webnovel

9. Apologize--no, I Mean ... argh ... Whatever!

Kurnia uring-uringan di bangku keramik sudut sekolah yang terletak di dekat lorong menuju toilet. Dia menggerutu sekilas, teringat ekspresi cerah yang terpasang di wajah kakaknya pagi tadi.

"Hari ketiga minggu keempat," ujar kakaknya sambil cengar-cengir tidak wajar saat menyeduh susu. Kesan juteknya benar-benar sirna. "Ngomong-ngomong, lo apain tuh anak sampai benar-benar nggak kelihatan lagi batang hidungnya?"

"Gue bunuh."

Diandra mengernyit. "Kalo nggak salah dia terakhir kali datang ke sini yang waktu lo teriak-teriak sesak boker 'kan?"

Raut wajah Kurnia semakin datar.

"Waktu itu kalian berantem atau apa? Gue dengar grasak-grusuk sih dari—"

"Nggak apa-apa," sela Kurnia. "Kami cuma ada masalah sedikit di sekolah. Dan dia datang buat meluruskan masalahnya."

"Meluruskan masalah?" Diandra setengah terbahak. "Rasa-rasanya familiar. Gue juga pernah didatangin sama dia buat 'ngelurusin masalah' perkara ciuman di perpustakaan. Sekarang ngerti 'kan lo perasaan gue."

Menyebalkan.

Kurnia tahu seharusnya ia juga merasa senang. Aristo sudah genap tiga minggu tidak berkunjung ke rumah mereka lagi. Tapi, ayolah, Kurnia tidak akan bisa senang jika kakaknya itu juga senang. Apalagi mengingat sikap kakaknya yang tidak pedulian terhadap masalahnya dengan Aristo dan menjadikan adiknya tumbal. Dan ketika Aristo sudah tidak melancarkan gangguan lagi seperti sekarang ini, seharusnya hanya Kurnia yang pantas merayakan kemenangan. Diandra tidak usah ikut.

Ngomong-ngomong soal Aristo, Kurnia sedari tadi melihat anak itu mondar-mandir bersama teman-temannya sambil membawa perangkat sound system.

Memutuskan untuk tidak peduli, Kurnia kembali memperhatikan layar ponselnya. Membuka browser. Mengetikkan alamat mesin pencari pada kolom. Menyelipkan handsfree di salah satu daun telinganya. Tapi belum sempat ia mengetikkan satu pun kata kunci di mesin pencari, seseorang dengan celana olahraga SMA tiba-tiba berjalan di sampingnya dan menarik ponsel dari tangannya dengan mulus.

Kurnia tertegun sedetik.

Orang itu merampas ponselnya!

Seketika ia langsung bangkit berdiri, ingin ngamuk atau bersumpah serapah sebelum merampas ponselnya kembali. Tapi seketika ia terdiam bingung ketika melihat siapa orang itu.

Aristo.

Pemuda itu sedikit menoleh ke belakang, pada Kurnia. Meletakkan telunjuknya di depan bibir—mengisyaratkan untuk diam. Lalu jempolnya bergerak-gerak menunjuk sesuatu. Kurnia mengikuti arah yang ditunjuk Aristo. Dan melihat Guru BP sedang berinteraksi dengan sekelompok siswa. Mengajak mereka berbicara, kemudian siswa-siswa itu merogoh dan memperlihatkan isi sakunya—ah, penggeledahan.

Ketika Kurnia melirik ke samping dan mendapati Aristo sudah lenyap, ia buru-buru melepas handsfree dari telinganya. Meletakkan benda itu di atas bangku keramik sedikit jauh di sampingnya. Kemudian mengambil selembar daun kering di dekat sepatunya untuk menutupi benda itu.

Guru BP memeriksa beberapa siswa lagi sebelum kemudian menghampiri Kurnia. Anak itu diam-diam menghela napas lega. Ia tahu kalau siswa SMP selalu dilarang membawa ponsel apalagi memainkannya di area sekolah—sekalipun pada saat tiga hari perayaan kemerdekaan seperti ini. Tapi dia—seperti remaja kebanyakan—selalu bangga menjadi rulebreaker.

Sepeninggal Guru BP, Kurnia mendesah panjang dan malas. Ia menyisihkan daun kering itu dan memasukkan handsfree-nya ke kantung belakang celana.

"Bosan banget sih," gerutunya. Ia tiduran di bangku keramik panjang itu. Menggeliat ke kanan ke kiri seperti cacing. Kemudian bangkit duduk kembali. Celingak-celinguk. "Mendingan gue nyari Aristo, deh."

