webnovel

Bab 2 | Uang Anak Yatim

Sudah hampir seminggu masuk sekolah membuat Aurora bosan setengah mati, wajah-wajah baru tak ada yang menyenangkan matanya. Di matanya, teman-teman barunya ini hanya another geeky setelah kakaknya. Tipe-tipe anak kaya yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Di sini tak akan ada yang sibuk-sibuk menyapa atau sok kenal. Cih, pantas saja abangnya itu betah sekolah di sini.

Kemarin saat MOS, dia berteman dengan anak reguler, namanya Budi dan Meida. Teman dihukumnya karena terlambat. Aurora coba jalan-jalan ke kelas reguler, siapa tahu bertemu mereka. Aurora tak capek-capek mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi mereka. Karena dia tak pernah bawa.

Lucu memang, dia justru pakai benda aneh berbentuk jam tangan yang hanya ada GPS dan hanya bisa mengirim pesan suara maksimal satu menit setiap pesan dan fasilitas telepon yang jarang dia gunakan kalau tak perlu sekali. Alat itu dilengkapi dengan sembilan tombol yang sudah diisi penuh untuk keluarganya. Tak perlu pulsa. Hanya perlu internet dengan controller di abangnya.

Benda aneh bikinan abangnya saat dia kelas 1 SMP. Ya ya, abangnya memang sudah aneh sejak dulu. Dia melirik posisi nomor 2 yang menunjukkan posisi di sebelah Barat peta dunia, tepatnya di Negara Haiti. Dia cemberut, enak sekali jadi ayahnya bisa jalan-jalan terus.

"Ayah, kalau mau poverty tourism di Indonesia juga banyak," katanya mengirimkan pesan pada ayahnya dengan menekan tombol sebelah kiri lalu menekan tombol 2.

Tak lama kemudian ada bip-bip warna merah dari nomor 2, "Kamu lagi ngapain Dek? Jangan lupa salat Dhuha. Biar makin cantik."

"Iya udah, Yah. Lagi bosen, sekolahan yang dibanggain si Mas ngga asik."

"Sini nyusul Ayah. Ayah lagi di pantai lho."

Aurora mencibir, rasanya dia ingin segera lulus dan pergi kemanapun dia mau. Dia balas lagi ke ayahnya, "Hati-hati ratu ngamuk. Bunda 'kan suka ngamuk kalau Ayah jalan-jalan ke tempat yang berpotensi vitamin A gitu."

Ayah terkekeh, "Jangan kasih tahu bundamu dong hehe ...."

"Jangan membodohiku Bapak Auriga tersayang, paling bunda juga udah tahu. Mana betah Ayah sama bunda ngga kirim-kiriman pesan yang suka bikin geli itu."

Pesan masuk lagi. Dia mendengarkan ayahnya tertawa keras sekali, "Itusih privacy, kita ngga pakai benda beginian buat kirim pesan. Nanti kalian tahu." Aurora makin mencibir dan bergidik geli dengan kelakuan orangtuanya. Romantisan kok overdose begitu.

Canggihnya lagi, Antariksa sudah mengatur empat nomor spesial milik dia, Aurora, ayah dan bunda untuk tahu log yang dilakukan oleh alat mereka.

Bip-bip pesan masuk warna merah dari nomor satu, nah kan! Nomor milik bundanya. "Aurora, suruh ayahmu jangan genit-genit sama wanita di sana."

Aurora ngakak, bundanya lucu sekali kalau sudah merajuk. Akhirnya dia memilih mengabaikan keduanya. Dia jadi lupa tujuannya ke kelas reguler. Jadi malas, akhirnya dia jalan-jalan saja keliling sekolahnya yang luas sekali ini.

Aurora berjalan ke arah Tenggara saat dia merasa ada yang memanggilnya, dia berhenti lalu menoleh. Ada seorang murid laki-laki yang menghampirinya. Aurora tak kenal.

"Hei, lo Aurora kelas X-A 'kan?"

