"Ah....."
Reo merilekskan tubuhnya di kursi taman. Dari kejauhan, dia bisa melihat terang dan gemerlapnya gedung pesta itu. Dia diam-diam menyelinap keluar dan pergi ke taman yang sepi dan remang ini.
Setelah menghembuskan napas sejenak atas kelelahan mental karena ibunya menyeretnya ke sana kemari untuk memperkenalkannya kepada keluarga lain, Reo memutuskan untuk istirahat dan merilekskan pikirannya sebentar. Dia kemudian mengeluarkan gamepad dari balik pakaiannya dan mulai memainkannya.
Yah, hanya gamepad satu-satunya yang bisa menemani masa kecilnya saat ini. Jujur saja, dia tidak membutuhkan teman ataupun bermain di taman seperti anak-anak lain karena itu hanya buang-buang waktu.
Dan untuk tujuan utama dia berada di sini, dia tidak menemukan adik perempuannya dimanapun. Setidaknya dari pandangan dia menyapunya, dia belum melihatnya sama sekali sejak dia dilahirkan kembali.
Sejak awal, dia terlahir sambil membawa tekanan mental berupa kecemasan yang tak pernah berakhir. Baru di kehidupan inilah dia berdoa kepada keberadaan 'Tuhan' yang telah mereinkarnasikannya agar adik perempuannya tetap aman dan sehat.
Reo bahkan berpikir jika dia tidak segera bertemu dengannya, dirinya lah yang akan menjadi gila karena memikirkan semua kecemasan itu.
Tk! Tk! Tk!
Reo segera memencet tombol pause di gamepad-nya karena dia mendengar langkah kaki mendekatinya. Dikarenakan fisiknya yang abnormal beserta peningkatan indra yang juga jauh di atas manusia normal, dia bisa mendengarkan suara kecil seperti ini dari jarak yang cukup jauh.
Saat melihat sosok itu lebih jelas, pikiran Reo membeku pada menolak kenyataan dirinya sendiri. 'Tidak mungkin! Aku bukan protagonis dari sebuah cerita! Bagaimana aku bisa bertemu karakter penting lebih awal?'
Saat ini, seorang gadis muda dengan rambut hitam runcing diikat kuncir kuda dan mata onyx menampakkan dirinya dari balik bayangan lampu.
Merasakan seseorang yang seumuran dengannya itu sedang menatapnya, Reo pura-pura tidak mengetahuinya saat dia diam-diam memencet tombol lanjut dan memainkan gamenya kembali.
Dia tidak ingin terlibat dengan karakter penting saat ini, apalagi jika orang itu adalah seorang wanita. Dalam ekspetasinya, wanita selain ibunya yang harus dia temui hanyalah adik perempuannya. Sayangnya, dia tidak bisa menemukannya sampai sekarang bahkan saat dia mengajak kedua orang tuanya yang sibuk berkeliling Tokyo.
Memikirkan usaha tanpa hasil itu hanya membuat frustasi. Reo melampiaskan semua perasaan itu pada musuh di game yang dia mainkan.
"Apa game yang sedang kamu mainkan?" Gadis muda itu mendekatinya dan mencoba bertanya dengan gugup.
Untuk gadis muda itu, dia sedang dalam proses mencari teman, hanya saja karena statusnya yang sangat luar biasa, orang-orang hanya mendekatinya karena ingin menyenangkannya atas perintah orang tua mereka.
Hal itu membuatnya mengembangkan perasaan muak dan jijik di usia muda. Tapi dia tetap tidak menyerah dan terus mencari teman sambil menilai mereka.
Beberapa saat yang lalu, dia tidak sengaja melihat Reo keluar sambil membawa ekspresi muak yang sama yang sepertinya juga dia rasakan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk mendekatinya.
Hanya saja, bahkan setelah dia bertanya, Reo tetap fokus pada gamenya dan bahkan tidak menoleh untuk menyapanya, seolah-olah keberadaannya sama sekali tidak terlihat olehnya.
Momo, gadis muda itu, menghentakkan kakinya dan menggembungkan pipinya dengan kesal. Dia mengguncang tubuh Reo, "Hei, dengarkan aku!"
"Persetan!" Reo tiba-tiba mengutuk sebagai reaksinya, yang sangat membuat Momo takut. Pada saat itulah Reo tidak mempunyai pilihan lain selain meladeninya.
Reo memperlihatkan layar gamepad-nya yang mempunyai kata-kata berukuran besar bertuliskan 'GAME OVER' kepada Momo. "Aku membenci gadis sepertimu, jadi menjauhlah dariku!"
Reo mengatakan itu tanpa ampun, dia sangat serius sedang tidak ingin terlibat dengannya. Jadi dia akan mengusirnya bahkan dengan cara kasar sekalipun.
Tapi tidak seperti yang diharapkan, Momo memiliki mata berbinar tapi kemudian berubah kesal saat menyadari apa yang baru saja dikatakan Reo. "Jangan salahkan aku, itu salahmu karena terlalu payah!"