Kurnia berjalan mengitari lapangan. Sekali-sekali ikut kerumunan menonton sebentar perlombaan balap karung atau makan kerupuk sebelum lanjut mencari. Seharusnya mencari Aristo itu tidak susah. Flamboyan semacam dia itu gampang menarik perhatian. Kalau tidak dikelilingi cewek-cewek, ya pasti bersama komplotannya entah melakukan hal-kurang-kerjaan apa.

Nah 'kan. Itu dia.

Sedang duduk-duduk dengan temannya. Makan cemilan sambil mengobrol asyik dengan beberapa anak perempuan.

Ah, Kurnia malas mendekat. Rasanya bosan sekali tanpa ponsel—tapi apa boleh buat. Mungkin ia ke sisi kiri lapangan sekolah saja. Menonton orang-orang menggoyang bokong untuk memasukkan paku ke dalam botol atau menonton pertandingan futsal adik kelas.

Baru saja ia berbalik dan berjalan dua langkah, bahunya sudah ditepuk. Kurnia menoleh. Aristo berdiri di belakangnya—oke, dia tidak perlu terkejut. Sepertinya Aristo melihatnya dan memutuskan untuk menghampirinya.

"Lo nggak ada ikut kegiatan apapun?" tanya Aristo basa-basi.

Anak itu berbalik. "Gue ikut tanding futsal antar kelas. Besok. Di mana—"

Tapi Aristo memotong. "Futsal?" ulangnya tertarik. "Berarti lo bakal pake dressbesok?" Ia menahan tawa. Teringat pengalamannya dulu di SMP yang sama.

Kurnia mendengus. Berusaha tidak memedulikan, ia langsung menembak to the point. "Ponsel gue?" ujarnya seraya menengadahkan tangannya.

Aristo tersenyum tipis. Meledek. Dasar bocah. "Lo udah tahu dilarang bawa ponsel, malah nekat." Aristo memulai wejangan. Kurnia masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Seolah si bangsat ini nggak pernah ngelanggar aturan aja, cela anak itu dalam hati. "Maininnya di area sekolah, malah coba-coba buka porxxx.com lagi. Ya jelas diblokir ISP."

Gigi Kurnia langsung menggertak ketika seringai Aristo melebar. "Setan lo. Lo bongkar-bongkar ponsel gue?" Tangan Kurnia menjulur berusaha meraba-raba kantung celana dan kantung baju seragam olahraga siswa yang lebih senior. Tapi Aristo terus menghalangi tangannya dan menahannya. Merasa kesulitan, Kurnia kemudian—sedikit berjinjit—menarik kerah baju Aristo. Memutuskan mengancam. "Kemariin ponsel gue, nggak. Bahaya lo emang."

Aristo berusaha menahan tawa, tapi akhirnya ia terkekeh juga. "Lah, bukannya yang bahaya itu elo?" balasnya telak. Ia melanjutkan ketika Kurnia terdiam, "Harusnya lo berterimakasih sama gue. Kalo nggak, udah disita tuh ponsel kesayangan lo."

Kurnia mendecak gusar. "Bacot. Di mana lo simpan ponsel gue?"

"Di tas gue."

"Ambilin sekarang."

"Gitu cara mintanya?"

"Lo—ck. Tolong ambilin. Puas?"

"Gimana gue mau ambil kalo tangan lo terus di kerah gue? Lo mau cekik gue, ya?"

Kurnia mendesah frustrasi kemudian melepaskan cengkramannya di kerah Aristo. "Sekarang ambilin. Jangan banyak alasan."

Aristo tertawa. Menikmati mengusili adik gebetan yang selalu cengengesan meledeknya ketika ia gagal menggaet kakaknya. "Ngomong-ngomong," Aristo maju, menunduk sedikit untuk mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Kurnia. Berbisik, "mending lo buka situs lokal atau pake search engine biasa aja. Kata kunci yang gue saranin; ibu, virgin, remaja, atau Sora Aoi. Gue jamin panas."

Kurnia tersenyum bisnis, menyikut dada Aristo. Yang disikut hanya meringis setengah geli.

——————————————————————

Pertandingan futsal putra antar kelas tingkat SMP dalam rangka merayakan kemerdekaan punya satu peraturan fatal yang tidak boleh dilanggar: Setiap anggota dalam tim yang ikut bertanding, untuk semua posisi main tanpa terkecuali, harus memakai baju terusan sebatas lutut saat pertandingan.