Aurora hanya mengangguk dan laki-laki itu tersenyum puas. "Kenalin, gue Anthony. Gue kelas XII IS 7. Gue boleh minta nomor ponsel lo atau akun lo ngga?"

Halah, begini lagi, batin Aurora. Hal yang sudah terjadi lebih dari delapan kali sepagian ini, sudah lebih dari 30 kali selama hampir seminggu dia menginjakkan kaki di sekolah ini. Tak menyangka, dia populer sekali.

Masih tak mau bicara, Aurora mengulurkan tangannya. Laki-laki itu paham dan memberikan ponselnya. Aurora membuat kontak baru dan menulis sederet nomor. Lalu dia kembalikan ponsel itu pada pemiliknya yang masih senyum-senyum memandang Aurora.

"Makasih ya, bolehkan nanti gue hubungi lo?"

Aurora cuma mengangguk dan pergi. Lalu cowok itu memperhatikan kontak baru yang belum di-save dan belum diberi nama itu. Anthony mengernyit heran memandangi deretan nomor itu. Lalu dia geleng-geleng kepala antara kesal dan ingin tertawa. Cewek tadi unik sekali, batinnya.

Aurora memberikan nomor fast delivery order food dan memberikan nomor rekening sebuah bank. Entah milik siapa. Salah Anthony bilang nomor akun, karena dalam istilah ekonomi, akun adalah rekening.

***

Aurora kesal sekali karena harus panas-panasan menunggu abang gojek di luar sekolah. Pagi tadi dia sudah ditegur oleh satpam karena membawa abang gojek masuk ke halaman depan kelasnya. Salahkan halaman sekolahnya yang tak manusiawi luasnya. Aurora hanya tak mau capek-capek. Aurora sudah berencana mau minta mobil pada bundanya. Biarkan dia jadi penambah macet daripada dia harus kepanasan dan menunggu.

Aurora memainkan kerikil dengan kakinya dengan setengah kesal. Setiap hari tak ada habisnya dia mengeluh tentang cuaca Jakarta yang panasnya ampun-ampunan.

Saat mengedarkan pandangan, Aurora menangkap segerombolan anak SMA-nya yang sedang memalak. Begini nih yang bikin penyakit, mereka memalak bukan karna tak punya duit, tapi ingin menjadi sok berkuasa di depan adik kelasnya. Mana dia sangka sekolah keren ada korengnya juga dari preman-preman kambuhan begini. Baru saja tadi, Kiko teman seangkatannya yang dipalak.

Kiko berjalan melewatinya dan segera dicegat oleh Aurora, "Dipalak berapa lo?" tanya Aurora tak basa-basi.

"Gopek..." belum selesai anak itu berbicara, Aurora langsung menyahut.

"Gopek? Buat beli permen kaki juga kaga dapet."

"Ceng..." sahut si Kiko lagi.

"Hah?"

"Gopek ceng."

Aurora menganga. Kalau gopek itu lima ratus perak. Kalau ditambah ceng jadi lima ratus perak dijejer seribu, atau lima ratus ribu. GILA! Itu malak apa ngerampok?!

Aurora geram sekali, cepat-cepat dia keluarkan dompet dari dalam tasnya lalu diberikan uang lima ratus ribu pada Kiko. Belum sempat Kiko menerima, Aurora langsung menyurukkan uang itu di tangan Kiko dan segera beranjak.

Aurora menghampiri kerumunan kakak kelasnya itu dengan memasang wajah polos. Dia menghadap salah satu cowok dan tiba-tiba mereka yang tadinya bersenda gurau langsung diam. Diam heran.

"Maaf Kak permisi, Kakak kenal cowok yang di sana?" tanya Aurora sambil menunjuk Kiko, lalu melanjutkan lagi, "Dia tadinya bawa uang buat nyumbang ke anak yatim Kak, mau nyumbang 500 ribu katanya. Trus taunya uangnya ilang, aku kasian trus mau bantu. Tapi uang aku tinggal 50 ribu masih buat ngisi voucher gojek. Kakak mau pada bantu ngga?"

