🌹 Yuna Pov~
Tepat menginjak kelas 4 SD yang mana usiaku baru sekitar 10 tahun, aku melihat dan mendengar perseteruan kedua orang tuaku yang akhirnya menyebabkan ayah pergi dari rumah. Karena aku dulu tak paham dengan apa yang mereka pertengkarkan, jadi aku tak mengingat jauh perihal kejadian waktu itu. Walaupun ayah pergi begitu saja, aku sama sekali tidak pernah membencinya. Bukan hanya itu, aku sendiri bahkan tidak pernah merindukannya. Mungkin karena sudah lama tak berjumpa jadi perasaan semacam itu telah hilang.
Seusai melaksanakan tugas sebagai pengacara, aku mampir ke toserba untuk membeli keperluan mandi. Di sana aku memilih shampo, sabun serta yang lainnya. Setelah keranjang belanjaan penuh dengan barang, aku menuju ke kasir untuk melakukan transaksi. Sungguh tak pernah ku duga, seorang laki-laki yang dulu ku sebut ayah, saat ini sedang mengantre di depanku. Awalnya aku tak yakin, karena laki-laki itu kini mulai menua, bahkan rambutnya pun mulai beruban.
"ayah??" sapa ku kepada pria tua dengan ucapan ragu.
"Yuna" panggil pria itu yang masih mengingatku
"Oh tolong satuin sama yang ini ya!!" ujarku kepada kasir agar sekalian menghitung belanjaan ayah
"enggak usah!!" ucap ayah yang merasa sungkan
"enggak apa-apa!!" balasku
Begitu kami selesai melakukan pembayaran kepada kasir, kami berdiri di depan toserba tadi.
"bagaimana kabar kamu??" tanya beliau dengan menjinjing kantung pelastik berisi belanjaan
"aku baik-baik saja" jawabku yang sama-sama sedang menjinjing kantung pelastik
"syukur kalau gitu!!" imbuhnya
Tak berselang lama, tiba-tiba ada seorang anak perempuan berusia sekitar 5 tahun lari mendekat kepada kami, kemudian ia memeluk kaki ayah seraya berkata "ayah!!" . seketika aku bingung sendiri, terlebih saat ayah menggendong anak kecil itu dan membalas "ayah di sini!!" .
Selanjutnya seorang wanita yang ku duga adalah istri barunya, hadir mendekat dan langsung berdiri di samping ayah. Wanita itu bingung dengan kehadiranku, dan aku sendiri tak menyangka pertemuannya akan seperti ini. Ayah juga tampak kebingungan tentang bagaimana cara memperkenalkan kami berdua.
Namun ayah memilih pergi begitu saja, tanpa sempat memperkenalkan mereka padaku. Sedih memang, rasanya aku seakan tak diharapkan lagi hadir untuknya, terlebih ia tak bertanya mengenai kabar ibu. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin itu jalan yang sudah ia pilih.
Hari ini uang gajiku sudah turun, aku berencana menyisihkan untuk ibu yang sedang tinggal sendirian. Sebelum ke rumahnya, aku membelikan ia keperluan yang biasa dibutuhkan sehari-hari. Tiba di depan kedainya, kedua tanganku penuh dengan kantung pelastik. Memang yang ku bawakan harganya tidak seberapa dibanding kasih sayang yang selalu ia berikan, tapi dengan membawa ini aku berharap ibu tidak hidup kesusahan walau aku tak bisa menemaninya setiap hari.
Salam tak lupa aku ucapkan ketika hendak masuk ke kedainya, aku taruh semua kantung pelastik itu di meja yang kosong akan pembeli. Ibu menjawab salamku, kemudian menghampiriku. Aku mencium tangan beliau, dan menanyakan kabarnya. Seperti yang sudah ku duga sebelumnya, ibu berkata "kenapa bawa belanjaan sebanyak ini??" .