Baju terusan.

.

.

Baju terusan.

.

.

Baju.

.

.

.

Terusan.

.

.

.

.

Dress!

.

.

.

.

—istilah lain; G.A.U.N.

.

.

.

Benar-benar kurang kerjaan, pikir Kurnia. Sebenarnya tahun lalu juga dia sudah pernah mengikuti pertandingan ini. Tapi sekarang hanya ada satu masalahnya.

Semua anggota futsal tentu tidak pernah memakai baju terusan langsung pagi-pagi dari rumah mereka. Risiko malu atau ditangkap polisi karena dituduh banci binal membuat mereka semua akan berganti pakaian di sekolah sebelum pertandingan dimulai. Termasuk, Kurnia.

Dan ya, masalahnya; dress yang sudah susah-susah dipinjamnya dari kakaknya—oke sebenarnya tidak susah, Diandra meminjamkannya dengan penuh sukacita, lagipula itu dress yang sama dengan yang dipinjamnya tahun lalu—tertinggal di kursi ruang makan saat sarapan tadi. Dan ia baru sadar hal itu saat sudah naik bus kota.

Kurnia sudah menanyai setiap siswi di kelasnya—apakah mereka punya dress yang bisa dipinjamkan atau tidak—dan ya, jawabannya tidak.

Ketika Kurnia memberitahukannya pada kapten timnya, si Kapten malah mengajukan anggota kelas untuk patungan dan membeli gaun di toko terdekat.

Tapi tentu saja, besok Kurnia harus mengembalikan uangnya.

Oh iya—ada juga yang mengusulkan untuk membeli lingerie.

"Gila lu," tolak Kurnia setelah mengumpat pada kiper mereka. "Bukannya lebih masuk akal kalo gue pinjam dari anggota futsal kelas lain?"

"Tuh lo tahu."

Kurnia mendengus dongkol. "Ya udah, gue cari bantuan dulu."

"Ya udah, cepetan. Jangan telat, kita main di first match."

Kurnia—jujur saja—lebih memilih mereka didiskualifikasi daripada membeli dress lalu mengikuti pertandingan yang tidak ada faedahnya itu. Memang benar tim yang menang akan diberi hadiah. Tapi ayolah, hadiahnya tentu saja alakadarnya.

Kurnia keluar kelas. Menendang kerikil. Menyedihkan. Sebenarnya, didiskualifikasi juga bisa mencoreng nama kelas, sih. Anak itu menghela napas. Dia memang harus mencari dress.

Anak itu segera pergi ke kelas seangkatannya yang lain. Menggebrak pintu sedikit keras untuk meminta perhatian. Semua kepala dalam kelas itu segera menoleh padanya. Terutama anak-anak perempuan—tapi Kurnia tidak punya waktu untuk tebar pesona.

"Oi! Minjem dress. Ada nggak? Gue masuk di pertandingan pertama. Nanti kalau udah kelar gue balikin."

"Nggak ada. Punya gue udah dipinjam sama anak dari kelas yang bakal jadi lawan lo nanti."

"Haaa, masa' sih."

"Iya, kambing. Ngapain gue bohong. Dapet gaun untuk lomba ini tuh susah. Mana mau emak atau kakak lo ngasih gaunnya cuma buat rusak di pertandingan futsal nggak penting."

Maasaa' sih, kakak gue kok nggak, ya~

Awalnya Kurnia ingin menyenandungkan kalimat itu, tapi akhirnya ia mengurungkan niatnya. Malas memperpanjang masalah. Diam-diam sebenarnya ia setuju juga dengan pernyataan itu. Sudah seharusnya peraturan futsal kemerdekaan sekolah mereka direvisi.

"Punya gue ada nih. Mau nggak? Tapi jangan bau, ya. Lo pake deodoran 'kan? Males banget waktu tiba giliran tim gue tanding, gue digentayangi sama bau keringat lo."

Kurnia menangkap pakaian yang dilemparkan mendadak kepadanya. Ia membentangkannya di hadapannya, melihat dari atas ke bawah. "Kekecilan nih," ucapnya lalu melemparkannya kembali pada pemiliknya yang memang berbadan kurus dan lebih pendek.

Kurnia keluar dari kelas itu dan mendatangi ke satu kelas yang tersisa. Dan yah, life sucks.

"Dipinjam striker lu."

"Gue nggak bawa. Rencana mau pinjam punya teman sekelas lu, bro."