Cowok-cowok di sana saling berpandangan satu sama lain. Merasa bersalah. Lalu satu sama lain saling senggol-senggolan. Merasa malu juga terpengaruh pesona Aurora. Bahkan ada yang belum berkedip dari Aurora datang tadi.

Tik tok tik tok, Aurora masih bersabar.

"Jangan coba-coba."

Kepala-kepala tertoleh dan memandang satu cowok di atas motor yang sedang memainkan ponselnya tanpa memandang ke arah mereka.

Aurora ikut menoleh dan dia sedikit tertegun memandang cowok itu. Harus Aurora akui, dia sedikit terusik dengan penampakan sampingnya. Baru sekali ini dia begini. Hatinya tergelitik untuk memandang lebih jauh cowok yang belum juga mau mengangkat kepalanya itu. Belum jelas wajahnya, tapi aura yang dipancarkan sangat kuat. Apa namanya ya? Karismatik. Ya, karismatik. Sekali lihat, Aurora sudah ter-pe, ah jangan.

Aurora langsung memalingkah wajahnya.

"Duit anak yatim, Bos," jawab seorang cowok yang paling tinggi di antara mereka.

"Jangan bego," jawab cowok itu lagi.

"Tapi...,"

"Dia siapa?" tanya Aurora berbisik ke salah satu cowok yang lain.

"Jangan tahu, nanti lo naksir. Mending naksir gue aja," jawab cowok itu ngaco.

Aurora mendelik dan cowok itu terkekeh.

"Buruan balikin duitnya, abang gojek gue udah dateng tuh," kata Aurora lagi sambil menunjuk abang gojeknya.

"Lo ngibul ya? Cantik-cantik tukang ngibul ih. Sono kalau mau ambil duitnya ke si bos."

"Ambilin apa Kak, lo kelakuan kok pada malak adik kelas."

"Malak tuh seni, tahu," kata cowok yang lain lagi dan diamini semuanya.

"Seni apanya? Seni menindas? Udah ah sini duitnya. Duit gue udah terlanjur gue kasih ke si Kiko."

"Yee, itu sih derita lo. Bagi id snapchat lo dulu, nanti duitnya gue balikin," semuanya mengangguk.

Aurora jengah. Dia lantas menghampiri cowok yang duduk di atas motor hitamnya dan memandang cowok itu yang tak tampak terusik sedikitpun.

"Balikin duitnya."

Cowok itu mendongak dan secara spontanitas Aurora mengalihkan pandangan. Tak kuat pandangan tajam cowok itu. Aurora paling tak suka dipandang orang dengan cara seperti itu. Mengintimidasi dan penuh ancaman.

"Lo yang bikin kasus di MOS?" tanya cowok itu yang membuat Aurora mau tak mau memandangnya. Tapi tetap bukan pada matanya.

"Bu-hmm bukan," tenggorokan Aurora tiba-tiba tercekat. Sial, dia benci sekali kalau sudah begini. Baginya, belum pernah ada yang bisa membuat dirinya sesalah tingkah ini.

"Oke, berarti duitnya ngga bisa balik."

Aurora langsung mendongak. Aih, enak aja. Lima ratus ribu bisa buat beli peralatan gambar sama beli komik baru. Makan batagor, makan onde-onde masih dapat sekresek.

"Itu duit gue," katanya sambil mencebikkan bibir.

"Bukan duit anak yatim?" sindir cowok itu.

Aurora mati kutu. "Hmm ... iya. Dua setengah persennya."

"Nanti biar gue yang bayarin."

"Yaudah mana sisanya? Dua setengah persen dari 500 ribu berapa ya? 487.500 ribu siniin."

Hilang sudah kecanggungan dan salah tingkah Aurora tadi. Baginya, tak ada yang lebih penting dari duit. Habis sudah jatahnya seminggu ini karena dia kelepasan memanggil Anta tanpa embel-embel 'mas'. Habisnya sudah kebiasaan kalo dia sedang berdua saja, mana sudi dia manggil Anta dengan sebutan itu kecuali kalo sedang kesal atau menyindir atau merayu.

