webnovel

24. Usual Struggle (2)

Hal yang pertama kali Haris lakukan setelah sampai di kantor adalah menelan obat pereda nyeri. Walau tubuhnya terasa seperti remuk, ada sedikit perasaan aneh yang memenuhi hati Haris. Hal yang membuat dia bisa bertahan dan tetap tenang.

Rrrrr! Rrrr!

Sekitar jam 11, telepon kantor berbunyi, dan langsung diangkat oleh Ika.

"Kantor WaDir. Dengan Ika."

"Baik, Baik..." ujarnya lagi lalu berbisik ke arah Hasan.

Pemuda itu lalu mengambil alih sambungan dan berbicara dengan orang di seberang. Haris tidak dapat mendengar jelas, hanya menangkap garis besar bahwa semua sudah ditangani dengan baik.

"Baik, terima kasih," kata Hasan sebelum menutup telepon.

Berdasar briefing singkat pagi ini, jadwal Haris lebih banyak berada di kantor, untuk mereview dokumen. Lalu tinjauan singkat nanti sore ke gudang di lokasi Industri dekat perbatasan Sidoarjo.

"Saya keluar sebentar, Pak. Nanti minta tolong Ika atau Nisa kalau Pak Haris butuh sesuatu," pamit Hasan.

"Kemana?" tanya Haris.

Hasan mengangkat setumpuk dokumen beserta satu kotak kecil. "Hanya mengantar sampel."

Haris mengangguk lagi dan kembali membaca dokumen di depannya dengan lebih teliti. Mungkin karena badannya tidak terlalu fit, tapi butuh waktu dua kali lebih lama, sebelum kalimat yang dia baca masuk di akal.

Sekitar 30 menit kemudian, Haris sudah membaca laporan di tangannya sampai selesai. Ketika itu barulah terpikir olehnya bahwa sampel dari bagian produksi perlu approval dari pihak direktur sebelum dilanjutkan ke tahap berikutnya. Haris tidak ingat apakah analisis target pasar dan demografi konsumen sudah ditetapkan. Karena terakhir kali, mereka masih fokus membahas tentang desain kemasan.

Benda dengan kemasan yang sama persis seperti yang berada di tangan Hasan. Jika perkiraan Haris benar dan pemuda itu membawanya ke Direktur mereka untuk dipresentasikan, Haris khawatir Hasan akan kena damprat, sebab membawa hasil yang belum selesai.

Duda itu segera beranjak dari kursinya. "Aku nyusul Hasan, sepertinya ada mis-komunikasi."

Haris sudah keluar ruangan tanpa menunggu jawaban rekan lainnya. Kakinya bergerak cepat ke arah tangga dan meloncati satu demi satu anak tangga. Dia tidak mengindahkan denyutan nyeri pada pinggang yang seperti dihantam palu, hingga akhirnya sampai di lantai 8.

Sekretaris Pak Bangun yang duduk di luar ruangan, berdiri melihat kedatangannya.

"Pak Haris, ada perlu apa, ya?" tanya wanita itu dengan sopan.

Pria 35tahun itu memperhatikan keadaan. Tidak ada suara teriakan dari dalam, atau meja yang di gebrak-gebrak.

Haris pun menoleh pada Anggi, wanita muda dengan wajah dan tubuh sama cantiknya. "Apa Hasan ada di dalam?"

"Iya, Pak. Pak Haris mau masuk juga? Saya tanyakan ke pak Bangun dulu." Anggi menawarkan diri.

Ketika akan menjawab, pintu ruangan sudah dibuka dari dalam. Tidak lama berselang, muncul Hasan dengan wajah yang datar. Raut yang dingin itu berubah seketika saat matanya menangkap sosok Haris yang berdiri tidak jauh dari pintu. Bahkan ada sebuah senyum kecil pada bibirnya yang terangkat.

Perubahan wajah Hasan sangat komikal ketika sedetik kemudian pemuda itu tampak jengkel. "Pak Haris, apa ada perlu juga dengan pak Bangun?"

