memimpin di depan. Di depan sana, jendela yang dimaksud sudah mulai terlihat, semoga saja tidak ada yang berjaga tepat di luar sana.

"Cel, apa kau yakin ini akan baik-baik saja?" tanya Rose sepemikiran denganku.

Awalnya memang aku dan dia yang mengajak Celine untuk keluar, tetapi kurasa situasinya terbalik. Karena giliran Celine lah yang menentukan langkah dan terlihat yakin dengan pelarian.

"Tidak apa-apa,"

Celine mengintip sejenak ke arah luar,

"Bagus, tidak ada siapa pun," terang perempuan berbaju hitam itu dengan semangat.

Ia melepas pengait jendela dan membukanya perlahan, memastikan tidak ada suara sedikit pun. Bagaimana seorang Celine bisa sebegitu teliti dan hati-hati? Biasanya dia sosok urakan dan penuh kecerobohan. Tidak. Mungkin keadaan memancingnya untuk berbuat demikian.

Sempit, memang memilih jendela untuk keluar bukanlah hal yang mudah. Aku berusaha keras agar tidak terjepit atau tersangkut. Seperti dugaanku, Celine akan mengambil jalan belakang yang terhubung langsung dengan jalan raya di atasnya. Namun, itu berarti kita harus melewati sebuah tempat pembuangan sampah. Oh tidak, membayangkan baunya saja aku ingin pingsan. Celine mendahului langkahku dan Rose, ia begitu cekatan.

Drrttt...

Ponselku bergetar tanda pesan masuk, bukan waktu yang tepat untuk membukanya. Namun, entah mengapa aku begitu penasaran.

"Kau duluan," pesanku pada Rose.

Ia menurut tanpa perlawanan. Aku membuka ponsel, satu email masuk dari alamat anonim.

'Jangan dekat dengan Celine untuk sementara ini'

Apa maksudnya? Aku tidak mengerti, ada apa dengan Celine? Mengapa aku tidak boleh dekat dengannya? Apa yang salah? Beberapa pertanyaan muncul bersamaan. Singkat, tetapi samar. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Namun, pertanyaan terbesarku adalah siapa yang mengirim pesan itu? Dan apa tujuannya? Baiklah, untuk sementara aku tidak akan menghiraukannya. Aku sudah mengenal dan berteman dengan Celine selama dua tahun. Tetapi, tak ada yang salah dengannya.

"Dasar pesan gila," umatku dalam hati sebelum menyusul Rose dan Celine di depan. Aku harus lebih dulu mematikan fungsi pengenal aroma dari hidungku.

Sama halnya dengan situasi gudang tadi, gang yang sedang kulewati sangat miskin cahaya. Aku jadi kesulitan melihat jarak jauh. Kubangan kecil air juga sedikit menghambat langkahku sebab harus menghindarinya. Jika saja bukan karena teriakan nyaring dari depan sana, aku tidak akan sengaja mempercepat langkah. Kedua tangan Rose menutup mulutnya yang barusan melengking keras. Sorot matanya mengarah ke tempat pembuangan sampah tepat di depannya. Tanpa kusadari, mataku terbelalak sepenuhnya, detak jantungku terlambat. Aliran udara tercekat seketika. Tubuh Celine kaku menghadapi perhatian yang sama. Aku tak mengerti mengapa tubuh lelaki bisa terdampar di tempat pembuangan sampah. Kami bertiga tak berani mendekat. Dalaman kaos putihnya dipenuhi bercak darah. Apa dia sudah mati?

Derapan langkah langsung menyerbu dari balik punggung kami, tak ada yang berpaling. Sudah dapat dipastikan mereka para penjaga yang terpancing oleh teriakan Rose tadi. Gawat. Salah satu tangan memegang pundakku,

"Ada apa?"

Bukan Iqbal, ia sosok lelaki lain yang mungkin tergabung dalam agen pengamanan. Aku menggerakkan mataku ke arah yang seharusnya. Kejutan. Ada kasus lain di lingkungan itu, sepertinya akan muncul hal besar kedepan. Lelaki tadi langsung menghubungi seseorang, tampak seperti atasannya. Sedangkan penjaga lain mendekati mayat di pembuangan sampah. Dan satu agen yang berkalung serigala mendapatkan bagiannya untuk memarahi tiga perempuan di TKP.

"Kalian bukannya penghuni rumah Nyonya Jean yang sedang kami jaga, kenapa-" terpotong, "dan kamu,"

Dia menunjuk ke arahku, sepertinya reputasiku sudah tinggi di mata departemen kepolisian. Aku hanya menunggu kelanjutan kata-katanya, kita lihat mana yang akan dipilih, korban teror jendela? Tersangka kasus Giny Kumalasari? Saksi yang naik statusnya? Atau yang lain.

"Kalian bertiga bisa kembali sekarang,"

Tangan lelaki itu menarik Celine yang diam di tempat tanpa gerakan berarti. Sebegitu terkejutnya kah? Mungkin, sebab dia yang pertama kali sampai dan melihat mayat disana. Malang.

Sungguh malam yang benar sial-sial-sial, rencana awal makan malam di luar harus terhalang. Mungkin semesta tidak setuju dan mengacaukan segalanya. Kasus baru bukanlah perkara mudah, itu hanya akan memperumit masalah. Hal apa lagi yang lebih menyebalkan selain bertemu dengan detektif bernama Iqbal kembali. Mengapa kepolisian kota hanya mengirim satu orang itu saja? Tidakkah mereka tau aku sangat bosan untuk menatap matanya lagi. Aku menyerah sebelum dimulai. Kami bertiga duduk berdampingan di sofa panjang, sementara Iqbal ada di depan seolah sedang memilih mana yang hendak dimakan lebih dulu.

"Jadi, siapa yang merencanakan untuk keluar?"

Kuperhatikan Celine dan Rose hanya menunduk, kukira perempuan di sebelahku akan menjawab dengan angkuh seperti sebelumnya. Namun, sepertinya ia agak tertekan setelah itu. Tak ada pilihan lain.

"Jika jawabannya adalah aku, apa kau keberatan pak detektif?"

Lelaki berjas coklat memajukan tubuhnya,

"Bagus sekali, korban teror langsung ingin pergi keluar, apa kau tidak terbayang-bayang pelaku teror akan membunuhmu di luaran sana? Oh, benar juga, kau tidak akan takut terbunuh, karena akan membunuh lebih dulu,"

Iqbal menaikkan sebelah sudut bibirnya.

"Apa yang ingin kalian lakukan di luar sana?" tanya Iqbal kedua kalinya.

Rose dan Celine masih enggan menjawab, mengapa mereka bersikap begitu?

"Bukankah rumah ini sama seperti penjara dengan agen keamananmu yang berjaga 24 jam? Kami hanya ingin makan malam di luar tuan detektif, tidak ada hal lain dan kami menemukan mayat itu," jawabku penuh hati-hati.

"Sebuah kebetulan bukan? Aku heran mengapa kasus disini melibatkanmu lagi - Nona Aster, mungkinkah ada hubungannya dengan kejadian dua tahun lalu? Aku tidak akan lengah,"

Aku hanya memutar bola mata sekilas saat mendengar Iqbal menyebut kejadian dua tahun lalu. Mengapa ia tidak pernah lupa untuk mengatakan dan memperjelas hal itu? Kapan aku terlepas sepenuhnya? Aku tidak bersalah.

#bersambung#