"Sombong sekali," akhirnya cowok itu mengangkat kepala lagi dan Aurora stress lagi. Dia terintimidasi lagi.

"Lo mau dipanggil, Kak? Lo mau gue, saya-Kakak?" tanya Aurora pongah, aslinya untuk menutupi gugupnya.

"Ckckck, cabut guys. Ketularan gila lo lama-lama di sini," kata cowok itu lagi sambil berbalik naik ke motornya dan siap-siap memakai helmnya.

Aurora buru-buru menahannya dan mengulurkan tangannya, "Duit gue dulu."

"Gue mau ke panti asuhan," tandas cowok itu telak.

Aurora meringis dan garuk-garuk tengkuk. Sebal pada cowok itu, "Saya bercanda, Kak. Itu uang saya. Tolong kembalikan."

"Tukang gojek lo udah nungguin."

"Makannya..." Aurora sudah pengen garuk-garuk tanah rasanya. Frustrasi kapan akan segera berakhir kekonyolan ini. Niatnya mau berbuat baik malah dia yang susah. Nasib umat nabi.

"Duitnya ngga di gue," tukas cowok itu akhirnya. Aurora memandang garang dan segera membalik badan dan uang lima ratus ribu itu sudah diacung-acungkan salah satu cowok di kerumunan tadi.

Aurora kesal luar biasa, bicara sama mereka cuma mubazirin napas.

Aurora segera berbalik ingin menghampiri cowok-cowok itu. Baru berapa langkah, dia balik lagi dan dengan tenaga penuh, dia tendang betis cowok menyebalkan itu sampai dia terpekik kaget.

"Ouch, sialan."

"Lo lebih sialan," gertak Aurora.

Melihat bosnya kesakitan, para cowok-cowok itu jiper. Antara menahan tawa melihat bosnya dan was-was kalau mereka bernasib sama. Aurora seram sekali dengan matanya yang melotot dan tangannya yang mengepal.

"Duit gue," pinta Aurora.

Cowok yang memegang uangnya langsung memberikannya pada Aurora tanpa pikir panjang.

"Namanya siapa?"

"Gue Diaz, dia Arraz, dia Kenzo, dia Tian trus yang itu Kean."

"Nama bos lo maksud gue."

"Eh ... oh, namanya Arlo."

"Gue peringatin ya lo semua, kalau lo semua berulah lagi gue bakal laporin ke pihak sekolah. Dan lo bilang sama bos lo, jangan suka ngerjain orang. Dosa. Ngerti?"

Mereka semua serentak mengangguk. Hebat sekali Aurora ini.

Aurora lalu pergi meninggalkan mereka dan segera berlalu dengan tukang gojeknya yang setia menunggu. Kasihan si abang, lihat Aurora yang ganas tak jadi protes karena menunggu lama.

Arlo, cowok itu, masih takjub dengan kejadian barusan. Lalu, senyum miringnya memastikan akan ada yang terjadi setelah ini.

***

Antariksa masih sibuk dengan barcode-barcode baru yang perlu dipasang pada tumpukan buku yang menggunung. Dana yang diajukan kepada pihak sekolah untuk membeli buku baru disetujui dan ada juga dari Universitas di Singapura yang memberi bantuan.

Jadi, dia sedang bantu-bantu petugas perpustakaan untuk mendirektori buku-buku tesebut dan memasang barcode.

"Hai, masih di sini ternyata. Aku baru selesai rapat OSIS. Ada yang bisa aku bantu?" tanya sebuah suara yang sudah dihapal Antariksa di luar kepala. Tapi tetap saja dia tak mau mendongak.

"Pak, ada yang bisa aku bantu ngga?" Alyn akhirnya bertanya pada Pak Wahyu yang sedang sibuk mengetik di komputer.

"Eh, ada Neng Alyn, sampai ngga sadar Bapak. Neng belum pulang?"

