Kringg.
Kringg.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Cuaca sangat terik, menyengat pori-pori seluruh tubuh Riski. Di cuaca yang seperti ini tentu enak di buat untuk tidur dengan kipas angin yang memutar memberikan kesejukan. Tapi, Riski mempunyai janji, ia sepulang sekolah harus bekerja.
"Riski, ayo main ke rumah gue. Bokap gue baru aja membelikan gue playstation, anak-anak yang lain ntar juga kesana. Lo mau ikut kaga?" kata Ardhi.
Ardhi merupakan orang yang berkecukupan, ia selalu di manja oleh ayahnya. Ya, mungkin karena Ardhi merupakan anak satu-satunya. Hidupnya selalu penuh dengan kasih sayang, harmonis, dan selalu apa yang di inginkan bisa tercapai.
Bahkan ketika pergi ke sekolah, Ardhi menggunakan sepeda motor. Karena masih SMP tidak di perbolehkan membawa motor, Ardhi memarkirkan motornya di sebuah warung dekat sekolah.
Jika Riski membayangkan betapa enaknya hidup Ardhi, ia akan terus menerus menyalahkan dirinya. Padahal ia harus bersyukur apapun yang terjadi, mungkin Tuhan memiliki jalan sendiri bagi Riski.
"Gue nggak bisa, hari ini ada acara." jawab Riski berbohong. Ia tidak mau jika semua temannya mengetahui kalo ia sedang bekerja saat ini. Ia akan malu, bahkan akan jadi gosip di sekolah.
"Dih, sok sibuk banget lo. Emang ada acara apa sih?" tanya Ardhi, padahal pada umumnya sepulang sekolah Riski selalu mempunyai waktu luang.
"Iyaa ini mendadak banget, gimana kalo malem aja gue kesananya? Gue setiap siang ada acara, Ar. Jadi maaf ya gue nggak bisa ikut kalian." jawab Riski berbohong lagi, ia benar-benar tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.
Ardhi. Ya, dia orang yang dekat dengan Riski. Ardhi tidak memandang Riski berasal dari keluarga mana, semua akan menjadi teman jika memang mempunyai sikap yang baik. Itu merupakan prinsip dari Ardhi. Karena sejatinya, hidup di dunia hanya titipan bukan? Apa yang mau di banggain? Harta yang melimpah ruah? Rumah yang mewah? Mobil yang terbaru? Itu semua tidak akan di bawa ketika kita meninggalkan dunia ini. Ardhi selalu mengingat perkataan dari guru agamanya.
Begitu pun dengan Riski, ia juga tidak memilih milih teman. Jika ingin berteman dengannya, ia akan menerima dengan senang hati. Tapi, kebanyakan orang enggan berteman dengannya. Wajahnya yang jelek dan juga miskin menjadi kendala bagi Riski dalam hal pertemanan.
Setelah menolak ajakan dari Ardhi. Riski berjalan menuju tempat yang sudah mereka janjikan dengan Widya.
Riski mengingat perkataan Widya dengan mengganti seragam sekolah terlebih dahulu. Tentu, Riski sudah membawanya di dalam tas. Karena jika ia pulang terlebih dahulu, pasti akan di tanyai sama Sastro, Ibunya.
Kemarin Riski juga sudah ijin kalo akan pulang terlambat karena akan kerja kelompok. Tapi itu bohong, nyatanya Riski bekerja bersama Widya.
Riski terus berjalan dengan pikiran kosong, yang ada di kepalanya hanya, jalan, jalan dan jalan bertemu Widya. Bahkan, Riski juga tidak belajar terlebih dahulu apa yang dipersiapkan ketika bekerja menjual sayur.
Dari kejauhan, Riski sudah melihat Widya yang sedang duduk menunggu kehadirannya. Langkah Riski semakin cepat, ia tak enak jika Widya menunggu terlalu lama.
"Assalamualaikum, bu." sapa Riski yang baru saja datang.
"Waalaikumsalam, kok masih pakai baju seragam?" tanya Widya yang memandangi Riski heran, padahal kemarin ia sudah menyuruhnya untuk ganti terlebih dahulu.
Riski melihat seragamnya, "Oh, saya bawa baju ganti di dalam tas, bu. Kalo pulang takutnya nanti kelamaan." Riski tersenyum cengengesan.