"Oh, tidak, aku.." ujung mata Haris melihat Anggi yang sedang mendengarkan percakapan mereka. "Ada materi yang lupa aku kasihkan ke kamu."

Duda itu lalu berjalan ke arah lift, diikuti Hasan di belakangnya.

"Materi apa, Pak?" tanya Hasan.

Haris tidak menjawab sampai pintu lift terbuka. Keduanya pun masuk, jari Hasan hendak menekan tombol ke lantai 7, namun Haris lebih dahulu menekan lantai 1.

Begitu pintu tertutup, wakil direktur itu bergerak menghadap Hasan.

"Sampel itu, kenapa kamu bawa ke pak Bangun? Aku tahu kalau belum ada yang fix dari desain kemasan sampai strategi pemasaran. Bagaimana bisa kamu ceroboh sekali, Hasan?" kejar Haris dengan rentetan pertanyaan.

Alih-alih menjawab, Hasan membuka lembaran yang menunjukkan persetujuan pak Bangun dari beberapa contoh desain yang ada. Mata Haris terbelalak melihat tanda tangan direktur mereka bukan hanya pada desain kemasan, tapi juga skala produksi, serta program pemasaran dan promosi.

Tangan Haris mengambil dokumen itu dari sekretarisnya. Yang dilihatnya sekilas tadi tidak salah. Ketika Haris membaca secara lebih mendalam, semua hal dibahas dengan jelas dan terperinci. Termasuk alasan dan argumen yang muncul selama rapat bersama departemen lain.

"Bagaimana...sejak kapan semua ini selesai?" tanya Haris, curiga.

"Saya hanya minta tanda tangan beliau," jawab Hasan sambil mengangkat kedua bahu. "Apa susahnya?"

Haris menekan tulang di antara kedua matanya. Duda itu menghela nafas panjang. "Biasanya butuh waktu lebih lama untuk menjelaskan semuanya hingga orang itu paham. Belum lagi kalau dia mencari-cari kesalahan dalam proposal."

Pemuda itu menepuk pelan punggung Haris, berusaha menenangkan atasannya. "Sudah saya bilang, saya hanya minta tanda tangan beliau. Proposalnya sudah sangat baik, bukan salah Pak Haris kalau beliau tidak paham dan punya sudut pandang yang berbeda."

Haris tidak percaya Hasan berani bertingkah seperti itu. Tapi sudut bibirnya terangkat saat membayangkan bagaimana Hasan berusaha meyakinkan direktur bod*h mereka.

Ding!

Pintu lift terbuka ke arah lobby utama.

"Ayo, makan siangnya aku yang traktir." Haris balas menepuk punggung Hasan.

Pemuda itu tersenyum saat tangan Haris bukan sekedar menepuk. Ada tenaga yang kuat dibaliknya, seperti sebuah tamparan dari mantan yang marah. Dia pun melangkah keluar lebih dahulu untuk menghindari serangan selanjutnya.

"Baik, saya tidak akan sungkan memesan," sahut Hasan.

.

"Hmm, paling enak minum teh hangat setelah makan. Badan terasa segar," ujar Haris dengan mengeraskan suara.

Hasan yang masih makan, sedikit tertegun. Piring atasannya itu masih ada separuh. Padahal porsinya sudah banyak dikurangi.

"Apakah badan Pak Haris masih belum baikan?" Hasan mengulurkan tangan dan menyentuh lengan pria itu. Kulitnya terasa dingin dan lembab.

"Kamu benar. Sebenarnya aku masih agak mual. Tapi tidak apa," tepisnya pelan sambil tersenyum.

Tentu saja itu bohong. Keadaan Haris yang sudah membaik setelah minum obat tadi pagi, kini malah lebih parah.

Akibat memaksakan diri naik ke lantai 8 lewat tangga, agar lebih cepat sampai, pinggang dan punggungnya kembali berdenyut. Bukan itu saja, sakit perut yang awalnya dia kira karena lapar, malah menjadi setelah makan siang dengan Hasan. Keringat dingin mulai membasahi kemejanya.