"Rega punya nih, Kur. Reg, pinjemin gih."

"Hah? Apaan lo nyuruh-nyuruh. Sori, Kur. Bukannya gue pelit. Tapi kakak gue aja nyuruh gue hati-hati waktu pake ni baju. Lo ngerti 'kan maksud gue?"

"Kalo gue juga rencana pinjem punya kapten lo."

Bazeng.

Gotong-royongnya nggak dikondisikan.

Di saat-saat seperti inilah Kurnia mengutuki sifat malas rata-rata kaum Adam. Mengutuki susunan perlombaan. Mengutuki peraturan pertandingan futsal dalam rangka kemerdekaan yang ngajak ribut.

Apanya yang kemerdekaan.

Kurnia melangkah malas-malasan. Berusaha mengingatkan dirinya bahwa hal itu—pinjam-meminjam gak ngotak itu—sudah sering terjadi. Tahun lalu juga dress-nya dipinjam oleh anak kelas lain.

Ah, apa gue balik ke rumah aja buat ambilinnya ya? Tapi ia segera mengurungkan niatnya. Jalanan macet. Dia tidak bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk pulang dan kembali lagi ke sekolah.

Kurnia nyaris habis harapan hidup. Siapa lagi yang harus ditanya? Adik kelas? Tidak, mereka sudah bertanding semalam. Kakak kelas? Pertandingan mereka besok.

Kurnia memutar otak. Bagaimana, ya. Apa dia coba meminta bantuan pada siswa SMA saja? Dengar-dengar mereka ada lomba fashion show hari ini. Siapa tahu Kurnia bisa meminjam baju salah satu modelnya.

———————————————————————

Awalnya Kurnia ragu untuk mencari Aristo, karena setahunya—atau hanya dia yang menganggap?—kalau mereka sedang perang dingin pasca Kurnia mengusir Aristo beberapa minggu yang lalu. Tapi mengingat peristiwa semalam, Kurnia berasumsi bahwa sepertinya Aristo sudah melupakannya. Jadi,ya sudah kalau begitu.

"Teman sekelas gue ada yang ikut fashion show. Giliran kelas sepuluh baru aja selesai." Aristo merespon positif. Menarik lengan Kurnia menuju pintu kelasnya. Kurnia tetap berdiri sedikit canggung di kusen pintu sementara Aristo masuk ke dalam menghampiri seorang siswi.

Sepuluh detik kemudian pemuda itu sudah ada di hadapan Kurnia dan menyerahkan sepotong rok lipit berwarna hitam. Kurnia segera mengembalikannya begitu menyadarinya. Tidak bisa. Peraturannya mengatakan bahwa ia harus memakai baju terusan. Kurnia menggerutu dalam benak. Apa bedanya dress dengan rok? Dua-duanya sama-sama akan mengekspos celana dalamnya jika ia mengangkang, bukankah itu tujuan pertandingan hiburan sialan itu?

"Harusnya lo tahu 'kan."

Aristo mengedik cuek setelah mengembalikan rok itu pada pemiliknya. "Yah, paling nggak lo pakai sesuatu semacam itu. Persetan dengan peraturan. Lagian apa bedanya fungsi dress dengan rok dalam pertandingan itu? Yang mana aja 'kan sama-sama mempersulit gerakan dan buat lucu-lucuan. Itu 'kan tujuan peraturan sial itu?"

Hampir saja Kurnia memeluk Aristo dan menepuk-nepuk bahunya karena pemuda itu menyuarakan nyaris persis apa yang ada dalam benaknya. Tapi ia menahan diri. Sebagai gantinya ia menghela napas. "Ya udah deh," ujarnya pasrah. "Gue coba nyari dulu ke—"

"Atau kita cari ke kelas sebelah aja," potong Aristo seraya dengan asal-asalan menarik kaos olahraga Kurnia dan menyeretnya mendatangi kelas sebelah. "Setiap kelas biasanya punya perwakilan satu cowok dan satu cewek buat lomba fashion show. Kalau tetap nggak ada, kita balik ke kelas gue dan lo pinjam aja rok yang tadi."

Mereka berhenti di depan kelas tetangga Aristo. Tanpa perlu mengetuk, sepertinya para siswi yang sedang berbincang-bincang dan sembunyi-sembunyi main ponsel di kelas otomatis menoleh pada Aristo dan menatapnya. Tidak berpaling.

"Ada apaan?"

"Siapa peserta cewek buat lomba fashion show dari kelas kalian?"

