webnovel

Crazy Rich Squad : Dolmabache Gate

SINOPSIS "Jangan pernah bicara tentang arti cinta kepadaku. Seseorang yang tidak mengerti arti seni tidak pantas bicara tentang cinta. Dan kamu, adalah salah satunya." Prameswari terpaku, kalimat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini, sikap kasar dan dingin yang ditunjukan Ferhat untuk dirinya, adalah luka masa lalu saat Ferhat hidup sebagai Aslan, yang telah digoreskan olehnya. Belum sempat Prameswari menjelaskan segalanya, Aslan telah menutup mata perlahan di pangkuannya sambil tersenggal seolah nafasnya akan berhenti. Tepat di saat Prameswari hendak mencabut belati tersebut, berharap masih sempat menyelamatkan Aslan dan menjelaskan semuanya, kesadarannya seperti berangsur hilang, dan tiba-tiba saja dirinya telah berada dalam pelukan seseorang yang paling dia benci di dunia ini. Ferhat. ~•••~ Prameswari adalah seorang siswi teladan dari desa kecil di Jawa Tengah, tepatnya Desa Bangsri Jepara yang mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan di salah satu pusat mode dunia, yaitu kota Paris, negara Perancis. Keadaan membawanya pada perseteruan panjang dengan Ferhat, Asisten Dosen yang menjadi pembimbingnya. Ferhat memang selalu dingin dan cenderung sinis kepada wanita, tidak terkecuali kepada Prameswari. Meskipun demikian, Prameswari tidak perduli. Sampai saat mereka harus bekerjasama membuat tugas proyek yang membuat keduanya terpaksa pergi ke Istanbul Turki bersama-sama. Sebuah peristiwa supranatural membuat Prameswari tersedot dan mengalami kehidupan di masa lalu, yang membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci wanita, khususnya Prameswari. Prameswari yang menyadari bahwa Aslan dan Ferhat adalah jiwa yang sama dalam raga yang berbeda, serta hidup dalam waktu yang berbeda, membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci dirinya.

Risa Bluesaphier · Historia
Sin suficientes valoraciones
24 Chs

18. Kelas Ekonomi Rasa Kelas Satu

Seperti sebelumnya. Rombongan Prameswari dan para 'Putra Mahkota' memiliki kesempatan untuk memasuki pesawat lebih awal, padahal mereka duduk di kelas bisnis. Biasanya, penumpang kelas bisnis dan first class akan masuk lebih dulu. Namun sekali lagi, jika uang sudah bicara, meskipun mereka mengambil tempat duduk di kelas ekonomi, namun pelayanan yang mereka dapat tetaplah pelayanan kelas satu.

Prameswari dan kawan-kawannya telah belajar, betapa besar nilai uang bagi kemudahan hidup. Di depan mata, mereka menyaksikan segalanya mampu diatur dengan uang. Program tugas akhir semester yang ajaib, transit di vila mewah untuk karantina sebelum terbang, dan pelayanan first class untuk kelas ekonomi. Dengan uang, apapun bisa diatur dan dibolak-balik sesuai kebutuhan.

"The power of money, dear." Laksmi berbisik pada Prameswari yang duduk di sebelahnya dan sedang sibuk memasang sabuk pengaman.

"Exactly." Jawab Prameswari lirih, takut terdengar oleh David yang duduk persis di belakang mereka. Sementara yang lainnya duduk berpencar. Hanya para gadis yang duduk saling berdekatan dan berdempetan. Hien dan Sanjona sibuk ber-selfie-ria sambil sekali-sekali terkikik geli melihat foto-foto mereka. Sedangkan para mentor pendamping mengambil posisi strategis di setiap sudut dan pintu kompartemen, untuk para mahasiswa dan mahasiswi berada di tengah-tengah. Rsanya formasi ini memang sudah di atur sedemikian rupa sebelum mereka terbang.

"Ngomong-ngomong, sejak kapan kelas ekonomi sesepi ini? Dan untuk penerbangan singkat, pesawat ini kelihatan terlalu besar menurutku." Prameswari baru menyadari bahwa di dalam satu kompartemen, hanya rombongan mereka saja, sisanya hanyalah bangku kosong. Sementara di kompartemen belakang disesaki oleh penumpang ekonomi lainnya.

Di kompartemen depan adalah kelas bisnis dan kelas satu. Di sana ada beberap penumpang, tidak bisa diketahui apakah di kelas bisnis dan di kelas satu terdapat penumpang yang memenuhi semua kursi atau tidak. Sebab rombongan mereka adalah yang pertama kali memasuki pesawat melewati area kelas bisnis dan kelas satu.

"Ini kelas premium ekonomi. Aku rasa, semua kursi sudah dibeli oleh orang tua para 'Putra Mahkota'." Laksmi berbisik lirih.

Prameswari menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, belum bisa memahami konsep berpikir orang kaya yang dengan mudahnya menghambur-hamburkan uangnya. "Bukankah akan lebih efektif kalau kursi itu di isi oleh orang-orang yang membutuhkan? Berikan saja gratis kalau memang perlu, pasti akan dapat pahala dari Tuhan." Prameswari menggerutu dalam hati. Tidak suka dengan kemubaziran yang terpampang di depan matanya.

"Di sini, dalam penerbangan ini, ada lima 'Putra Mahkota' kamu tadi lihat tidak, sejak mulai mermasuki airport sampai ke dalam pesawat, para 'Putra Mahkota' tidak melepas kaca mata dan masker serta topi mereka?"

Laksmi kembali berbisik seolah menjawab pertanyaan Prameswari yang dia ungkapkan dalam hati saja barusan.