"Belum dong, kan mau bantu Bapak. Sama Aksa juga."

"Aksa?" tanya Pak Wahyu bingung.

"Panggilan kesayangan aku, buat Antariksa."

"Neng Alyn pacarnya Mas Anta?" Pak Wahyu tampak kaget.

"Soon to be, Pak. Doakan ya," jawab Alyn tak tahu diri.

"Wah, Mas Anta cocok kok sama Neng Alyn. Yang satu cantik yang satu ganteng. Trus sama-sama pinter. Cocoklah."

Alyn mengacungkan jempolnya dan tersenyum puas. "Bingkisannya nyusul ya, Pak."

"Delivery KFC juga cukup kok Neng."

"Hahahaha...."

"Jadi apa yang bisa aku bantu, Pak?"

"Yaudah sini Neng Alyn ketikin data bukunya di sini. Biar bapak yang naruh di rak."

"Bapak makin ganteng sejuta kali lipat deh."

"Hahahaha ...."

"Hei, aku bantuin ya," kata Alyn lagi pada Antariksa. Yang ditanya masih saja tak tahu terima kasih.

"Tadi rapat OSIS mau bahas reorganisasi. Aku mau nyalon ketua lagi, menurut kamu gimana? Kinerja aku selama setahun ini bagus ngga?"

Gerakan Antariksa terhenti sebentar, sudah terbiasa dengan cewek ini yang tiba-tiba datang dan bicara ini itu tanpa diminta. Pastinya tanpa disela juga. Juga tanpa diberi tanggapan. Tapi, pertanyaan dia mengusik Antariksa. Bukan karena dia, tapi karena Aurora. Masih Antariksa ingat saat Aurora bilang dia ingin mendaftar juga menjadi ketua OSIS. Hal yang kalau menurut Antariksa sangat kekanakan. Bukan menjadi ketua OSIS-nya tapi pemikirannya ... atau keputusannya.

Antariksa tak begitu peduli dengan urusan OSIS, jadi dia tak tahu apakah kinerja mereka baik. Yang dia tahu hanya saat klub yang dia ikuti membutuhkan dana untuk kegiatan maka anak OSIS yang mengurusi. Dan cukup itu yang dia tahu.

Bahkan dengan adanya cewek yang hampir satu tahun ini selalu mendekatinya, Alyn, dia tak juga peduli. Padahal yah, Alyn kan ketua OSIS. Pemegang jabatan tertinggi, dan Antariksa disukai olehnya. Tapi ya begitu saja. Tak ada yang harus Antariksa perlu lakukan. Kalau dia peduli juga tak bisa membuat cewek ini menjauh darinya. Selama cewek ini masih bersikap baik, tak perlulah dia repot-repot merasa terusik.

Dianggap tidak ada saja, sudah cukup.

***

"Lo baru balik? Tumben?" tanya Aurora yang melihat Antariksa memarkirkan sepedanya.

"Lo udah balik? Tumben?" Antariksa balik bertanya.

"Ini udah sore, Oncom."

Antariksa mendahului masuk ke dalam rumah.

"Assalamu'alaikum ...."

"Assalamu'alaikum Bunda, Adek sama Mas pulang."

"Wa'alaikumussalam Sayang, Bunda di ruang keluarga. Sini," sahut Bundanya.

Mereka berdua menghampiri bunda dan cium tangan. Bunda menolak saat Aurora ingin mencium pipinya. Aurora kotor dan bau katanya. Aurora mendecak dan Bunda tertawa kencang lantas mencium pipi Aurora. Aurora senang lagi.

"Kok kamu baru pulang, Mas?" tanya Bunda saat Antariksa sudah mau beranjak pergi.

"Tadi bantuin beresin buku di perpus, Bun. Mas ke atas dulu ya."

"Iya, salat trus makan ya."

Antariksa mengangguk. Lalu bunda mengalihkan pandangan pada Aurora, "Kamu ngga naik?"