"Eh, gue. Kenapa?"

"Lo pake dress nggak tadi? Boleh pinjem, nggak?"

"Buat apa?"

"Adiknya pacar gue mau tanding futsal. Tapi dia lupa bawa dress-nya."

"Hah? Itu bukannya adik Diandra? Hueh, adik pacar moyang lo. Lo udah ditolak mentah-mentah juga."

"Diam deh, Kartika. Gue nggak nanya sama lo."

"Nggak usah dikasih, Dev. Aristo tuh kalo minta nggak tahu sopan santun."

"Nggak usah dengerin dia. Nama lo Devi, 'kan? Gue minta tolong, ya."

"Ehmm, bukannya nggak mau nolongin. Tapi gue nggak pakai dress tadi. Gue pakai hotpants."

"Oh, sorry kalau gitu. Kurnia, kita cari ke kelas lain."

"H-ha—apa?"

Kurnia tahu-tahu sudah diseret.

"Ada yang bawa dress?"

"Nggak!"

"Peserta fashion show yang tadi?"

"Jadi lo kira gue pakai apaan kalo lo pinjam gaun gue?"

"Lo nggak bawa seragam?"

"Gue pakai ini langsung dari rumah."

"Udah deh. Nggak usah dendam gitu sama mantan, Ti. Bantuin aja."

"Berisik lo! Gue serius nggak ada baju ganti."

.

"Permisi. Ada yang bawa dress? Bisa pinjam nggak?"

"Ada di tas gue sih. Tapi buat apa?"

"Buat dia." Aristo menunjuk Kurnia yang berdiri setengah bersandar di depan pintu. Yang ditunjuk hanya nyengir singkat. "Dia ikut futsal. Lo tahu 'kan gimana futsal SMP kalau lagi tujuh belasan."

"Ah, nggak deh. Mm—gimana ya. Nanti rusak..."

"Nggak, kok. Dia bakal hati-hati."

"Err—gimana ya..."

"Lo nggak kasihan sama anak manis kayak dia?"

"Well, iya sih. Tapi..."

"Tapi?"

"...gue nggak demen berondong."

Faq.

Kurnia cengo.

.

"Kalo lo?"

"Apa? Gue cuma mau ambil botol minum."

"Lo bawa dress nggak?"

"Anjing lo, To."

"Lo 'kan ikut fashion show tadi."

"Diam lo bajingan. Pergi sana."

Aristo cengengesan.

.

.

"Jadi gimana?" Kurnia mengerang pelan ketika melirik arloji yang digunakan Aristo. "Pertandingannya lima belas menit lagi mulai."

Aristo hanya memberinya senyum. "Tenang aja. Gue baru aja ingat satu orang teman gue yang pasti punya dress. Gue lihat tadi, soalnya."

"Seberapa banyak sih teman lo. Baru aja masuk SMA juga."

Aristo tertawa kecil. "Banyak dari mereka 'kan juga teman-teman satu SMP gue. Tenang aja. Yang satu ini kayaknya nggak susah dibujuk. Ikut gue aja."

Kurnia mengikuti Aristo sampai ke depan kelas X-E.

"Nina!"panggilnya dan seketika seorang siswi manis berkacamata bundar menoleh.

"Iya. Kenapa?"

"Lo tadi pakai dressbuat fashion show 'kan?"

"I-iya," jawabnya ragu.

"Bisa pinjam, nggak? Buat anak itu." Lagi-lagi Aristo menunjuk Kurnia dengan ibu jarinya. "Untuk pertandingan futsal SMP."

Siswi itu tampak berpikir. Kurnia mulai membaca doa dalam hati.

"Engg—gimana ya..."

"Dia bakal usahain buat nggak merusak gaun lo, kok. Tolong ya?"

Ketika gadis itu masih tampak berpikir, Kurnia tiba-tiba berujar, "Tolong ya, Kak. Nanti kalau udah selesai saya pakai, langsung saya bawa ke laundry. Besok bakal langsung saya balikin ke Kakak. Kalaupun gaunnya nanti sobek atau rusak, saya ganti deh."

"Oke ... kalau gitu." Gadis itu merogoh tasnya dan menyerahkan sebuah strap dress hitam yang digulung.

"Makasih, Kak!"

"Iya. Sama-sama."

"Thanks ya," ucap Aristo disertai anggukan sopan dan senyum kecil. Menyusul Kurnia yang sudah berada di koridor. Ia kemudian memukul pelan belakang kepala Kurnia. "Sok manis lo."