Momo mengira Reo sedang kesal dengannya karena dia mengganggunya dan menyebabkannya kalah dalam game itu, dan begitulah dia tidak merasa tersinggung sedikitpun.
Reo memiliki urat di nadinya saat dia menatap Momo dengan pandangan yang sangat menyebalkan. Tapi dalam sekejap dia langsung tenang dan baru saja mengakui kekalahannya karena merasa kesal yang disebabkan oleh anak kecil. Atau itu karena emosi anak kecilnya yang membuatnya bereaksi sedemikian rupa.
Setelah memperhatikan Momo kecil dengan beberapa pertimbangan, Reo memutuskan untuk langsung pergi.
"Jangan ganggu aku!"
Reo membalikkan badannya dan langsung berjalan menjauh, berniat mencari tempat yang lebih sepi. Tapi dengan inderanya yang luar biasa, dia menemukan jika Momo mengikuti di belakangnya.
Tak mau repot-repot untuk bertukar kata dengannya, Reo memutuskan untuk berlari.
"Hei, tunggu aku! Jangan tinggalkan aku!" Momo berteriak mencoba meraihnya, tapi Reo terlalu cepat.
Bluk!
Dengan ketidakseimbangan, Momo terjatuh dari larinya, dan pada saat dia mencoba bangun, dia sudah tidak melihat Reo dimanapun, hanya ada kegelapan di sekelilingnya.
Jelas saja karena Reo berlari ke arah taman bunga yang lokasinya seperti labirin.
Melihat tidak ada apa-apa di sekelilingnya, Momo mendekam ketakutan di tempatnya, tidak berani mengangkat kepalanya. "Hei, kamu siapapun itu ... jangan tinggalkan aku! Mama! Papa?!"
(Saya tidak tahu Momo takut kegelapan/hantu atau tidak, jika salah mohon dikoreksi. Aku males nyari detail kecil itu)
Setelah melihatnya menangis untuk beberapa saat, Reo tidak tahan lagi dan keluar menemuinya. "Dasar cengeng--"
Tidak bisa menyelesaikan kata-katanya, Reo disambut oleh Momo yang memeluknya secara tiba-tiba.
"Aku menemukanmu!"
Meski Momo berseru riang, tapi Reo bisa melihat tetes air mata di ujung matanya. Ketakutan barusan sama sekali tidak palsu.
Tapi Reo tetap merasa muak dengan dirinya sendiri. "Lepaskan aku, jangan sentuh aku!"
"Hehe~" Momo hanya meringis dan tidak mempedulikan kata-katanya.
Pada akhirnya, Reo memaksanya agar Momo lepas dari tubuhnya. Yah, dia beneran merasa muak. Bukan karena Momo, tapi karena dirinya sendiri. Reo bisa memprediksi jika dia tetap berhubungan dengan Momo, meski meragukannya, tapi dia merasa itu akan berakhir sebagai kebahagiaan baru atau yang lebih mungkin yaitu kebahagiaan yang dipaksakan.
Dia sudah memutuskan untuk dirinya sendiri agar tidak merasakan banyak kebahagiaan saat kondisi dimana adik perempuannya masih belum diketahui apakah aman atau tidak. Dia merasa tidak berhak merasa bahagia jika saja adik perempuannya saat ini sedang menderita.
Semua itu didasarkan atas emosi Reo yang tidak menentu dan penuh kecemasan. Dia tahu jika ini bukanlah dirinya yang biasa, tapi dia akan terus memaksa untuk menjalaninya.
Kebersamaannya bersama Momo mungkin bisa melegakan kecemasannya atas perasaan-perasaan tersebut, tapi dia tetap tidak mau melakukannya. Meski begitu, karena Momo bersikeras untuk terlibat dengannya, maka dia hanya akan memanfaatkannya.
...
Di dalam gedung pesta.
"Yao, apa yang sedang kau lihat?" Ken membawa secangkir anggur di tangannya dan mendekati seorang pria yang sedang berdiri di kabin.
Pria itu menoleh ke arahnya, "Nakano? Ahh, aku baru saja melihat putriku sepertinya menemukan teman pertamanya."
"Putrimu?" Ken lalu menyapu pandangannya ke arah yang sama dengan pria paruh baya di depannya. "Hoo, aku lupa jika Momo-chan juga seumuran dengan anakku."
Yao tidak merespon perkataannya saat dia masih mengawasi putrinya dari kejauhan. Pada saat yang sama dia juga memperhatikan Reo disana. "Ken, lihat itu, bukankah anak itu mirip denganmu?"
"Mirip? Apa yang kau katakan? Meski aku tidak tahu bagaimana dia bisa menyelinap ke sana, tapi anak itu adalah putraku satu-satunya."
"Oh, seharusnya begitu." Yao mengangguk dengan tenang.
"Hehe, bukankah ini takdir? Anak kita sama-sama tidak mempunyai teman satu sama lain, mungkin ini perkembangan yang bagus?" Ken menggodanya sambil mengaduk cairan gelas wine.
"Tutup mulutmu."
Ken hanya menggaruk kepalanya karena pria paruh baya yang dia ajak bicara sebenarnya adalah atasannya.