Haris berusaha menutupinya dengan berjalan tegak. Dan, tersenyum seperti biasa saat disapa, sambil berharap kalau semua akan baik-baik saja.

Dia tinggal kembali ke meja kerjanya dengan aman. Disana ada persediaan obat di salah satu laci.

Haaa~~ 😩

Haris menghela nafas sambil menutup laci. Obat yang dia minum tadi pagi adalah yang terakhir. Sedangkan masih ada dokumen dari tadi siang yang belum selesai dia periksa.

Duda beranak satu itu memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya. Tidak akan ada yang tahu meski dia hanya membaca sangat pelan.

Tinggal dua jam lagi hingga waktu kunjungan keluar. Saat itu, Haris berencana sekalian membeli obat.

.

Untuk kesekian kalinya Haris melirik ke jam di pojokan layar komputer. Baru lewat setengah jam sejak dia kembali ke kantor.

Dalam keadaan sakit begini, waktu terasa berlalu sangat lama. Dan lagi, dia mulai dilanda rasa kantuk, membuatnya sulit fokus pada pekerjaan. Tidak ada yang Haris inginkan selain bisa berbaring di rumah, tanpa ada kekhawatiran tentang apapun.

Matanya menyapu ke seisi ruangan. Lokasi duduknya yang sedikit terpisah membuat Haris bisa mengamati yang lain. Tapi tidak sebaliknya, karena Haris sengaja menempatkan pot tanaman di atas meja.

Akhirnya duda itu pun mengatur posisi duduknya, tegak lurus dan menghadap ke komputer. Hal yang dia lakukan selanjutnya adalah menutup mata. Haris tidak mau salah menandatangani dokumen akibat mengantuk. Lalu membuat Hasan semakin yakin kalau dia harus istirahat di rumah.

.

Hasan merasa terganggu dengan sikap pak Haris seharian ini. Sudah jelas-jelas kalau badannya sedang tidak fit tapi malah memaksakan diri.

Pemuda itu mengira keadaan atasannya memang sudah membaik. Namun saat mereka makan siang, lalu kembali ke ruangan, wajah pak Haris semakin pucat. Dia tidak tahu kenapa beliau berusaha menutupi dan bersikeras kalau sakitnya reda.

Tidak banyak yang bisa dia lakukan karena yang bersangkutan menolak perawatan. Jadi Hasan mencoba memainkan kartunya yang lain.

Dokumen yang ada di meja, Hasan rapikan, termasuk mematikan komputer. Dia lalu berdiri ke arah Haris yang tengah tertidur di kursi dengan kepala tertekuk ke depan. Posisi yang bisa membahayakan jika dilakukan untuk waktu lama.

Hasan pun menepuk pelan lengan pria itu.

"Pak...Pak Haris, sudah waktunya kunjungan ke gudang," ujar Hasan.

Duda itu bangun dengan sedikit terkejut. "Oh, iya.. aku akan siap-siap," sahut Haris yang mulai merapikan mejanya.

"Saya turun dulu menyiapkan mobilnya, Pak Haris pelan-pelan saja."

Duda itu mengangguk dengan mata yang masih belum sepenuhnya fokus. Tapi tidak butuh waktu terlalu lama sampai dia sampai di parkiran.

Dibanding pertama kali, Haris sudah tidak canggung lagi saat naik mobil Hasan.

"Oke, aku sudah siap. Nanti kalau ada apotek, mampir, ya."

Hasan menjawab dengan anggukan. Dia pun memasukkan gigi dan perlahan menginjak gas. Keluar dari parkiran, menuju ke jalan yang berbeda dari tujuan mereka.

"Lho, Hasan, gudangnya bukan ke arah sebaliknya?" tanya Haris yang kembali mengecek navigasi di smartphonenya. "Atau mau lewat tol?"

Wakil direktur itu mulai gelisah saat Hasan hanya mengangkat kedua pundaknya sambil terus mengemudi.

.

.

Thank you for reading so far. Support more with power stone, like and comment.

vallucacreators' thoughts