——————————————————————

Kurnia melongo ketika membentangkan gaun pendek itu di hadapannya. "Ini..." Ia nyaris speechless ketika melihat lengan gaun yang hanya berupa tali dengan lebar mungkin hanya mencapai tiga senti. "...you can see."

Aristo terbahak sedikit mendengar suara Kurnia yang seperti mencicit.

Kurnia menghela napas. "Ya udah lah. Nggak apa-apa. Daripada nggak ada sama sekali." Anak itu kemudian melirik Aristo yang masih sibuk tertawa. "Gak lucu, njing. Jangan bayangin yang nggak-nggak," ketusnya berusaha menahan diri agar tidak membenturkan kepala Aristo ke urinal di dekatnya.

Aristo menatap Kurnia penuh arti, kemudian berusaha menghentikan tawanya. "Jangan pasang wajah melongo gitu. Ngapain bingung coba. Kaos olahraga lo jangan dilepas. Gaunnya dipakai jadi luaran aja."Aristo mengambil seenaknya gaun itu dari tangan Kurnia. "Gue bantuin pake nih." Pemuda itu memasukkan gaun dari kepala Kurnia—

"Woi, yang bagus masukinnya. Kepala gue nyangkut nih."

—lalu menariknya ke bawah hingga jatuh dengan rapi.

"Lo..." Kurnia menatap Aristo heran. "...lo tahu juga ya yang beginian."

Aristo mengangkat bahu. Menyeringai meledek. "Gue lihat tadi Nina pakai itu dengan dalemannya kaos putih."

Kurnia mendengus. Setengah malu.

"Sekarang lepas celana lo."

"H—hah?"

"Lepas celana lo, anak edan. Nggak ada poinnya lo pakai dress kalau celana lo masih nangkring di kaki lo."

"E—eh, iya. Sorry," ujar anak itu cepat seraya buru-buru melepas celana olahraganya yang panjang kemudian menyampirkannya di lengannya. Apa coba yang gue pikirin tadi. Kurnia menggelengkan kepalanya pelan.

"Kenapa lo?" Alis Aristo naik sebelah.

"Nggak apa-apa," sanggah Kurnia. "Ngomong-ngomong, thanks ya," ucapnya sedikit canggung. Dengan berat hati mengakui bahwa ia kagum mengetahui betapa luas koneksi Aristo dengan cewek-cewek. Mata keranjang memang beda.

Aristo lagi-lagi mengangkat bahu. "Nggak masalah," ucapnya seraya sedikit memalingkan wajah. Jarang-jarang anak setan ini mau berterima kasih padanya. Rasanya seram. Dan agak aneh.

"Bukan cuma buat kali ini, tapi juga buat masalah di kantor konseling waktu itu." Kurnia mengedikkan bahu. "Lo udah nutupin masalahnya—sebenarnya gue terbantu. Gue baru sadar, memalukan banget kalo ketahuan gue nonjok elo cuma gara-gara cewek gue."

"Oh itu," gumam Aristo, bersandar di dinding keramik. Selebihnya dia tidak berkata apa-apa.

Kurnia memberanikan melanjutkan, "Dan, gue juga—err, sorry."

"Huh?" Kali ini Aristo benar-benar harus mengangkat kedua alisnya.

"Eh nggak, maksud gue... gue minta maaf deh."

"Apa bedanya?"

Kurnia mendecak. Mulai merasa salah langkah. "Nggak, ck—cuma mau minta maaf waktu itu. Gue tinju bekas ... lebam lo," Kurnia berusaha menahan tawa saat mengatakannya.

Aristo jengkel. "Gue juga mukul lo 'kan. Jadi gue juga harus minta maaf gitu? Aneh lo."

"Dan gue ngusir elo," sambung Kurnia.

"Lo memang ngusir gue tiap kali gue datang," ucap Aristo datar. Telak.

"Heh, ya udah. Gue nggak jadi minta maaf," seloroh Kurnia dongkol. "Lo dikasih hati minta jantung."

"Habis lo aneh. Pakai acara minta maaf segala padahal belum Tahun Baru."

"Ya, ya. Terserah. Gue duluan."

"Hei tunggu dulu."

"Apaan lagi?"

"Lo ... cocok juga pakai baju itu."

"Bangke lo."

Kurnia mengancungkan jari tengah dan langsung keluar dari toilet pria milik SMA. Meninggalkan Aristo yang tertawa puas meledeknya.