Suara riuh memenuhi sepanjang lorong sekolah. Sampah berserakan di lantai-lantai. Dinding yang semula bercat putih tulang berubah drastis menjadi penuh warna. Rangkaian balon terlihat membentang di sepanjang atap. Dengan beberapa dekorasi kertas yang dibentuk sedemikian rupa, lorong sekolah yang awalnya bernuansa monoton menjadi lebih meriah.
Besok ini adalah perayaan ulang tahun sekolah. Sudah sepatutnya untuk dirayakan semeriah mungkin. Berbagai lomba akan diadakan untuk membuat perayaan hari jadi ke-57 lebih mengasikan. Seluruh siswa pasti sudah tidak sabar menunggu hari esok datang. Antusiasme mereka sangat tinggi kalau tentang hal seperti ini.
"Gue titip nasi bungkus satu, Dan."
Jordan hanya membalas dengan tangan membentuk tanda oke
"Gue juga, Dan. Nasi goreng Bu Diah," dengan gaya sok cool Jordan mengiyakan permintaan temannya itu.
Kini ia sedang berjalan dengan dua sahabatnya di sebelahnya. Tujuannya adalah kantin sekolah yang berada di area paling belakang sekolah. Dengan tingkat kepedean yang tinggi ia berlagak seakan berjalan di red carpet, bergaya bak model kelas atas. Dua sahabatnya hanya bisa menggeleng tak percaya dengan kelakuan Jordan.
"Bang, ga malu lo?" ucap gadis yang berada di sebelah kiri Jordan.
Gadis itu memiliki rambut panjang bergelombang dengan warna coklat tua yang berkilauan. Wajahnya mewakili bahwa dalam dirinya mengalir darah Korea asli. Dia Ethereal, cewek yang memiliki sikap kasar dan blak-blakan. Ia tidak akan ragu untuk mengkritik orang, bahkan di depannya langsung.
"Gue ga dilahirkan ada urat malunya," ucapnya bangga.
Ethereal hanya memutar bola matanya malas.
Mata mereka terbelalak melihat Langit yang terhuyung. Bersamaan dengan suara kaca pecah, Langit yang berada di sebelah kanan Jordan, terjatuh ke arah Jordan. Spontan Jordan menangkap tubuh Langit. Ia menatap Langit khawatir begitu melihat darah yang keluar dari pundak dan wajah Langit.
"Siapa yang main bola?!" teriak Jordan marah. Seketika semua orang yang ada disekitarnya membisu.
Pantas saja ia marah, sebab bola itu memantul di jendela, jadi pecah jendelanya dan mengenai sahabatnya.
"Cepetan ngaku, gabisa omong lo semua?!" Ethereal ikut teriak penuh emosi.
Tidak ada satupun yang mengaku. Lebih tetapnya mereka tidak bermain bola, kerjaan di depan mata mana sempat.
Iris mata Jordan menangkap seorang cewek dengan hoodie hitam sedang berjalan santai sambil bermain bola di tangan kanannya. Seolah tidak melakukan kesalahan cewek itu berlalu sambil bersiul. Langit yang sudah berdiri tegak ia tinggalkan dan mengejar cewek itu.
"Woy, sini lo tanggung jawab!" dengan kasar ia menarik tudung hoodie cewek itu.
"Apaan sih? Main tarik aja lo," seru cewek itu tidak kalah nyolotnya.
Jordan berkacak pinggang. "Lo kan yang main bola?" Terus mecahin kaca, tuding Jordan.
"Kalo iya kenapa?"
"Tanggung jawab lah, malah tanya."
Cewek itu tertawa remeh. "Hah? Gue kenapa harus tanggung jawab? Gila lo, udah lah gue cabut," ucapnya seraya berbalik dan melambaikan tangan.
"Ada apa ribut-ribut?" suara tegas dari sosok pria dengan badan tegap menggelegar sepanjang lorong.
Mampus, habis gue. Batin Nadien, si cewek berhoodie hitam.
Kalau sudah kepala sekolah yang turun tangan ia tidak bisa mengelak lagi. Bisa gawat kalau sampai ayahnya tau kalau ia berbuat nakal di sekolah. Dengan pasrah ia berhenti tak jauh dari tempat berdiri Pak Jodi, kepala sekolah.
"Pak, cewek itu pecahin jendela terus Langit kena pecahan kacanya!" Lapor cewek bernama Ethereal sambil menunjuk Nadien dan Langit bergantian.
Mata Pak Jodi langsung menyalang marah ke arah Nadien.
"Kamu lagi, kamu lagi. Cepetan bawa Langit ke rumah sakit terdekat. Kamu, Nadien, ikut dengan Langit. Kamu tanggung jawab, setelah itu datang ke ruangan Bapak! Bapak siapkan mobilnya dulu." Pak Jodi langsung berlalu dan mengambil tindakan dengan cepat. Bisa gawat kalau tidak segera ditangani.
[]
"Sus cepetan dikit. Gerah gue disini," keluh Nadien yang duduk di sebelah ranjang Langit.
Mereka berdua kini sedang berada di rumah sakit dekat sekolah mereka. Bau obat-obatan tercium kuat, nuansa yang serba putih semakin membuat kepalanya ikut pusing. Sungguh ia benci tempat ini.
"Bentar lagi selesai kok, kak." Ucap suster itu dengan sabar. Ia masih sibuk membersihkan luka Langit.