Prameswari seperti mendapatkan pencerahan. "Ya, aku mengerti sekarang, mengapa semua kursi banyak yang kosong di area kompartemen ini. Juga mengapa pesawatnya cukup besar untuk sekedar perjalanan singkat. Karena keamanan para 'Putra Mahkota' dipertaruhkan. Akan sangat beresiko jika mereka berbaur dengan penumpang komersial. Dan uang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan kemanan lima 'Putra Mahkota' tersebut. Bagaimana? Apakah kamu juga memiliki pemikiran yang sama denganku, Laksmi?" Tetapi Prameswari hanya mengatakan hal itu dalam hatinya. Mungkin nanti saat mereka sudah tidak dibayang-bayangi oleh para mentor, mereka bisa mendiskusikannya disaat senggang.

Prameswari menoleh dan tersenyum kepada Laksmi. "Kita sedang melakukan perjalanan yang mahal, dear. Sebaiknya kita menurut saja. Rasanya, itu akan lebih aman untuk kita." Prameswari mengedipkan matanya pada Laksmi. Dan hanya itulah yang ke luar dari mulut Prameswari.

Laksmi mengangguk. "Kamu lihat orang-orang yang duduk di kelas bisnis dekat pintu kompartemen di depan kompartemen ini?" Laksmi masih berbisik-bisik pada Prameswari. Dan pandangan mata Prameswari langsung menyapu orang-orang yang berada di barisan belakang kelas bisnis. Tentu saja Prameswari sudah tidak bisa melihatnya, sebab, kain penghalang sudah di pasang oleh pramugari, karena sebentar lagi mereka akan take off.

"Mereka itu bukan penumpang biasa, mereka juga pengawal seperti para mentor pendamping kita, tetapi menyamar sebagai penumpang, begitupun di kelas ekonomi di belakang kita, beberapa di isi oleh pengawal."

Prameswari mengeryitkan dahinya. "Dari mana kamu bisa menyimpulkan hal itu?" tanya Prameswari penasaran. Laksmi memang lebih detil dan teliti dibandingkan Hien dan Sanjona. Tetapi Prameswari tidak menyangka bahwa Laksmi akan sedetil itu memperhatikan situasinya.

"Nanti saat kita landing di Istanbul, coba perhatikan dengan seksama, menurutku, setidaknya ada sepuluh pengawal yang menyamar sebagai penumpang ekonomi maupun bisnis di pesawat ini."

"Kamu yakin tidak terlalu banyak nonton film action beberapa hari sebelum kita menjalani tugas ini?" Prameswari masih ragu dengan keterangan dari Laksmi.

Sementara Laksmi hanya mengedikkan bahu. "Terserah padamu. Boleh percaya atau tidak, bagi kita tidak ada bedanya." Laksmi mengedipkan sebelah matanya pada Prameswari, "sekarang aku mau tidur, sebentar lagi kita akan take off, ada waktu sekitar tiga setengah jam untuk tidur. Sebaiknya beristirahatlah, sebab aku yakin, begitu tiba di Turki, kita akan diminta menyiapakan makan malam."

Prameswari langsung teringat hal itu, dan bergegas untuk ikut mengambil posisi rebahan. Saat itu baru di sadari bahwa para pria saling duduk berjauhan, masing-masing mengambil kursi kosong sehingga memungkinkan mereka untuk rebahan setelah pesawat take off.

"Prameswari, Laksmi, kalian boleh kok memilih tempat duduk yang kosong, tidak harus berdempetan seperti ini. Pilih saja tempat yang kosong dan nyaman untuk kalian duduk tanpa harus berdempetan seperti ini." David yang duduk tepat di belakang Prameswari memberikan informasi.

Hien yang duduk di sebelah Prameswari dan dipisahkan oleh gang untuk berjalan penumpang, langsung bereaksi. "Benarkah?"

David tersenyum dan mengangguk pada Hien. Tepat saat Hien akan bangkit untuk pindah posisi, David menahannya. "Sabarlah, sebentar lagi kita take off. Duduklah dulu di tempatmu, setelah itu baru kamu boleh pindah."

Hien mengerti, lalu kembali duduk di tempatnya, dia sudah mengincar sebuah kursi kosong dekat jendela, sebab dia akan mengabadikan momen dari ketinggian di jendela pesawat dengan ponselnya. Hien sangat menyukai awan, dia sering berandai-andai untuk bisa terbang di awan seperti bidadari. Foto-foto awan akan dia edit dengan foto dirinya yang seolah-olah sedang terbang bermain di atas awan. Hien sudah memikirkan untuk mencari sayap bulu bidadari di dekat pasar loak untuk merealisasikan mimpinya itu.

Prameswari yang memiliki pemikiran yang sama juga telah mengincar sebuah kursi kosong dekat jendela pesawat. Dia akan memotret sebanyak mungkin pemandangan langit dan awan dari jendela pesawat. Saat tiba di Turki, dia akan mengirimkan foto-foto tersebut pada ayahnya yang seumur hidup sama sekali belum pernah naik pesawat. Entah apa yang akan ayahnya pikirkan, jika mengetahui anak gadisnya sedang dalam penerbangan bersama lima putra milioner menuju negara Turki impian ayahnya dengan tiket ekonomi, namun pelayanan kelas satu, dengan pengawal profesioanl di sekitar mereka. Rasanya, ayahnya akan berpikir, bahwa dia hanya mendongeng, alias bukan sesuatu yang nyata. memikirkan hal itu, Prameswari hanya tersenyum simpul.