"Bun, kok tumben Bunda nonton TV? Gemintang udah sepi ya?" tanya Aurora. Gemintang itu tempat penitipan bayi milik bundanya yang ada di samping rumah. Kata bunda, itu dulu hadiah pernikahan dari ayah. Aurora bingung, hadiah pernikahan rumah penitipan bayi? Cara romantis ayahnya agak-agak aneh menurutnya.

"Masih ada Kak Dian yang jaga. Bunda mau nonton ayah."

"Ayah muncul di TV lagi?"

"Iya, bentar lagi. Sana kamu salat dulu trus sini nonton sama Bunda."

"Ayah ngapain?"

"Ngga ngerti bunda juga, cuma wawancara sama Tourism Journalism tentang wisata di Haiti."

"Oh... aku kapan ya masuk TV?"

"Mau jadi artis kamu?"

"Nggak, mau punya stasiun TV-nya aja. Biar kaya trus nyalon presiden. Trus aku deportasi orang-orang macam si mas dari Indonesia."

"Kok kamu jahat?"

"Ih, bukan. Biar si Mas berguna buat dunia. Habis aku sangsi kalau tetep di Indonesia dia bisa berkembang."

"Biarin aja, masmu 'kan punya pandangan sendiri. Lagian enak bareng-bareng terus kita."

"Ayah sering pergi, tapi sering bareng kita."

"Apaan, ayah mah sering perginya."

"Halah mulai kan si Bunda drama lagi, salahnya siapa kalau ayah pergi ngga pernah mau diajak."

"Nanti kamu keenakan."

"Ish, aku bisa tanggungjawab kali, Bunda."

"Shhh ... itu ayah udah muncul."

Lalu mereka berdua konsen melihat TV yang menayangkan seorang wartawan sedang mewawancarai ayahnya. Hebat sekali ayahnya bisa membuat Haiti yang beberapa saat lalu masih menjadi negara miskin, kini sudah menggeliat industri pariwisatanya. Proyek ayah selama setahun terakhir sukses besar.

"Hebat ya, Ayah. Aku juga mau jadi kaya ayah."

"Kamu harus lebih hebat."

Aurora tersenyum. Dalam hati mengamini. "Ganteng ya ayah, banyak pasti yang ngeces liat ayah di TV."

"Kamu kok gitu sih ...," Bundanya mengeluh. Yah, Aurora salah bicara.

"Hehehe...."

"Bunda kangen ngga sama ayah?"

"Lah emang Bunda ngapain ini nonton TV?"

"Lihat ayah diwawancara."

"Bukan, udah biasa itu mah. Bunda pengen lihat wajah ayah hehehe ...."

"Kok Bunda norak sih."

"Biarin, Bunda ini. Eh, sana buruan ganti baju. Kebiasaan deh kamu ini."

"Iya, Bunda. Eh Bun, aku boleh minta mobil ngga?"

Bunda mengernyit heran mendengar permintaan anaknya. Mobil? Memangnya dia sudah punya SIM apa? Mau pakai mobil tak pakai SIM? Gorok saja leher bundanya kalau sampai dituruti.

"Iya, nanti Bunda beliin BMX."

"Ih jangan, itu mobil bapak-bap ...," Aurora diam sebentar, seperti ada yang salah, "ihhhh Bundaaaaa, kok BMX siih?"

"Enak aja kamu minta mobil. Boleh sih, tapi kamu ngga dapat uang jajan sampai lulus SMA."

"Bunda mah gitu. Panas tahu Bunda, Jakarta ini. Tega nian."

"Banyak-banyak bersyukur kamu."

"Alah Bun...."

"Iya BMX iya, besok deh ya dibeliin."

"Ih, mending aku suruh si mas yang bikinin, enak, ngga perlu ngayuh. Pake matahari."

"Yaudah bagus."

"Ih, tapi aku maunya mobil Bunda. Sepeda si mas ngga ada tutupnya, masih kepanasan."

"Iya angkot. Yaudah naik angkot nggapapa, ngga usah gojek."

***