Widya memberikan selembar kertas yang bertuliskan daftar harga sayur yang ada di gerobak sepedanya, "Yasudah, kamu nanti ganti terlebih dahulu. Ini daftar harga sayurnya ya, udah tau jenis sayuran, kan?"
Riski menerima dan membaca sekilas daftar harganya, "Belum, bu. Ada beberapa sayur yang belum di mengerti. Seperti buncis, itu yang mana ya, bu?"
Widya berjalan menuju gerobak sepedanya, dan menunjuk sebuah sayuran yang Riski maksud, "Ini namanya buncis."
Riski mengangguk paham dan mengingatnya.
Widya mengambil sayuran yang panjang, "Kalo ini namanya kacang panjang, udah tau kan?"
Riski tersenyum, "Udah, bu."
Riski sudah beberapa mengenal jenis sayuran karena ia sering ikut Sastro belanja ke pasar. Karena Sastro sendiri juga berjualan sayuran, tapi yang sudah matang dan siap makan.
Widya menatap Riski serius, "Yang lainnya sudah tau yaa?" tanya Widya, menyakinkan agar tidak terjadi kesalahan harga.
"Insyaallah aman, bu. Kalo yang lauk, saya udah ngerti semua ini. Karena memang pernah memakannya."
"Yasudah, habis ini saya tinggal pulang ya." Widya menunjuk sebuah rumah berwarna pink, dan memiliki pagar yang tinggi, "Itu rumah Ibu di sana, kalo sudah habis atau sudah jam 4 sore. Nanti kamu bisa nyari di sana yaa." jelas Widya.
Riski mengangguk, "Siap, bu."
Widya lalu berjalan menuju rumahnya. Sedangkan Riski masih melihat-lihat sayuran yang masih tersedia, dengan melihat selembar kertas daftar harganya.
Setelah semua udah siap, Riski mengayun sepeda itu dengan perlahan. Ia juga berteriak ketika masuk area perkampungan.
"Sayurr, sayur. Masih fresh semuaa." teriak Riski masih kaku. Karena ini merupakan pertama kali baginya, pertama kali bagi seorang yang masih duduk di bangku SMP.
Tak ada seseorang yang keluar dari rumah. Rismi terus mengayun sepedanya. Sesekali ia juga berteriak menawarkan sayur yang ia jual.
"Mas, sayur." teriak seorang ibu-ibu dari belakang Riski.
Riski menengok lalu memutar balik sepedanya, dan menghampiri ibu itu, "Mau beli apa, bu?"
Ibu itu kaget ketika melihat ternyata Riski yang berjualan sayur tersebut. Ya, dia adalah Ibu dari Daniel, teman sekelasnya. Tentu saja Riski mengenalnya karena saat mengambil raport, Riski mengobrol lama dengan Ibu Daniel yang bernama Ayu.
"Kenapa kamu jualan sayur seperti ini? Apa orsng tuamu tidak sanggup membiayai di SMP? Kenapa sampai kamu bekerja seperti ini? Apa memang di suruh sama orang tuamu, Riski?" tanya Ayu terheran-heran. Karena Ayu merupakan keluarga yang cukup, cukup untuk makan, cukup untuk membiayai Daniel sekolah, dan berkecukupan lainnya.
"A-anu, cuman mau nambah uang jajan aja, tante." jawab Riski, ia sebenarnya malu akan hal ini. Untung saja tidak ada Daniel di dalam rumah, karena sedang bermain playstation bersama Ardhi dan yang lain.
"Apa kamu gak malu berjualan sayur seperti ini? Kamu juga belum saatnya untuk bekerja, apa orang tuamu benar-benar tidak mampu?" tanya Ayu sedikit merendahkan sebuah pekerjaan yang Riski jalani.
Riski hanya menunduk dan diam. Kacau, hanya itu yang ada di pikirannya. Rasa takutnya akan bertemu dengan temannya atau kekuarga dari temannya terbayar sudah. Jadi, seperti ini rasanya?
Riski mengangkat wajahnya menatap Ayu, "Sesuatu yang menurut ibu rendah, sebenarnya belum tentu rendah." jawab Riski dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Semoga kamu terus kuat ya, Riski!