Memakan waktu beberapa menit, Langit sudah selesai diobati. Walau tidak terlalu parah tapi cukup banyak luka yang ia dapatkan. Pundaknya diperban karena luka yang cukup besar, sedangkan wajahnya hanya diberikan beberapa plester luka.
Nadien berjalan ke arah ruang administrasi diikuti Langit di belakangnya. Sesuai yang dikatakan Pak Jodi ia diharuskan bertanggung jawab yaitu, menanggung biaya pengobatan dan menganti biaya perbaikan jendela.
Selesai membayar ia langsung keluar rumah sakit. Leganya, akhirnya ia bisa menghirup udara segar berada di dalam sana rasanya sangat pengap.
"Duduk dulu, gue telepon Pak Jodi." Padat, singkat dan jelas.
"Lo bisa omong ternyata, gue kira lo bisu," ia mengikuti Langit yang sudah lebih dulu duduk di bangku kayu depan rumah sakit.
Langit hanya diam tidak membalas. Ia sibuk menghubungi Pak Jodi yang tidak kunjung mengangkat telepon darinya. Belum juga diangkat, ia memilih untuk mengirimkan pesan singkat. Akan tidak sopan jika menghubungi beliau terlalu banyak.
Mereka diam. Nadien yang sibuk bermain dengan ponselnya dan Langit yang hanya diam menatap orang-orang yang sibuk berlalu lalang.
"Makasih," ucap Langit sambil menatap Nadien.
Ya, sejak tadi ia sibuk memikirkan bagaimana cara memulai pembicaraan.
"Bukan apa-apa." Orang kaya, ganti rugi berapa pun tetap tidak masalah.
Langit melanjutkan obrolan. "Nama lo siapa?"
"Mustahil lo ga tau nama gue. Pura-pura gatau ya lo?" faktanya memang begitu, seisi sekolah pasti mengenalnya. Kenakalannya sudah tidak perlu diragukan lagi, itu membuat dirinya menjadi dikenal.
"Beneran ga tau."
"Lo habis bertapa dari gua atau gimana?" tanya Nadien dan memasukkan ponselnya ke saku hoodie.
"Ga," ucapnya dengan muka polos.
Nadien menoleh ke arah Langit. "Nadien," sepersekian detik ia terhanyut dalam visual tampan Langit. Cahaya matahari yang menyorot wajah Langit seakan tahu kalau Langit mempunyai pesona yang luar biasa indah.
Ingat ia hanya terpesona tidak lebih dari satu detik.
Wajah dengan ciri khas orang eropa yang memiliki bentuk rahang yang kuat. Alis tebat berwarna coklat gelap senada dengan warna rambutnya yang sedikit berantakan. Serta hidung mancung yang siap membuat siapa pun yang melihat Langit menjadi jatuh cinta kepadanya. Tidak heran jika Langit menjadi primadona di sekolah, selain wajahnya yang tampan otaknya juga sangat pintar.
"Oh, Gue Langit." Ucap Langit memperkenalkan diri balik. "Lo kelas berapa?" sambungnya.
"XII MIPA 1," Nadien kembali bermain ponselnya.
Perlu kalian ketahui, XII MIPA 1 hanya berisi orang-orang yang memiliki otak cerdas. Jangan bermimpi bisa masuk kelas ini kalau otak kalian tidak dirancang untuk bisa menguasai semua mata pelajaran.
Langit sedikit terkejut. "Gue sekelas sama lo," aneh bukan? Teman sekelasnya sendiri ia tidak hafal. Sebenarnya bukan tidak hafal, hanya sengaja tidak ingin mengingat orang yang ada di sekitarnya. Terkecuali dua sahabatnya dan keluarganya pastinya.
"Sumpah, lo di kelas bertapa?" ujar Nadien tidak habis pikir.
"Ga."
"Ingatan lo bermasalah kali."
"Ga juga, gue cuman gamau inget," jujur Langit.
Nadien menatap Langit penuh kebingungan. "Lawak deh lo. Kalo orang biasa selalu pengen bisa inget orang-orang disekitar. Lo malah sengaja gamau nginget," ia mengelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Berarti gue luar biasa," ucapnya datar.
Satu cowok ini memang tidak punya emosi atau bagaimana?
"Dih!"
"Lo mau gue inget ga?" tanya Langit penuh harap.
Sekali lagi Nadien dibuat keheranan dengan sikap Langit. "Lo selalu tanya sama orang lain gitu juga?"
Langit menggelengkan kepalanya. "Baru lo yang gue tanya," astaga Langit jujur banget.
"Ya, terserah lo."
"Oke, gue bakalan nginget lo," ujarnya penuh keyakinan.
Secepat itu dia mengambil keputusan?
"Ya, ya terserah lo."
"Mobil Pak Jodi. Balik sekarang." Ucap Langit sambil menunjuk mobil Pak Jodi yang sedang melaju ke arah mereka.
Hari ini, ia mendapatkan satu teman atau lebih tepatnya satu-satunya teman yang ia miliki. Ke depannya ia tidak tahu harus bagaimana, secara ia tidak memiliki pengalaman pertemanan sebelumnya. Semoga saja dengan adanya teman hidupnya bisa sedikit berubah. Ia tidak mengharapkan lebih, hanya memiliki seseorang yang megakuinya saja ia sudah bersyukur.
Nadien bernafas lega. Entah kenapa hatinya menjadi tenang. Hidupnya pasti akan berubah, ia yakin.
tanggapan kalian di chap 01 gmn?
kabar kalian juga gimana, sehat?
semoga sehat selalu, ya
terima kasih udah baca, salam dari hlen