Karena mulai banyak pelanggan yang berdatangan, ibu tak sempat mengobrol denganku dan harus menyapa para pembeli serta menyiapkan hidangan untuk mereka. Walaupun memiliki anak buah, tetap saja ibu selalu turun tangan dalam menyajikan pesanan untuk para pelanggan. Tak hanya diam, aku juga turut membantu ibu. Lagi-lagi ibu selalu melarangku melakukan ini itu di kedainya, namun kali ini aku enggan mendengarnya. Aku pun turut membantu ibu memberikan pelayanan yang baik untuk para pelanggan setia kedai ibu.
Cahaya matahari mulai memudar, tak terasa hari sudah mulai petang, dan sebentar lagi kedai akan segera ditutup untuk hari ini. ketiga karyawan ibu sedang bersih-bersih sebelum mereka bergegas pulang, tak luput dari itu aku juga turut ikut serta merapikan kursi dan meja makan pelanggan. Setelah rapi dan bersih ketiga karyawan ibu pamit pulang, karena aku sudah membelikan sesuatu untuk mereka jadi aku bergegas mengambil 3 kantung pelastik berisi makanan ringan untuk mereka bertiga.
"terima kasih banyak!!" ucap serentak mereka
"kalian sudah bekerja keras!!" balasku
Seusai mereka pergi, aku dan ibu duduk berhadapan di tempat pelanggan makan.
"kamu ngapain repot-repot bawa belanjaan sebanyak ini??" tanya ibu yang sekilas memandang kantung pelastik putih yang ku taruh di meja.
"jangan nolak, karena hanya ini yang bisa aku berikan buat ibu"
"makasih sudah mau kesini dan bantu ibu!!" ujar ibu
"enggak, kenapa ibu bilang makasih segala? Bikin aku merinding aja!!" balasku yang disertai bercanda.
Kami menutup kedai, kemudian berjalan menuju rumah. Sembari melangkah dengan membawa kantung pelastik tadi, aku memulai percakapan walau sebenarnya merasa sukar untuk diungkapkan.
"kemarin, aku ketemu dengan dia!!"
ibu berhenti melangkah "siapa??" tanya sang ibu sambil menatap mataku
"ayah!!" balasku
"dia mengenali kamu??" tanya serius beliau
"eumm" pungkasku disertai anggukan
"kalian mengobrol banyak??" tanya ibu kembali dengan melanjutkan perjalanan
"enggak!!" sambutku yang ikut mengikuti jejak ibu
"bagaimana kabarnya??"
"dia baik-baik saja" balasku.
"syukur kalau begitu" sahutnya.
Sangat berbeda dengan ayah, ibu yang sangat aku cintai justru menanyakan kabar ayah walau hatinya sudah dilukai oleh beliau. Salut aku dengan sikap ibu, karena jujur saja aku tak sanggup bersikap seperti itu kepada laki-laki yang sudah melukai perasaanku.
"Tapi bu, orang itu kini sudah punya keluarga baru!!"
"ohh gitu??" sahut singkat ibu tanpa ekspresi yang berlebihan seakan benar-benar sudah tak merasa sakit hati.
"ibu enggak membencinya??" tanya penasaranku
"itu jalan yang sudah dia ambil. Kenapa pula ibu harus membencinya? Terlebih dia adalah ayah kamu" balas bijaksana ibu "jangan sebut ayahmu dengan panggilan 'orang itu', walaupun dia menelantarkan kita berdua, tapi dia juga pernah menjadi ayah yang hebat buat kamu dan suami yang baik buat ibu"
Jawaban ibu membuatku berkaca-kaca "ibu" panggilku sembari memeluknya
"baik buruknya, ia tetap ayah kamu!!" pungkas ibu ditelinga kiriku.
Benar, sekalipun terlihat menyayat hati untuk ibu dan juga aku, apa boleh buat dia tetap seorang ayah yang pernah aku banggakan. Baik buruknya harus aku terima, karena dia adalah ayahku.